Era digital mengajak manusia
untuk selalu peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Akses yang begitu luas
menjadikan curiosity (rasa ingin
tahu) manusia mendapatkan saluran yang efisien. Bagaimana tidak! Dalam hitungan
seper sekian detik, dengan menekan enter,
manusia bisa menjawab apa yang selama ini menjadi ‘misteri’. Namun demikian,
informasi yang tidak terbendung menuntut para peselancar dunia maya lebih selektif
dan cerdas, supaya terhindar dari julukan “makhluk instan”.
Dunia maya dengan
segala konsekuensi dan seluk-beluknya menjadi penyebab munculnya revolusi digital.
Mark Sloka mengatakan bahwa revolusi digital merupakan awal dari semua
problematika yang menghantui setiap produk pemikiran manusia. Produk itulah
yang disebut “realitas cyberspace”
yang memunculkan ekstasi utopia dan menghalalkan tingkah-laku publik di dalam
jargon Netopia.
Dalam esai yang
dipublikasikan pada awal tahun 1995, The
Road to Unreality, Mark Sloka menguraikan realitas teknologi baru dan
implikasinya secara kultural. Pemikir dan kritikus budaya tersebut menjelaskan
dengan menganalogikan sebuah konsep teknologi yang menyatakan bahwa kecenderungan
teknologi baru membias pada hilangnya realitas (a loss of reality) dalam diri masyarakat. Sebuah kemajuan,
imbuhnya, berkonsekuensi pada hilangnya komunikasi personal dan realitas secara
keseluruhan. Ia secara tegas mengkritisi sikap masyarakat yang percaya dan
menyerahkan segala sesuatunya ke dalam kerja komputer, dan mereka yang
menganggap bahwa permasalahan masa depan bukan lagi di dunia nyata (real life) tetapi ditentukan oleh dunia
realitas virtual (virtual relity).
Sebagai seorang humanis, Slouka menunjukkan kemungkinan-kemungkinan hilangnya sense realitas dalam diri kita karena
terlalu terlibat pada apa yang disuguhkan realitas maya, yang mampu diciptakan
komputer (Astar Hadi, 2005: 66-67).
Buku
Bertema Digital
Dalam perkembangannya,
fakta dan realitas yang disuguhkan era digital telah memantik kesadaran
literasi para penulis untuk melahirkan buku-buku bertema digital. Sebut saja Addicted to Weblog: Kisah Perempuan dalam
Dua Dunia (Labibah Zain, 2005) dan Satin
Merah (Brahmanto Anindito dan Rie Yanti, 2010).
Lewat buku kumpulan
cerpennya yang diterbitkan oleh Pustaka Populer Obor, Labibah Zain berusaha menelanjangi
tema-tema cyber dengan spesifik. Barang
tentu, saat pertama kali bukunya diterbitkan, tema cyber masih sangat langka dalam jagat sastra Indonesia.
Dari awal paragraf
cerpennya, bisa diketahui bahwa pendiri komunitas weblogger Indonesia Blogfam
tersebut mengajak pembaca berkelana pada labirin dunia maya yang riuh dengan
ragam keuntungan beserta risikonya: “bagi
istriku, internet adalah kehidupan keduanya. Dia bisa menghabiskan waktunya
selama berjam-jam di depan komputer untuk berselancar di dunia maya. Mulanya
dia berselancar di dunia maya hanya untuk membaca berita-berita baik yang
terjadi di Indonesia maupun di mancanegara. Semua berita yang berhubungan
dengan politik, ekonomi maupun gosip seputar artis dilalapnya. Lambat-laun dia
mulai pintar mencari resep-resep masakan yang ada di website-website buatan
orang-orang Indonesia. Resep-resep baru itu disalinnya untuk dipraktekkan di
dapur kami. Kadang masakannya gosong sebelah, tetapi rasanya enak. Tak jarang
pula masakannya kelihatannya enak, namun membuat perutuku mual tidak karuan.”
Adapun Brahmanto
Anindito dan Rie Yanti, dalam novelnya, secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia
dapat dengan mudah menemukan apa yang mengganjal dalam pikirannya: “dalam keadaan kuyup sisa dari menerjang
hujan, Nadya duduk di depan komputer. Lampu led di modemnya berkedip-kedip.
Begitu internet terkoneksi, Nadya langsung menuju mesin pencari Google. Dia
mengetikkan dua kata di sana. Tak lama, muncullah beberapa tulisan pendek
beserta tautan yang menunjukkan letak artikel tentang Sastra Sunda.”
Lahirnya
Cybersastra
Di luar jalur
penerbitan ‘buku-buku digital’ sebagaimana yang disinggung di atas, telah berkembang
juga ‘sastra maya’ (cybersastra) melalui internet yang memberi kesempatan kepada
semua orang untuk membuat situs dan mengisinya dengan tulisan apa saja,
termasuk sastra. Konon, jalur internet di dunia penerbitan Indonesia dirintis
oleh penerbit Mizan sejak tahun 1996 dengan website Mizan-Online
(http://www.mizan.com). Kalaupun kemudian telah lama dimanfaatkan oleh banyak
orang, perkembangan zamanlah yang menjadi “ibu kandung”-nya. Tentu saja dapat
diperkirakan bahwa pendukungnya masih terbatas pada mereka yang memiliki
fasilitas dan jaringan, sedangkan keterbacaannya akan kembali juga kepada
publikasi tertulis yang secara umum disebut buku (Yudiono K.S., 2007: 298).
Bagaimana
perkembangannya kemudian memang harus selalu dikejar agar teknologi komunikasi
canggih itu dapat diberdayakan sedemikian rupa sehingga meningkatkan harkat dan
martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama
ini selalu meyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter
bangsa.
Sementara itu, penyair
Medy Loekito (2000) telah mengabarkan bahwa cybersastra Indonesia sudah dimulai
oleh sejumlah anak muda dengan berbagai situs dan milis sastra, seperti milis gedongpuisi asuhan Dodi Iskandar, milis penyair asuhan Nanang Suryandi, dan
milis puisikita asuhan Anna
Herdiyanti Haris. Sejumlah situs pribadi pun mulai bermunculan, seperti Edi
Cahyono yang memlui situs angelfire.com
situs Nanang Suryadi dengan alamat thepentagon.com/penyair,
Anna Herdiyanti Haris dengan surf.to/inong,
dan Aranggi Sumardjan dengan members.tripod.com/jaranireng.
Kemunculan cybersastra
merupakan kabar menggembirakan bagi perkembangan sastra Indonesia. Di samping dapat
menjangkau kalangan pembaca lebih luas, keberadaannya merupakan jawaban atas perkembangan
zaman. Namun demikian, di masa-masa yang akan datang, apakah cybersastra tetap
mampu bertahan di tengah gempuran globalisasi? Kita hanya bisa menunggu.
Sejarah yang akan bicara.