Di sebongkah pagi yang
bertudung embun, aku bersama teman-teman—Toni, Sukma, Heru, dan Joko—melendeh santai
di teras rumah Pak Raden. Hari Minggu adalah waktu di mana kami rehat dari
pelajaran sekolah. Kami biasa mengisinya dengan beraneka kegiatan yang mengantar
hati mengayuh gembira. Mendengar cerita Pak Raden merupakan salah satu di
antaranya.
Sesuai janji, Pak Raden
hendak mewartakan sebiji kisah yang belum pernah diriwayatkan kepada siapa pun.
Termasuk cucunya sendiri, Bomi. Sungguh, kami mengantongi perlakuan istimewa.
Alangkah serunya! Menyimak kisah yang tergolong langka itu.
Ditemani secangkir kopi
dan lintingan tembakau, Pak Raden memulai alkisah dengan suara yang serak-basah;
dengan nada melengking tinggi, kadang mendatar-merendah.
***
Istana Hungi adalah
tempat yang sangat gelap. Istana megah itu urung tersentuh cahaya. Segala
sesuatu di dalamnya tampak suram sekaligus menakutkan. Di sana selalu malam.
Ya, malam dengan angin berdesir-desir dan lolongan satwa buas berkejaran. Pagi,
siang, sore, dan senja memilih menjauh. Tapi tidak bagi manusia. Mereka berpenat-penat
seraya mendekat. Sayang, belum terbit satu pun dari makhluk dengan seribu
perasaan itu yang dapat menjangkau jalan menuju istana.
Namun demikian, suatu
hari, pemuda yang dilahirkan ibu manusia, bertekad berkunjung ke sana. Berbekal
lentera kecil, ia telusuri jalan tikus yang menghubungkan Krobbo, kampungnya,
dengan hutan Jamul—loka mengerikan berjarak 5 kilo meter dari istana Hungi.
Tentu bukan manusia
sembarangan yang bisa menembus hutan rimbun itu. Namun Briton berhasrat
membuktikan bahwa dirinya adalah manusia pilihan. Benar. Manusia pilihan yang
sanggup melumpuhkan Horsi—ular raksasa yang ratusan tahun tinggal di dalamnya.
Binatang dengan sisik ulat, ekor bercabang lima, serta taring-taring tajam yang
menempel di serata tubuhnya. Binatang berbisa yang melumat ribuan tulang para
pemburu kemuliaan. Tak terkecuali, Monsi, kakek Briton, yang tamak mengejar
jabatan tetua suku.
Tujuan sama dengan niat
berbeda. Itulah kesan yang terendus dari pribadi Briton. Lelaki dengan jambang
mengembang dan kumis lancip itu mafhum, bahwa manusia ingin pergi ke istana
Hungi demi menggapai mimpi. Akan tetapi, Briton adalah Briton. Menurutnya, menggayuk
mimpi dengan syarat menumbalkan nyawa tiadalah hal yang berguna. Ia enggan tewas
konyol. Tewas mengenaskan semisal kakek Monsi usai semburan beracun melemaskan sekujur
badan. Sekalian iganya yang bersemburat dan luluh lantak karena remasan Horsi.
Briton membagul satu tujuan yang tak sempat terbersit oleh para pendahulunya.
***
Moher terguncang.
Gerangan apakah yang membuat istananya mendadak gemetar. Oleng. Dan
meraung-raung. Hampir satu abad, ia beserta para begundalnya dikelilingi
kedamaian. Kedamaian yang terbungkus kegelapan. Bagi mereka, kegelapan
merupakan hal terindah dan begitu diagungkan. Kegelapan—layaknya cahaya—berperan
menyuluh kehidupan.
Kini bukan saatnya lagi
mengunyah waktu bersama para selir; menikmati teh mura atau mengulun buah buja
dengan pijitan halus jemari lentik betina-betina cantik di pundaknya. Ia harus lekas
mengawasi keadaan. Terdesak, ia turun tangan tanpa menitahkan ajudan dengan
suara paraunya.
Sampai di beranda
istana, ia terlonjak. Tercengang. Lalu terdiam. Alisnya menyatu dan bibirnya
menggigil. Bola matanya memergoki sepercik api dengan kepulan asap yang
meliuk-liuk. Meski tak terlalu besar, ia sungguh berang. Kata Vorgi, paman
Briton, Moher beserta pengikutnya sangat benci dengan segala hal yang
menghembuskan cahaya. Itulah mengapa beberapa benda seperti obor, lentera, serta
tungku milik penduduk Krobbo kerap rusak. Ah, tepatnya dirusak oleh Bunggula,
sebutan bagi burung-burung berparuh besi utusan Moher.
Langkah masih tergagap.
Ludah mengental di ujung jakun. Moher menduga bahwa sebiji peristiwa buruk
mengancam istana. Ia dituntut mengambil tindakan segesit kilat. Atau penyesalan
bakal terlebih dahulu menyapa.
***
“Wahai raja berburuk
rupa, aku ke sini hanya demi melempar satu pertanyaan.”
Telinga Moher mendidih.
Gerahamnya mengencang. Dua tangannya mengepal. Seumur-umur, belum pernah muncul
makhluk yang berani berkata-kata memekakkan suasana seperti itu. Tanpa
bermaksud merendahkan nyali, pangkal lidahnya bergeser sedikit dan meluncurkan sepotong
kalam: “Tenang. Tenang. Perkenalkan dulu siapa dirimu.”
Briton menampik
mentah-mentah ocehan Moher. Lalu tanpa basa-basi, ia menyahutnya enteng.
“Apakah kau ayahku?”
Moher tercekat. Ada
yang mengunci katup mulutnya. Makhluk berambut cacing dan berbulu serigala itu memandang
lurus ke depan. Pandangan yang seolah tertuju pada Briton, namun sebenarnya ia
sedang merajut benang-benang masa lalunya. Bayangannya tumpah. Keping-keping
ingatan yang dikubur dalam-dalam sekonyong-konyong menyerbu kepala. Bukan
maksud menguras sesuatu yang sudah lama disingkirkan. Akan tetapi, sebab ulah
Briton, kenangan-kenangan itu diletakkan kembali di punggungnya.
Dengan segenap
kelancangan, Briton menebar ancaman.
“Jika tetap bungkam, kebohonganmu
akan kubongkar. Dengan begitu, penduduk Krobbo
paham bahwa kau bukanlah raja kegelapan yang mampu mengabulkan segala
permintaan. Bukankah selama ini kau merahasiakan hal ini? Termasuk kepada abdimu
sendiri? Inikah satu-satunya usaha supaya kewibawaanmu tetap terjaga?.”
Bagai gelombang yang
menyapu buih di laut Syme, buah tutur Briton memporakporandakan bangunan siasat
Moher. Bingung memburu jawaban yang tepat, ia cuma berkelit: “apa yang kau
maksud, anak muda?”
“Baik. Jika itu maumu,
aku akan pulang. Ternyata kau lebih menyukai kehancuran daripada kejayaan.”
Belum genap kaki Briton
menginjak gerbang istana, Moher menyusul sambil mendengking.
“Tunggu! Jika memiliki tujuh
tahi lalat di paha kiri, kau adalah anakku.”
***
Diam-diam para menteri
menggelar rapat besar. Genting. Darurat. Mereka merembukkan percakapan antara dua
makhluk berlainan wujud itu, Briton dan Moher.
“Kalau memang anak ingusan
itu benar, kita mesti mengumpulkan pasukan guna melengserkan raja. Ia layak
dibumihanguskan. Sesungguhnya, kegelisahan ini lama kupendam tapi urung kusibak
pada kalian.” Celetuk Bopeng.
“Setuju. Dulu kita
diperingatkan berulang kali oleh Eyang Homan. Ia sama sekali tak percaya dengan
sikap Moher. Siluman laknat itu hampir mengutil Gada Kura, senjata pamungkas
Pangemanus—saat mendengkur lelap.” Sahut Gembyor.
Sorrah tergoda dan berkecek:
“Tapi, perjanjian itu terlanjur dibuat. Kekuatan kita saat itu kalah telak
dibanding jumlah kawulanya. Apa boleh buat; raja kita, Sumare, memutuskan untuk
menyerah.”
Siluman berlengan sembilan
itu melanjutkan lenguhnya: “Dan hingga sekarang, kita dijadikan jongosnya.
Diperintah-perintah seenak udelnya.”
“Harus ada mata-mata.” Sambil
menatap muka para siluman yang hadir, moncong Dalbo menguap. Dan tanpa aba-aba,
mereka mengangguk serentak.
***
Kutukan itu tengah menerjang.
Kutukan yang tak lain berpunca dari istrinya sendiri. Dalam benaknya, ia
berdesis: “apakah ini kutukan yang dimaksud Sebru?”
Inilah masa di mana pengkhianatannya
berbuah. Moher sadar, bahwa Sebru bukanlah perempuan biasa. Ia keturunan ketiga
dari Hubras, penyihir paling masyhur di jagat raya. Namun semua sudah
terlanjur. Penyamarannya sebagai jejaka tampan bernama Kamru, patut disesalkan.
Moher ingat betul bagaimana dengan tipu muslihatnya, ia memperkenalkan diri selaku
putra bungsu Asokin—tokoh tersohor dari Gurta—, sehingga Sebru jatuh ke
pelukannya. Lalu bergulirlah lakon terlarang. Riwayat cinta antara manusia
dengan siluman. Jalinan asmara yang sama sekali tak direstui oleh Kumila, ibu
Sebru.
Berhasil mengetam
keperawanan Sebru, Moher barulah mengaku bahwa dirinya bukanlah manusia. Tangis
Sebru pecah; airmatanya hancur berderai-derai selama tiga bulan. Lantaran rengekan
Sebru itulah, sungai Hibin memerah. Tetesan darah dari lubang netra perempuan
berwajah purnama itu menggenangi permukaannya. Dan sesaat sebelum Moher menghilang,
Sebru memasang kutukan.
“Ingat. Janin yang menyembul
dari perutku ini bakal membinasakanmu. Celakanya, ia mustahil kau bunuh. Karena
jika kau membunuhnya, itu sama saja melenyapkan dirimu sendiri.”
***
“Terlambat, Siluman.”
Briton menarik jubah hitam
dari karung yang digantung di pinggangnya. Moher sangat kenal dengan kain lusuh
itu.
“Itu kan jubah yang
kupakai sebelum pergi meninggalkan Sebru.” Gumamnya lirih.
“Kenapa? Kau kaget, Ayah?.”
Sepemakan sirih
kemudian, Briton mengenakannya dan api menyala seketika.
“Dengan cara inilah aku
merampas nafasmu pelan-pelan. Jubah ini adalah saksi atas pengkhianatanmu pada
ibu. Usai kau campakkan, ibu mengutuknya habis-habisan. Siapa saja yang
memakainya, pasti ia terbakar. Tak terkecuali denganku, titisannya. Asal kau
mengerti; tiadalah kehidupanku berarti jika ibu masih meratap. Kau pasti tahu,
jika aku mati kau pun mati. Maka, membakar diri adalah jalan merenggut
kebahagiaan. Kebahagiaan kala memandangimu meregang nyawa di hadapanku. Mampus
dengan daging gosong dan tulang berantakan. Ya, mampus oleh sebab hal paling
kau benci selama hidupmu. Aku telah menanti kesempatan berharga ini semenjak
delapan tahun silam. Dan sekarang aku mendapatkannya. Hahaha…..”
Mata Moher membelalak
sempurna. Jantungnya hampir lepas. Lantas………
***
“Akhhh….. Maaf ya, ceritanya sampai sini dulu. Lain kali kita
sambung, deh. Pak Raden mau mengantar
Bu Inah ke pasar Sengkong. Tuh,
orangnya sudah menunggu di depan.”
Tepat pukul setengah sepuluh,
kami pulang dengan segebok pertanyaan menumpuk di kepala.