Sejarah Nusantara tidak
bisa terlepas dari terompet. Terompet menjadi bagian penting perjalanan negeri
ini. Terompet turut memberi “lampu hijau” atas berkembangnya peradaban yang
gilang gemilang. Namun demikian, dari masa ke masa, terompet selalu melakukan
redefinisi. Eksistensi terompet tergantung pada realitas sosio-kultural
masyarakat.
Dalam Kilasan Sejarah
Dahulu kala, saat
masyarakat masih menjunjung tinggi solidaritas, terompet mendapat posisi mulia.
Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya,
mengenai salah satu kota kerajaan, yaitu Surakarta, Denys Lombard (2005)
mencatat bahwa ketika dibangun oleh Sunan Paku Buwana II pada tahun 1745, raja
dan ratu tampil di panggung singgasana (sitinggil)
diiringi oleh sejumlah penari perempuan. Diikuti beberapa gajah, satu barisan
penunggang kuda serta lima brigade prajurit (gangsal bregada) Kompeni, mereka disambut oleh meriam, bunyi
gamelan, serta tiupan terompet.
Hal ini menandakan
bahwa terompet menjadi saksi historis atas didirikannya Surakarta, sebagai
pengganti Kartasura—yang telah dinodai oleh pasukan Cina-Jawa di bawah Sunan
Kuning dan pasukan Madura yang dinahkodai Cakraningrat IV. Terompet turut
“merestui” Surakarta menjadi kota perniagaan yang besar.
Terompet pernah menjadi
pemantik semangat perjuangan. Berdasarkan Pramoedya Ananta Toer (2001), kronik
revolusi Indonesia mencatat bahwa saat menghadapi suasana genting, Komandan
Divisi X Tgk. Chik di Tiro menerbitkan perintah umum kepada segenap anggota
Lasykar Mujahidin untuk bersiaga menghadapi Belanda. Perintah umum yang
dikeluarkan sehari setelah Agresi Militer Belanda I pada 1947 tersebut diakhiri
dengan seruan:
“Barisan
Mujahidin, maju terus ke medan perang. Terompet sudah memanggilmu. Nyanyian
bidadari menggema alam fana di dalam kabut asap mesiu untuk menghibur jiwa yang
gugur di medan pertempuran.”
Kata “terompet” menjadi stimulus bagi para
pejuang untuk melaksanakan mandat patriotisme dan nasionalisme. Terompet
mengandung ajakan untuk mempertahankan martabat bangsa agar tidak
diinjak-injak.
Sejarah pergerakan
perempuan mendapat kawalan ketat dari “Terompet”.
SK Trimurti, seorang wartawati, penulis, dan pengajar, telah merintis majalah “Terompet” yang merupakan kelanjutan
dari majalah berbahasa Jawa, “Bedug”.
Majalah ini bertujuan menggugah kesadaran rakyat luas untuk mengusir penjajah. Dengan
tulisan-tulisannya yang kritis, S.K Trimurti menentang kesewenangan orang
Belanda memperlakukan pribumi. Menunjukkan sikap anti kapitalisme dan
imperialisme, istri Sayuti Melik tersebut berani menelanjangi ketidakadilan kaum
kolonial.
Terompet juga
memuluskan tersebarnya ide harmonisasi perbedaan. Terompet mengulurkan dukungan
terhadap kerukunan antar umat beragama. Pada 30 Desember 1970, Paus Paulus VI
memimpin misa di Stadion Utama dalam rangka kunjungannya ke Indonesia (Julius
Pour, 2004). Alunan terompet menyambut pemimpin Kristen yang mengulurkan
kepedulian terhadap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Hal ini menandakan
keterlibatan terompet dalam melancarkan terbukanya keran pluralisme internasional.
Terompet
dan Tahun Baru
Bersamaan dengan arus modernisasi
dan globalisasi yang melegalkan individualisme, saat ini, masyarakat cenderung
menempatkan terompet pada posisi kurang terhormat. Terompet sekadar menjadi cheerleader hingar-bingar malam tahun
baru. Sehingga, terbentuk opini publik bahwa tahun baru identik dengan
terompet.
Tahun baru menampilkan
terompet sebagai komoditas paling dicari. Tanpa terompet, tahun baru terasa hambar.
Terompet mendadak menjadi kebutuhan primer bagi siapa saja yang ingin merayakan
awal tahun dengan gegap gempita. Terompet dianggap sebagai most urgent need guna menyaksikan wajah negeri yang bakal berganti.
Celakanya, terompet menjadi lebih penting daripada tahun baru itu sendiri.
Di jalan-jalan dan
pusat perbelanjaan terompet menjadi penanda bahwa sebentar lagi kalender
berganti. Terompet juga melapangkan jalan tahun baru yang selalu menyajikan
ironi: meniupkan kabar gembira sekaligus berita duka. Jika pemeluk status
sosial tinggi merayakan keberlimpahan, maka pemegang status sosial rendah sibuk
merayakan penderitaan.
Bagi orang kaya, tiupan
terompet dapat menimbulkan semangat baru. Pergantian tahun mempercepat naiknya
pangkat, gengsi, dan gaji. Itulah sebabnya, kesejahteraan yang berada di depan
mata perlu disambut dengan pesta dan hura-hura. Terompet menyimpan euforia.
Adapun bagi orang
miskin, terompet layaknya sangkakala. Menyimak nada terompet ibarat
mendengarkan bunyi sangkakala yang ditiup Isrofil. Pergantian tahun merupakan
kiamat bagi mereka. Grafik nasib mereka menurun, lebih buruk dari tahun ke
tahun. Kecilnya pendapatan tidak cukup memenuhi kebutuhan seabrek. Pergantian
tahun selalu dinanti, meskipun pada akhirnya mereka sakit hati.
Di sinilah terompet mengandung
anomali. Sebagian masyarakat menganggapnya pengingat kabar gembira, akan tetapi
sebagian lain menudingnya sebagai alarm bahaya. Dengan posisi saling bertolak
belakang, terompet kehilangan identitas. Apalagi, martabat terompet cenderung berevolusi,
dari penyokong kejadian-kejadian penting (important
events) ke sekadar penyangga sikap hedonis-pragmatis.
Realitas ini
menyebabkan eksklusifitas terompet terancam. Masa depan terompet rentan
mengalami kehancuran. Kita hanya bisa menunggu. Apakah di masa mendatang,
terompet hanyalah saksi mata meningkatnya kesenjangan sosial, ataukah saksi
historis atas beragam peristiwa besar.