Setelah
dilantik sebagai Mendikbud, Muhajir Effendy melempar wacana perpanjangan jam
sekolah dengan mewujudkan full day school agar menghasilkan out put
lebih berkualitas. Yang mendukung percaya, berada di ruang kelas lebih lama,
cakrawala ilmu pengetahuan siswa semakin terbuka. Sedangkan mereka yang menolak
menganggap belajar dari pagi sampai sore dapat mengganggu psikologis anak.
Meski dikaji lebih dulu sebelum diterapkan.
Dikisahkan,
Sabur, seorang petani biasa menjual sebidang kebun kelapa sawit untuk mendirikan
sekolah tingkat SLTP. Dengan segenap keterbatasannya, Warga Desa Aur Cina,
Bengkulu tersebut juga menyusun silabus pendidikan lingkungan hidup yang kini
menjadi referensi sekolah-sekolah di Provinsi Bengkulu.
Dia
menitikberatkan pada kehidupan siswa di rumah dan sekolah. Sejak dini, mereka diajak mengenali
kerusakan lingkungan dan dampaknya. Lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia beserta
perilakunya, sudah selayaknya mendapat porsi lebih dalam kurikulum pendidikan.
Sayangnya, sebagai negara dengan kekayaan lingkungan hidup melimpah, Indonesia
justru kerap dihantui persoalan lingkungan hidup (Henry R Somba, 2014).
Akar
permasalahan kerusakan lingkungan berelasi kuat dengan kebijakan pemerintah.
Selama ini, pendidikan didesain tidak untuk mendekatkan, melainkan menjauhkan
siswa dengan alam. Dalam catatan sejarah, pemikiran berbasis sumber daya lokal
merupakan unsur yang mampu memelihara lingkungan. Sayang, kearifan yang diwariskan
para leluhur telah digadaikan para politikus, pejabat, dan pemodal.
Mereka
menjual “apa saja yang menguntungkan” kepada negara-negara penganut paham
ekonomi neoliberal. Kampanye masif pemikiran-pemikiran barat berhasil menggeser
kearifan lokal. Akibatnya, sistem pendidikan global yang belum tentu sesuai
dengan psikologi dan sosio-kultur masyarakat menjadi panutan.
Atas
dasar inilah, sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri dituntut melakukan
transformasi, namun tidak dengan memperpanjang jam belajar. Akan tetapi lebih
pada upaya menerapkan pendidikan berkarakter. Salah satunya, senantiasa
mendorong agenda pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Dengan
kurikulum sekolah dapat membangun tonggak konsolidasi antara gerakan lingkungan
hidup dan perilaku manusia. Dengan demikian, pendidikan sanggup membentuk jati
diri sebagai bangsa yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian.
Pada
tahun 1912, berdiri Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), sebuah organisasi
beranggotakan guru dengan semangat perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Pasca kemerdekaan, melalui Kongres Guru Indonesia 24-25 November 1945 di
Surakarta, segala perserikatan guru yang didasarkan atas perbedaan politik,
agama, dan etnik, dihapuskan. Kemudian dibentuklah PGRI dengan tujuan:
mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi tingkat
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, serta membela
hak-hak guru.
PGRI
dituntut kritis terhadap segala fenomena dan problematika dunia pendidikan.
Para guru, melalui organisasi ini, dituntut mampu melontarkan kritik tajam atas
berbagai bentuk kesalahan ataupun kesewenangan pemerintah seperti kebijakan
propemodal. Selain itu, mentalitas priayi harus dihindarkan. Menyikapi wacana
yang dicetuskan Mendikbud, PGRI harus bersikap. Bagaimanapun, kebijakan sang
menteri berpengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan.
Begitu
pentingnya PGRI, jangan sampai organisasi ini mengalami penyempitan dan
pengerdilan identitas. Sebisa mungkin berbagai kepentingan dan muatan politis
dijauhkan dari tubuh PGRI. Meskipun dirancang sebagai organisasi yang bersifat
netral dan tidak berafiliasi, posisi dan kedudukannya yang begitu signifikan
membuat sejumlah pihak bermaksud memperalatnya sebagai alat legitimasi.
Di
balik arus demokratisasi dan otonomi yang begitu deras, organisasi ini kerap
dibayangi otoritarianisme. Boleh dibilang, eksistensi PGRI mengandung anomali
dan kontradiksi. Di satu sisi, ciri fisiknya mendekati organisasi modern yang
mengakomodasi hak kebebasan berekspresi. Namun, di sisi lain, keberadaannya
rentan bercorak konservatif dengan konsep pembangunan ala Soeharto selaku
kiblatnya.
Panggilan Jiwa
Kepercayaan
masyarakat terhadap guru tidak boleh dirusak segelintir kepentingan. Guru
dituntut menjaga kredibilitas dan independensinya sebagai pendidik. Dia harus
menjauhkan diri dari arus politik yang semakin tak tentu arahnya. Hingar-bingar
politik hanya akan menyebabkan guru melupakan kewajiban.
Yang
berlaku dalam jagat politik hanyalah kepentingan. Logika “jika-maka” menjadi
pijakan utama para elite politik dalam memuluskan aksi. Segala pertimbangan
berdasar pada hukum kausalitas. Materialisme, positivisme, dan hedonisme
merupakan ideologi kaum politik. Untung-rugi menjadi faktor penentu suatu
langkah diambil. Tak ayal, mereka mengupayakan segala menjadi ajang
transaksional.
Prioritas
sebuah agenda politik bukan inisiasi merealisasikan cita-cita mulia, harapan
rakyat, dan idealisme, tapi ikhtiar mencetuskan gejala-gejala simbiosis
mutualisme yang menguntungkan beberapa pihak sekaligus. Orientasi kepahlawanan
guru tidak boleh tercemar godaan duniawi dan hasrat materialistis. Di sinilah
profesionalitas dan dedikasi guru diuji. Jika terpukau oleh silau uang dan
jabatan, mereka akan mengorbankan harga diri demi menangguk keuntungan. Namun,
jika mampu mengelak dari berbagai jebakan, mereka tentu layak menyandang
predikat “pahlawan tanpa tanda jasa.”
Dalam
rangka mengantisipasi gencarnya politisasi, guru dituntut berkomitmen untuk
menjaga netralitasnya. Atas dasar inilah, PGRI harus sanggup membangun mindset
bahwa profesi pendidik merupakan panggilan jiwa yang tak pernah dapat ditukar
dengan imbalan materi, berapa pun besarnya.
Di
samping membangun mindset, PGRI harus menyuarakan kepada pemerintah
bahwa di dalam pendidikan terdapat proses humanisasi. Sekolah sebagai “tangan
kanan” pendidikan harus sanggup membebaskan manusia dari cengkeraman
positivisme dan dogmatisme. Dengan nalar konstruktif, sekolah semestinya dapat
melahirkan makhuk-makhluk kreatif dan inovatif yang mampu mengaktualisasikan
kebebasan. Wacana full day school, tanpa melihat situasi dan kondisi
masyarakat setempat, hanya melahirkan robot-robot yang kurang peka terhadap
sekitar.