Hari kelahiran
Pancasila 1 Juni semestinya digunakan untuk mengukuhkan martabat dan kehormatan
dasar negara. Sebab, akhir-akhir ini, bermunculan yang mulai meragukan
Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila dianggap tidak mampu menyelesaikan
berbagai problem kebangsaan. Atas dasar inilah, mereka menginginkan agar
landasan bernegara diubah.
Di samping beraroma
tendensius, tentu sikap ini juga melahirkan pro kontra. Para pendukung menilai,
Pancasila ideologi “usang” yang tidak relevan dengan kondisi kini. Adapun yang
menolaknya cenderung meyakini Pancasila sebagai ideologi terbuka yang
senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Secara historis,
prinsip sosial budaya dalam Pancasila menjadi elemen penting nilai-nilai nenek
moyang. Pada dasarnya, prinsip ini juga tergali dalam kehidupan sehari-hari
yang sekaligus menyatu dengan adat-istiadat masyarakat. Ini berarti menjadi
pandangan hidup, ciri khas, karakter, serta jati diri budaya bangsa. Di
antaranya, kebersamaan, kekeluargaan, toleransi, dan gotong-royong.
Dalam perdebatan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), paham negara
kekeluargaan atau integralistik dinyatakan secara tegas oleh Soepomo sebagai
negara kesatuan dengan masyarakat yang tersusun secara integral. Di dalamnya
terjalin hubungan erat antara semua golongan dan individu. Pemikiran ini
sesungguhnya merujuk pada prinsip persatuan pimpinan dan rakyat sekaligus
persatuan dalam negara secara keseluruhan.
Bagi Soepomo, konsep
negara kesatuan sesuai dengan alam pikiran ketimuran serta berlandaskan pada
struktur sosial masyarakat yang asli di desa-desa. Bagi Soepomo, konsep
demikian tidak lain merupakan produk kebudayaan Indonesia (Sudjito, dkk, 2012:
35).
Prosiding
Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam
Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia yang diterbitkan
Universitas Gadjah Mada tahun 2012 menyajikan catatan. Di antaranya,
nilai-nilai Pancasila bisa menjadi titik tolak masuk pembudayaan bagi generasi
muda. Hal ini terutama dirasakan di sejumlah desa dengan nilai budaya yang
cukup kuat serta relatif lebih sering menggunakan cara komunikasi tradisional.
Bahkan, kerap
dinyatakan bahwa Pancasila sebenarnya telah diimplementasikan dalam kearifan
lokal masyarakat perdesaan. Asumsi ini tidak mengherankan karena Pancasila
merupakan kristalisasi dari berbagai macam budaya Nusantara.
Demokrasi
Asli
Pemikiran Pancasila
sebagai dasar negara tidak bisa terlepas dari ide “demokrasi asli” sebagai
salah satu penopangnya. Dalam analisis Hatta, demokrasi asli Nusantara dapat
senantiasa bertahan di bawah feodalisme. Sebab di berbagai daerah Nusantara,
tanah sebagai faktor produksi terpenting bukan berada dalam kekuasaan raja,
tapi dimiliki secara komunal masyarakat desa.
Lantaran kepemilikan bersama
atas tanah desa, hasrat setiap orang untuk memanfaatkan tanah mesti mengantongi
persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong kuatnya gotong-royong dalam
mengelola dan menikmati hasil tanah bersama. Dalam perjalanannya, tradisi ini
lambat laun menjalar pada urusan-urusan lainnya, termasuk individu seperti
pendirian rumah.
Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011: 388) menyebutkan, adat hidup
semacam ini ternyata melembagakan bermusyawarah dalam kepentingan umum yang
selalu diputuskan secara mufakat. Lihat pepatah Minangkabau, “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek
mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat).
Boleh saja demokrasi
desa ditindas kekuasaan feodal karena alasan pemilikan produksi bersama dan
tradisi musyawarah. Tetapi, sampai kapan pun demokrasi desa tidak mungkin bisa
dilenyapkan, bahkan akan selalu tumbuh. Berdasarkan pandangan Hatta, ini
menanamkan keyakinan di lingkungan pergerakan kebangsaan di mana demokrasi
Indonesia asli sangat kuat bertahan.
Hak rakyat untuk
menggelar protes terhadap peraturan-peraturan raja yang dinilai kurang memenuhi
rasa keadilan. Hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja ketika
mereka merasa tidak senang lagi bermukim di sana. Dalam melayangkan protes,
rakyat bergerombol di alun-alun. Selama beberapa saat, mereka duduk diam
bertelanjang dada. Ini semacam demonstrasi damai.
Di Jawa, mekanisme
protes diwujudkan dalam tradisi pepe
(berjemur di bawah matahari) yang lahir sebagai respons atas kebijakan raja.
Dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik,
Deliar Noer (1965: 80) berpandangan bahwa pepe
adalah hak rakyat untuk menyatakan ketidaksetujuan kebijakan penguasa. Hingga
pertengahan abad ke-20, hak tersebut masih dipraktikkan di beberapa desa Jawa.
Cara orang desa
melancarkan protes dengan bentuk pepe
di alun-alun merupakan suatu gambaran nyata tentang posisi rakyat di hadapan
raja. Pepe dilakukan setelah
penyelenggara negara baik tingkat paling bawah (aparat desa), maupun jenjang
lebih tinggi. Pepe menjadi sarana
menuntut keadilan yang teraniaya oleh aparat raja.
Lantaran dilakukan
tanpa bersuara, pepe diyakini semacam
“demonstrasi bisu” dengan maksud memohon keadilan raja. Tindakan rakyat dalam
tradisi pepe dapat dipandang sebagai mekanisme demokrasi era feodal. Dalam
konteks ini, eksistensi orang desa memperoleh legitimasi negara. Mereka diberi
kebebasan dalam menyuarakan haknya selaku warga negara. Raja menyediakan ruang
bagi rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan bernegara. Raja
melibatkan mereka dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip good governance.
Dalam rangka memerangi
hasrat orang-orang yang ingin merombak dasar negara, pemerintah harus
menunjukkan peran dan fungsinya secara maksimal. Bila ditelusuri secara
mendalam, menjamurnya kelompok anti-Pancasila tidak selalu berkaitan dengan
ikhtiar oknum tertentu yang ingin memaksakan ideologinya. Namun, kecenderungan
ini juga mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan warga serta tidak puas
pelayanan publik. Ketika pikiran rakyat semakin dipenuhi dengan pesimisme,
tuntutan mengubah dasar negara menjadi bentuk pelampiasan.
Supaya Pancasila tidak
menjadi jargon semata, nilai-nilainya seyogianya diamalkan setiap warga,
terutama para pejabat publik. Semangat dan vitalitas Pancasila seharusnya
dipegang teguh dalam menegakkan fondasi NKRI. Pancasila tidak sekadar menjadi
“bahan hafalan,” tapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi,
akhir-akhir ini muncul upaya beberapa pihak yang ingin “membonsai” Pancasila,
sehingga sakralitasnya mulai memudar.
Prinsip-prinsip
Pancasila begitu mudah dikerdilkan, dengan semakin banyaknya orang yang
terjebak pada materialisme dan hedonisme. Orang-orang yang selayaknya
menunjukkan teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
justru memberikan contoh kurang terpuji. Di berbagai media, dagelan dan lawakan
politik kaum elite menjadi pemandangan sehari-hari. Hasrat dan ambisi
individual seringkali membimbing mereka dalam bersikap, berbuat, serta
mengambil keputusan.