Dua bulan Hadi mendengkur di rumah.
Dua bulan pula ia menikmati udara segar pedesaan. Sebetulnya, cukup jarang ia
belanjakan liburan bersama keluarga. Tinggal di kota Srabeh dengan segenap
hiruk-pikuknya merupakan pilihannya dua tahun berturut-turut. Maklum, selain
karena rumah yang berjarak jauh dengan kampusnya, untuk mudik, ia juga harus
menghunus biaya transportasi selangit. Namun, karena desakan orang tua, ini
tahun ia memutuskan pulang ke desa Gagapsepi, daerah mungil di punggung gunung
Sendangpuro.
Bosan meneguk liburan panjang,
kemarin, Hadi balik ke Gotakara guna menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi
ternama. Setiba di terminal Sowondaru, mahasiswa semester enam itu memilih naik
Argosoro. Ini bukan kebetulan. Pun bukan sebiji keterpaksaan. Pinangan jatuh
pada Argosoro, sebab telinganya muak menelan kabar, bahwa bus tersebut
merupakan kendaraan berkecepatan tinggi sekaligus pengundang marabahaya.
Mafhumlah. Selain kecepatan yang menjadi kelebihannya, ini bus menyandang track-record
tersendiri dalam kecelakaan lalu lintas. Maka, siapa saja berkehendak jadi penumpang,
terlebih dahulu harus bertafakur matang-matang.
“Jangan sekali-kali kamu naik
Argosoro, kalau gak pengen mati konyol.” Pesan itu yang terpacak
dalam-dalam dari kalam Kang Dirman.
“Lebih baik cari bus yang lain aja.
Meskipun murah, bus Argosoro sering nabrak orang lho”. Desis Mbak
Kumintang, tatkala berpapasan dengan Hadi sebelum berangkat.
Semakin kerap mendapat nasehat,
semakin pula ia bernafsu membuktikannya. Kebengisan Argosoro baginya hanyalah
mitos. Seorang mahasiswa haruslah kritis. Demi memetik kebenaran, segala
sesuatu wajib diverifikasi. Dengan memantapkan hati, ia menetapkan Argosoro
sebagai tunggangannya menuju Gotakara.
***
Di terminal Sowondaru, awalnya Hadi
melungguh sekoteng di dalam Argosoro. Lama kelamaan menyusul penumpang-penumpang
lain yang telah mengantongi bujuk rayu Pak Kernet dan Pak Kondektur.
Sebetulnya, tiadalah mereka seperti Hadi, yang dengan rela dan sadar
mencatatkan diri menjadi penumpang.
Benar. Ya, benar. Batinnya
mendesis. Bus yang bertarif ekonomis itu memang cocok dengan jasadnya; ber-AC
alami, kursi penumpang banyak yang jebol, beratap triplek, lampu pecah, dan
berkaca buram. Sampai sini, ia belum percaya dengan satu hal; tentang kecepatan
Argosoro yang selama ini dielu-elukan orang-orang.
“Masak bus kayak begini, larinya
bisa cepat. Nabrak lalat aja gak mati, apalagi manusia.”
Awal mula lepas landas,
isyarat-isyarat kecepatan belum tertentang. Pak Sopir masih mempertimbangkan,
barangkali masih tersisa manusia yang mau menimbrung di bus.
“Terakhir. Terakhir. Terakhir.”
Hanya kata-kata itu yang menyembul dari bibir Pak Kernet. Wajarlah. Untuk
membujuk penumpang, segala upaya ditunaikan. Dan pemberdayaan kata-kata adalah
usaha yang kehebatannya tak perlu diragukan.
Orang-orang pun tergiur dengan
rayuan. Mengira Argosoro adalah bus terakhir, dengan sigap, mereka
berbondong-bondong layaknya hendak mengungsi ke lokasi penampungan. Padahal, di
belakang masih berjibun bus yang lebih layak, dengan fisik yang lebih sempurna.
Memang dalam usaha rekruitmen dan penyesatan penumpang, kru bus Argosoro
terkenal lihai dan patut memungut acungan jempol. Buruknya penampilan, bukan
memerankan penghalang dalam mereguk sebanyak-banyak penumpang. Dan, dalam waktu
singkat, bus memadat. Padat dengan orang-orang yang termakan omongan Pak
Kernet; si penipu ulung.
Hadi tampak santai melongok
situasi. Ia duduk di belakang Pak Sopir. Sambil menghirup dalam-dalam asap
tembakau, kepalanya dilendehkan ke kursi. Kedua tangan ditangkupkan di
selingkar perut. Sedang kakinya berayun-ayun ke kiri dan ke kanan.
Setelah lima belas menit membeku di
dalam bus, ia mulai mencium ketidakberesan. Setiap ada orang, selalu saja
diangkut. Tak peduli dengan penumpang yang ada di dalam. Mata Pak Sopir
memandang mereka bukan sebagai makhluk hidup. Namun sebagai komoditas yang bisa
ditukar dengan uang. Oleh sebab itu, merupakan tindak kebodohan jika membiarkan
mereka disambar oleh bus-bus yang lain.
Kursi yang sudah berjubal manusia
pun tak jadi soal. Dalam pikiran Pak Kernet dan Pak Kondektur, selalu ada
kaidah guna menata hal tersebut. Sehingga, bagai anak sekolah sedang latihan
baris-berbaris, para penumpang dibariskan dengan posisi berbanjar ke belakang.
Benar. Ruang tengah tanpa kursi yang sebenarnya untuk berlalu-lalang, disulap
menjelma tempat cadangan guna menumpuk para penumpang.
Batin Hadi mengerang. “Ini sopir
gila. Masak bus penuh begini, masih saja ngangkut penumpang”
Karena jenuh dengan keadaan,
sebagian penumpang meluncurkan protes kecil-kecilan.
“Pak, sudahlah, Pak. Sudah sesak nih.”
Perempuan berambut sebahu yang membopong balita angkat suara. Rintihan sang
anak seakan menggodanya untuk melenguh.
Pak Sopir membisu. Kata-kata yang
meluncur dari penumpang dicuaikan begitu saja. Tanpa tanggapan. Tanpa sebulir
jawaban.
Otak Hadi mendidih. Tindakan mesti
segera diambil. Sebagai mahasiswa, ia bosan menadah kezaliman yang menghantam
dirinya dan penumpang-penumpang lain. Agen of change wajib menyalin
situasi. Tidak terbatas pada pergerakan untuk menumbangkan rezim yang korup.
Atau mempertanyakan kebijakan rektor dalam meninggikan biaya kuliah. Bahkan
dalam keadaan paling remeh sekalipun, mahasiswa dituntut berdiri di garda
paling depan.
Sejurus kemudian, moncong Hadi
bocor juga. “Pak. Kami ini manusia. Disamakan saja sama kerbau!”
Mendengar kaul kurang sedap, Pak
Sopir enteng menganugerahkan sambutan. “Kalau keberatan, turun saja, Mas.”
Bagai pedang mengayun di tubuhnya,
kata-kata Pak Sopir terlalu tajam untuk dilawan. Terlalu sukar dihindari.
Ayunan yang begitu tangkas dan mematikan. Dan terpaksa ia mengalah. Mengalah
dengan seribu dendam. Mengalah dengan secuil bara yang mengendap di hati.
***
Matahari asyik memanggang diri.
Mendung bersembunyi. Para penumpang mulai gerah. Keringat membanjiri kursi,
lantai, dan udara. Bau kecut menyeruak. Semua keringat bercampur menjadi satu.
Keringat penjual tahu yang mau pulang. Keringat jagal yang dapat panggilan.
Keringat pejabat yang menggelapkan uang rakyat. Dan semua keringat dari segenap
kasta di masyarakat. Seolah-olah keringat-keringat itu mengaduk beraneka
suasana dan perasaan; kumuh, gaduh, sesak, tegang, marah, dan sinis.
Karena miskin AC, terpaksa semua
kaca dibuka. Terkecuali kaca depan dan belakang yang memang muskil disingkap.
Mereka kini layaknya hewan liar yang tertangkap di jalan-jalan dan segera
dibawa ke kebun binatang. Pak Kondektur hanya cuek dan tersenyum kecil melihat
kemenangan yang ada di pihaknya.
Dalam hitungan beberapa menit, satu
per satu, angka penumpang menyusut. Dengan berbekal kecewa, mereka mendarat di
loka tujuan masing-masing. Baguslah. Mereka berhasil bertahan menghadapi
siksaan dalam potongan waktu. Parahnya, siksaan itu bukannya dihindari, tetapi
malah ditebus dengan rupiah. Keberutungan mencuat. Buat sesaat, bus melega.
Udara bisa dihirup lagi. Harapan mulai terbit. Penumpang berseri-seri. Sinar
kegembiraan hinggap di wajah mereka.
Namun, setiba di perempatan
Mojokali, lagi-lagi mereka mengulun jakun dan kembali memendam kebencian. Ini
kali, harapan seakan sirna. Sekitar sepuluh orang diselundupkan. Ditampung
bersama penumpang lain yang kian tersiksa.
Mendapat perlakuan semena-mena,
disertai dengan gonggongan batuk, seorang berkopyah hitam, dengan beberapa
kerut di muka nyerocos. Belum genap menghembuskan rengekan, segesit kilat, Pak
Sopir segera mengatasi keadaan.
“Diamlah kau, Kakek Tua.”
Seperti sambaran petir di siang
bolong, kaul Pak Sopir menghantam dada sang kakek. Ia pun terdiam. Pandangannya
tertunduk. Hanyalah ia sang renta berumur sekitar 70 tahun. Sekadar penumpang
yang membawa uang pas. Jadi, menyerah lebih baik daripada diturunkan dan mati
membusuk di jalan. Ya, akhirnya ia menyerah. Meski dalam hatinya, pengemudi
berambut gimbal itu diumpat habis-habisan.
Bisikan-bisikan berseliweran.
Lidah-lidah menyembur. Ludah-ludah menyembul. Dan dari arah belakang, jejaka
bernama Gobel, mempengaruhi teman sekursi guna mewujudkan perlawanan.
Perlawanan dari penumpang kepada Pak Sopir. Perlawanan kaum tertindas terhadap
si penindas. Perlawanan yang dinahkodai bukan oleh seorang mahasiswa seperti
Hadi, tapi seorang penjual ikat pinggang yang saban hari mangkal di pasar
Krewit.
Ya, dengan kesepakatan yang
bergulir dari dua orang, kemudian disambungkan ke seluruh penumpang, akhirnya
mereka mufakat untuk memberontak. Segala benda dipukul-pukulkan. Botol,
tongkat, besi, kayu, semuanya. Ke kursi, kaca, lantai, atap, serta tubuh mereka
sendiri. Sehingga bus yang tumpat manusia itu bising. Umpatan-umpatan beterbangan.
Caci maki meluncur riang. Ada yang menyanyi “Sorak-sorak bergembira”. Ada yang
berpuisi “Aku”. Ada yang kencing. Ada yang berjoget. Ada juga yang membikin
yel-yel. Mereka akan menggulingkan penguasa yang sewenang-wenang. Mereka bakal
merobohkan tiang kediktatoran. Mereka berjuang mati-matian demi meraih keadilan
dan kehidupan yang lebih manusiawi.
***
Dan, tadi pagi, sebiji surat kabar
mewartakan, bahwa pada hari Rabu, 20 Juli 2011, bus Argosoro mengalami
kecelakaan dahsyat di daerah Lowoangum. Kecelakaan yang membuahkan 34 orang
meninggal, termasuk Pak Sopir, Pak Kondektur, dan Pak Kernet. Kecelakaan yang
melumat warung nasi Mbok Jah bersama seluruh isinya. Kecelakaan yang disesalkan
oleh mereka yang menasehati Hadi. Serta kecelakaan yang membuat orang tua Hadi
kelimpungan, sebab sampai detik ini belum dapat dipastikan; apakah Hadi
selamat, atau nyawanya ikut kabur bersama penumpang yang nahas.
Yogyakarta, 2011