Miris. Itulah kesan kita saat mendengar berita kematian warga akibat minuman keras (miras) oplosan. Hal ini tentu saja merupakan isu seksi yang beberapa pekan menjadi trending topic di koran, televisi, maupun media sosial.
Jika kita perhatikan, para korban peristiwa tragis-melodramatis tersebut adalah orang-orang berlatar ekonomi pas-pasan. Orang-orang dengan kategori sosial menengah-lapisan bawah (lower-middle class) yang rela merogoh kocek demi mereguk kesenangan dan kepuasan sesaat.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali inilah peribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dialami orang-orang kecil di atas. Selain berjuang melawan racun yang bersarang dalam tubuh, mereka juga harus menelan kesialan lain berupa aksi penyalahan beragam pihak atas tindakan mereka.
Padahal, mereka hanyalah korban dari oknum yang bernafsu mencari segebok keuntungan, meskipun dengan mengesampingkan kepentingan orang lain. Tanpa memikirkan imbasnya, bahan-bahan mengandung racun dicampurkan pada miras beralkohol. Hanya dengan takaran 30 mili liter, sudah cukup mengundang ajal. Sebab, saat menenggak miras oplosan itulah tubuh manusia akan mengubah metanol menjadi formaldehida atau formalin.
Dalam logika produsen dan penjual miras oplosan, hak orang lain halal dikorbankan asalkan kepentingan pribadi (private interest) bisa terwujud. Produksi miras oplosan terus berlanjut dikarenakan hanya bermodal kecil, seseorang bisa meraup untung puluhan juta hingga miliaran rupiah. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa minuman beralkohol legal lebih sulit didapat karena penjualannya dibatasi.
Korba-korban miras oplosan semakin tersudut, karena selama ini, kita lebih disibukkan dengan data statistik mengenai maraknya kriminalitas, meningkatnya degradasi moral, menurunnya tingkat kecerdasan, dangkalnya kebudayaan, serta rentannya hubungan sosial, sebagai dampak negatif konsumsi miras (alkoholisme). Padahal, rasanya kurang berimbang, jika kita terburu-terburu menuding mereka sebagai kambing hitam tanpa menggali lebih dalam motif dasar mengapa mereka mengonsumsi miras.
Bila ditelisik, ada sejumlah alasan mengapa akhir-akhir ini alkoholisme begitu marak. Pertama, ia menjadi final solution bagi orang-orang kecil saat sudah tidak ada yang dapat diharapkan. Mereka sudah mentok dengan kehidupan yang lebih berpihak pada orang-orang berdompet tebal.
Dengan mabuk, ada keyakinan bahwa mereka masih menyimpan harapan di hari esok. Harapan yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar fatamorgana. Dalam minda mereka, seolah terpatri slogan penghibur: “kesusahan boleh datang silih berganti asalkan satu kesenangan bisa diraih hari ini”. Mereka sadar bahwa sesaat setelah pengaruh miras hilang, mereka akan bergaul kembali dengan penderitaan.
Kedua, alkoholisme merepresentasikan balas dendam multidimensional; balas dendam terhadap harga kebutuhan yang meroket, pejabat publik yang sesungguhnya hanya pelayan justru berperan sebagai juragan, koruptor yang sesuka hati menggasak perhiasan Ibu Pertiwi, serta beragam kesulitan yang kian hari kian sukar dihilangkan.
Ketiga, budaya tanding (counter-culture). Dengan menenggak miras, orang-orang kecil bermaksud mendeklarasikan eksistensi mereka. Dengan miras berkelas ecek-ecek, mereka ingin menandingi kebiasaan konglomerat yang menghabiskan jutaan rupiah sekali teler. Mereka ingin berkoar bahwa meskipun bermodal murah, toh efek melayang yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, atau bir.
Keempat, upaya pergeseran status sosial. Miras, bagi orang-orang kecil, adalah salah satu sarana agar status sosial mereka berubah. Imitasi terhadap gaya hidup konglomerat yang gemar mabuk dapat menyebabkan status sosial terdongkrak. Hal ini didukung dengan fakta historis yang menunjukkan bahwa pada 1996, sebuah tim arkeolog menemukan sisa-sisa anggur berusia 7400 tahun di pegunungan Zagros bagian Utara Iran. Di sana terdapat gua dengan sejumlah ruangan ritual yang menyimpan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almond (Fitria, 2011).
Dalam pandangan Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University, saat itu arus industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecenderungan orang untuk melahirkan perbedaan sosial. Ritual dengan meminum sari buah yang memabukkan, di samping sebagai sarana memuja para dewa, ternyata juga menunjukkan bahwa mereka yang terlibat di dalamnya merupakan orang-orang istimewa.
Dengan mengetahui motif dasar alkoholisme, kita berharap agar para penegak hukum tidak sembarangan menyelundupkan orang ke jeruji besi. Ingat, Pak Polisi. Menangani alkoholisme tanpa menyentuh akar persoalan hanya melahirkan kriminalisasi: upaya menghakimi tanpa berniat memberi efek jera yang berarti!