Angin hitam menampar
gunung dan bebukitan. Debu-debu membuntingi udara. Rumputan hijau beralih rupa mendedahkan
rona menakutkan. Burung-burung gagak berdengking memekakkan telinga. Benar-benar
di luar dugaan! Negeri yang beberapa dasawarsa memeluk kesejahteraan itu, kini
dirundung kekacauan.
Kekisruhan luar biasa
bergulir di Bulma. Darah tumpah di sana-sini. Begitu mudah nyawa terapung
sia-sia. Sehingga, dalam waktu singkat, muncullah janda-janda yang ditinggal
mati para suami. Janin-janin lahir tanpa melihat sang ayah. Begitulah, jika
seorang pemimpin yang diagung-agungkan tiba-tiba mangkat. Mangkat tanpa
meninggalkan sepucuk wasiat.
Jangkap dua tahun ini,
perebutan kekuasaan antar keturunan raja menerbitkan pertempuran dahsyat di
berbagai tempat. Tiada lain yang menjadi tujuan, kecuali sekadar mewujudkan
hasrat untuk mewarisi kekuasaan. Maka, menghabisi sesama saudara merupakan hal
yang diperbolehkan, meski ajaran leluhur sepenuhnya melarang. Rumo, Karumis,
dan Vigro—dengan pasukan pendukungnya masing-masing—menabuh genderang perang
satu sama lain. Mereka bertiga laksana singa; hendak menunjukkan siapa yang
lebih pantas menjelma raja diraja bagi belantara singgasana.
***
Di selembar pagi yang
agak muram, seorang renta menggelesot di beranda rumah. Pandangannya tajam
menghunjam ke angkasa. Jemarinya menggelatuk riuh di atas tanah. Dari gerak-geriknya,
tampaklah ia tengah memikirkan sesuatu. Ialah Honcu, lelaki berhidung bengkok yang
mengkhawatirkan nasib rakyat Bulma.
Usai menimbang pikiran,
Honcu bermaksud mengumpulkan beberapa orang. Sesepuh yang pernah menjadi
penasihat raja ketika pemerintahannya sedang gilang-gemilang itu layak mengambil
tindakan. Situasi kian menjepit. Kalau tak lekas ditangani, tentu akan membuat
tanah kelahirannya luluh lantak. Bukanlah Honcu, jika ia membiarkan perseteruan
antara ketiga putra raja itu berlarat-larat. Naga-naganya, moncongnya bosan
menegur mereka untuk berdamai. Usahanya nihil. Tiga pangeran bersaudara itu
menolaknya mentah-mentah. Bahkan, jika masih berbulat nekat melontarkan
nasihat, ia terancam hukum pancung.
Seraya mengendap-endap,
bertembunglah orang-orang kepercayaannya di Hutan Remu. Honcu menyambut
kedatangan mereka dan segera mengutarakan apa yang sudah lama dikubur
dalam-dalam.
“Kawanku sekalian.
Akhir-akhir ini, aku bersua dengan raja dalam mimpi. Keningnya yang
bergelombang dengan netra yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa ia sangat sedih. Baru
kali itu aku melihatnya begitu tersiksa dengan kesedihan. Saking sedihnya,
ketika aku melontarkan pertanyaan, tak sepatah katapun mengalir dari lidahnya.”
Honcu menghirup nafas
dalam-dalam. Serejang kemudian, ia melanjutkan, “barangkali kesedihan raja melebihi
kesedihan yang kurasakan.”
Orang-orang yang berdiri
di depannya mematung, menyimak setiap bulir kata yang berhembus dari katup
mulutnya.
“Aku merasa berdosa.
Amat berdosa.” Sekonyong-konyong pipi Honcu basah tertusuk air mata.
“Juga kami, Honcu.”
Salah seorang dari mereka—entah siapa—menyambung.
“Tentu kalian paham
dengan maksud pertemuan ini.”
“Ya. Paham sekali
malah.” Jawab mereka serentak.
Empat hari empat malam,
orang-orang jangkung besar itu membicarakan rencana yang paling tepat guna membungkam
keadaan. Sayangnya, menentukan keputusan bersama bukanlah urusan sepele. Betapa
kata sepakat memang sukar didapat. Ya. Dalam otak mereka teronggok
rencana-rencana yang berbeda disertai alasan yang sama-sama kuat.
Pada hari terakhir,
Honcu mengangkat suara. Saat usulnya diulurkan, orang-orang yang hadir dalam
pertemuan tersebut mengangguk diam, tanda mereka setuju.
***
Usai menggelar rembuk
bersama, pada khatamnya, orang-orang itu terpaksa mengikuti masukan Honcu. Ini
memang keputusan pahit yang harus diketam: berlayar menuju Pulau Kematian.
Berbekal peta dari
Juyi, berangkatlah sebelas orang dalam rangka menemukan tempat di mana
ditampung arwah-arwah manusia. Ya. Mereka akan menjemput arwah raja, membagul
pulang, lantas memasukkan ke jasad raja yang diawetkan dalam piramida. Dengan
begitu, Bulma akan diperintah sang raja seperti sedia kala.
Entahlah! Akankah
mereka mengunyah keberhasilan, ataukah justru tersesat di tempat yang belum
suah mereka injak. Dalam riwayat manusia, rasanya, baru itu kali ada ekspedisi
ke Pulau Kematian. Pulau yang selama ini dicerna dari cerita nenek moyang. Pulau
yang sama sekali enggan terbersit dalam bayangan, namun sangat diyakini
keberadaannya.
Sungguh, tiada pernah
tersembul dalam benak orang-orang sebelumnya untuk bertandang ke sana.
Maklumlah. Bagi sebagian besar orang, berziarah ke Pulau Kematian merupakan sebuah
kebodohan. Kebodohan? Benar. Berkunjung ke loka mengerikan tersebut sama saja
dengan menjemput kematian itu sendiri.
Di hari-hari pertama,
perahu yang mereka tunggangi meluncur tenang. Meski berusia tua, nyatanya perahu
tersebut jauh dari mengecewakan. Harapan kokoh menjulang di hati beberapa
manusia yang berada di dalamnya. Sepuluh orang sebagai awak. Dan, satu orang—siapa
lagi kalau bukan Honcu—bertindak selaku nahkoda.
Setiba di Samudra
Harmes, mereka tercengang. Apa yang didengar dari kakek-nenek mereka semenjak
balita betul adanya: lautan kuning keemasan dengan ombak yang indah dan tiupan angin
yang teduh. Mencerap itu semua, Zahel kurang terima. Ia ingin membuktikan satu
lagi ciri yang sempat dibocorkan ayahnya sebelum tiada.
“Manis. Airnya manis!
Ini memang samudra yang ada di dongeng itu.”
Lelaki itu… lelaki dengan
alis kepak camar itu memekik riang, setelah meneguk air hasil gayuhannya dengan
batok kelapa yang ia kaitkan dengan sebatang kayu. Anehnya, di tengah samudra
sarat keelokan tersebut terdapat daratan sempit yang menampung ribuan tengkorak,
membuat dada mereka berdesir dan penasaran. Adakah tumpukan mayat itu orang-orang
yang berburu harta karun namun kehabisan bekal? Ataukah warga setempat yang
dibantai oleh komplotan perompak? Ataukah serupa dengan mereka yang ingin pergi
ke Pulau Kematian? Serta masih banyak lagi atau-atau yang lain.
Hingga hari keduapuluh
tujuh mereka mampu bertahan hidup, dengan keadaan cukup memprihatinkan. Bukan sekadar
lapar yang merajalela, melainkan juga kepiluan yang kian hari kian menganga. Entah
sampai kapan mereka terus berlayar. Adapun peta pemberian Juyi, sebagai modal
utama, buru-buru kabur bersama angin puting beliung yang menyerang mereka suatu
malam. Untung saja, perahu sederhana yang mereka anggap rumah sementara itu tak
terpelanting, meski beberapa bagian rusak berat.
Di hari keduapuluh
delapan, kesulitan menumpuk. Bukan cuma makanan. Untuk minum saja, mereka
kesusahan. Pelayaran yang diperkirakan menelan waktu paling lama dua minggu
tersebut mau tidak mau memicu mereka berhemat, walaupun pada akhirnya mereka
tetap saja kekeringan bekal. Hal ini diperparah dengan samudra yang sedang
mereka lalui menghidangkan air amis, menyebabkan semua orang yang meminumnya
muntah—sekebal apa pun orang itu. Bagaimanapun, penyesalan meruap di kemudian
hari. Andai saja, sekali lagi andai saja dapat balik ke Samudra Harmes, niscaya
mereka akan menjadikan airnya sebagai cadangan minuman. Sungguh, dugaan mereka
bertutur, bahwa beberapa samudra yang bakal dilalui mengantongi ciri yang mirip
dengan samudra indah tersebut. Celakanya, realita berkata sebaliknya.
Terang saja, harapan
menemukan Pulau Kematian menciut. Daya semangat lumpuh. Keraguan mereka membuntang
kala memergoki Brosut meregang nyawa, usai melawan luka hebat sebab tertimpa
tiang perahu yang roboh diterjang badai. Dalam kondisi demikian, beberapa awak
mulai memperlihatkan kegeraman. Di antara mereka yaitu Pirmol. Dengan geraham
mengencang, ia membuka pembicaraan.
“Akan kau bawa ke mana
kami, hai orang tua?”
“Sabarlah, Saudara!
Sebentar lagi kita akan sampai.”
“Di manakah Pulau
Kematian itu?”
“Percayalah! Kita akan
lekas sampai di sana.”
“Sampai, sesudah kami
semua mati satu per satu?”
Honcu terdiam. Kurang
bijaksana, jika orang yang terlilit amarah dihadapi juga dengan kemarahan.
Di hari ke sekian, benarlah
apa yang dikatakan lelaki berdada bidang itu. Dari kesebelas orang, dua yang
tersisa: Pirmol dan Honcu. Mereka berdua lebih laik bertahan hidup ketimbang
lainnya. Ketahanan fisik Pirmol memang tiada duanya. Tak ayal, kerap ia diminta
menjadi pengawal ketika para pejabat istana hendak bepergian jauh. Adapun
Honcu, keteguhan hati dan kepercayaan dirilah yang menerapnya sanggup bersikukuh.
Malam semakin tua. Hujan
merangkak. Petir memancangkan tombaknya. Tubuh Pirmol menggigil. Butuh sebutir
keajaiban untuk menghindarkannya dari maut. Di saat-saat terakhirnya, ia
berpesan kepada Honcu.
“Jika Pulau Kematian itu
berhasil kau temukan. Tolong sampaikan salam hormat kami kepada raja.”
Dengan gugurnya Pirmol,
genaplah sepuluh orang menjemput ajal, sebelum dapat bertatap muka dengan raja
di Pulau Kematian.
Layaknya serigala, Honcu
meraung sekeras-kerasnya. Ingin sekali ia memberontak, tapi kepada siapa. Tanpa
disadari, bibir perahu menyentuh daratan. Ia bergegas melemparkan sauh. Semangatnya
pulih seketika. Dan, sebongkah kebahagiaan bertunas di pundaknya.
“Inilah Pulau
Kematian!”
Honcu melihat banyak
arwah berkeliaran. Namun, tak satu arwah pun dikenal. Jikalau mengetahui
identitas salah satu dari mereka, pastilah ia bersoal tentang pengalaman
bermukim di pulau berbau darah tersebut.
Honcu berlari ke sana
kemari; berteriak, memanggil-manggil nama raja. Akan tetapi, tiada yang
menyahut. Adapun para arwah malah berkerumun, memandanginya keheranan.
Seharian Honcu melacak
di mana arwah raja bersarang. Sayang sekali, tak ia pungut tanda-tanda keberadaannya.
Kelelahan, ia pun bersandar pada pohon besar berdaun di tanah serta akarnya
menggantung di udara. Ketika itulah, ia melihat sesosok menyerupai dirinya
tergeletak di perahunya.
Honcu mengguncang-guncangkan
kepala, seakan ingin mengatakan bahwa manusia yang berada di perahu itulah
dirinya yang sebenarnya. Ia baru ingat, bahwa ketika Pirmol menghirup nafas penutup,
sepemakan sirih kemudian ia juga menyusul, angslup ke alam keabadian.
Dalam kegalauan yang membabibuta,
ia dikagetkan dengan derap langkah dari arah belakang. Arwah berwajah tampan
mendekat, memeluk Honcu begitu hangat.
“Tabik bagi Baginda.” Sambil
sesenggukan, Honcu mengecup kaki raja.
“Bangunlah!”
“Seribu maaf, Baginda. Hamba
terlanjur mati, sebelum membawa arwah Baginda kembali.”
Raja tersenyum. Sedang
pertempuran ketiga pangeran di Bulma masih terus berlangsung.
Yogyakarta, 2012