Citra sebagai figur teladan dan pemimpin
masyarakat kerap dikorbankan lantaran banyak kepala desa tersandung korupsi
dana desa. Fenomena ini tentu berbeda dengan masa silam, di mana selain dianggap
selaku “bapak” yang mengayomi semua warganya, kepala desa juga mampu menjunjung
tinggi kehormatannya.
Saat cara berpikir masyarakat masih
konservatif, kepala desa bahkan didaulat selaku hakim perdamaian. Kharisma,
kebijakan dan kewibawaan yang dimiliki kepala desa menimbulkan kepercayaan
besar terhadap dirinya. Tak heran jika ia dipercaya mampu menyelesaikan
sejumlah persengketaan warga. Masyarakat meyakini bahwa kepala desa sanggup
meredam ketegangan sosial dan gejala perpecahan. Dalam hal ini, ia memosisikan
diri sebagai penengah dan mediator. Ia memberikan saran, masukan, bahkan
keputusan terhadap mereka yang bersengketa. Solusi yang ditawarkan seringkali
mencegah agar persoalan tidak meluber.
Tampaknya, corak kehidupan
masyarakat perdesaan turut menentukan posisi kepala desa. Semakin primitif
suatu masyarakat, maka semakin pula mereka membutuhkan figur kepala desa. Dalam
kondisi demikian, kepala desa mengemban amanat mengatasi problematika
masyarakat. Semua keputusannya dijunjung tinggi dan dihormati.
Kini, saat masyarakat kian
progresif, kebijakan kepala desa seakan tak berarti. Orang desa mulai dibekali
kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan. Kemandirian sebagai salah satu
tanda masyarakat modern mengurangi kemungkinan adanya pelibatan pihak lain
dalam pengambilan keputusan. Untuk mengurai “benang kusut”, mereka sering kali
mengesampingkan bantuan. Jadi, selama persengketaan bisa diselesaikan dengan
cara sendiri, petuah kepala desa tidak diperlukan.
Bagi sebagian orang, membawa
persengketaan ke hadapan kepala desa justru membuat persengketaan tersebut
semakin membesar. Akhir-akhir ini, kepala desa yang cenderung birokratis dan
formal kurang mampu memberikan nasehat dan solusi perdamaian atas mereka yang
berselisih.
Hajatan
Demokrasi
Dalam taraf tertentu, image positif kepala desa ternyata juga
secara perlahan diruntuhkan oleh terselenggaranya Pemilihan Kepala Desa
(Pilkades) yang jauh dari nuansa “kebaikan”. Beberapa temuan di lapangan
menunjukkan, hingar-bingar politik lokal lebih merefleksikan upaya memenuhi
kebutuhan sementara daripada mengangkat pemimpin.
Pilkades menjadi sarana pertaruhan
nasib orang-orang desa. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan,
serta sempitnya lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja
judi. Bersamaan dengan digelarnya Pilkades, mereka mengadu peruntungan lewat
jalan haram. Bentuk pelarian dari realitas diwujudkan dengan berjudi. Bermodal
rupiah, mereka bermaksud mengubah nasib dengan cara instan. Perjudian
menjanjikan bahwa angan dan impian mereka dapat segera terwujud. Maraknya kasus
perjudian dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan pragmatis. Betapa di
balik agenda pemilihan pemimpin desa tersimpan ekses negatif. Citra Pilkades
dinodai oleh ulah oknum yang bernafsu menambah pundi-pundi keuangan serta
merusak generasi muda.
Pilkades merupakan ajang persaingan
tokoh lokal yang selalu menarik perhatian. Bukan hanya bagi orang-orang yang
terlibat di dalamnya, namun juga mereka yang ingin memanfaatkannya sebagai
lahan bisnis. Pilkades bukan hanya milik panitia, tim sukses, serta simpatisan,
akan tetapi juga mereka yang menyimpan beragam kepentingan. Oleh bandar judi,
Pilkades dianggap mendatangkan omset besar, sehingga sayang jika terlewat
begitu saja. Maka, perjudian sengaja digelar di titik strategis. Di sinilah
bandar judi mengambil peran. Semaraknya Pilkades berutang pada “jerih payah”
bandar judi.
Peran Bandar
Judi
Sepak terjang bandar judi tidak
hanya menyentuh tataran sosial, budaya, dan ekonomi, melainkan juga politik.
Terjadi perluasan segmentasi aktivitas perjudian. Aktor-aktor judi begitu peka
memperhatikan realitas. Bandar judi mampu melihat bahwa di balik panggung
politik lokal tersimpan peluang berburu rupiah. Mereka berusaha mengawinkan
antara pesta demokrasi dengan pasar taruhan. Fakta ini menggambarkan sosiologi
politik pedesaan. Pilkades yang diwarnai oleh aksi bandar judi tentu memiliki
corak, pola, dan bentuk tersendiri dibanding dengan Pilkades tanpa aktivitas
perjudian. Betapa kegiatan berjudi menyumbang keunikan, kekhasan, dan
keberagaman politik lokal.
Di Desa Pakandangan Barat Bluto, Sumenep, Madura, bandar atau pemain
judi dianggap sebagai aktor yang menempatkan uang sebagai dorongan penentu
pilihan pemilih. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon kepala desa
yang terpilih dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk
memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costs-benefits di baliknya (Halili,
2009: 103).
Di sinilah letak anomali judi. Di
satu sisi, judi selalu identik dengan kebiasaan buruk yang mengundang sanksi
hukum dan reaksi sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa aktivitas
perjudian merupakan jalan pintas menuju kesuksesan. Namun, di sisi lain, judi
membawa berkah bagi orang-orang yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala
desa. Mereka merasa diuntungkan dengan kesibukan bandar dan pemain judi
meramaikan Pilkades. Maraknya aktivitas perjudian di sela-sela pelaksanaan
pesta demokrasi dimanfaatkan untuk memecah suara.
Keberpihakan masyarakat terhadap
salah satu calon bisa goyah sebab pengaruh bandar judi. Desas-desus yang mereka
sebarkan turut menentukan ke arah siapa suara berpihak. Padahal, untuk
menentukan siapa yang pantas mendapat dukungan, bandar judi tentu tidak
berkompeten. Mereka tidak dibekali dengan kapasitas, kapabilitas, serta
rasionalisasi memilih pemimpin.
Preferensi politik warga ikut
ditentukan oleh jalannya perjudian. Besarnya uang taruhan berbanding lurus
dengan kuatnya calon kepala desa. Semakin banyak dukungan kepada seorang calon
semakin besar pula taruhan yang ditujukan padanya.