Guyuran hujan deras
yang melanda Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, belum lama ini menyebabkan bencana
longsor. Akibatnya, Desa Tompobulu, Desa Baringeng, Kecamatan Libureng dan Desa
Mattirowalie serta Desa Watangcani, Kecamatan Bontocani terisolir lantaran akses
jalan terputus. Warga setempat yang hendak mengungsi ke desa tetangga nekat
menorobos derasnya arus sungai. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerusakan
infrastruktur lokal turut mempengaruhi jalannya roda kehidupan masyarakat
perdesaan.
Sebagaimana di
kantong-kantong urban, infrastruktur merupakan kebutuhan vital di wilayah
pedalaman. Segenap lapisan masyarakat memerlukannya guna menjalani kehidupan
sehari-hari. Pemanfaatan sumber-sumber ekonomi dan beragam potensi desa sangat
tergantung pada tersedianya jalan, jembatan, dan sarana-sarana lainnya. Dengan
demikian, pengelolaan, pembenahan, serta pemeliharaan infrastruktur oleh
pemerintah desa merupakan keniscayaan. Bagaimanapun, terwujudnya good governance di level akar rumput
senantiasa memiliki keterkaitan dengan kokohnya infrastruktur lokal.
Menggerogoti
Nasionalisme
Terbatasnya
infrastruktur membuat sebagian orang desa enggan bermukim dan bekerja di tanah
kelahiran. Demi menyambung hidup, menambah pendapatan, bahkan mengumpulkan
pundi-pundi kekayaan, mereka rela mengundi nasib di negeri seberang. Celakanya,
saat menanggalkan status Tenaga Kerja Indonesia (TKI), hasrat meninggalkan
kampung halaman senantiasa menguat karena desa tak bisa lagi diharapkan. Hal
inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong orang desa mengais rezeki di
negeri tetangga.
Kebobrokan
infrastruktur di wilayah perdesaan, mulai jaringan irigasi yang kurang terurus hingga
jalan yang rusak parah, menjadikan mantan TKI ingin kembali bekerja ke luar
negeri. Hasrat ini terutama muncul ketika tabungan mereka mulai menipis. Mereka
meninggalkan rumah-rumah bagus yang dibangun dari sebagian gaji, tetapi pada
waktu yang sama terkadang juga menjual sawah yang baru dibeli sebagai modal ke
luar negeri.
Desakan ekonomi akibat sempitnya
lapangan kerja di desa membuat orang-orang tanpa tingkat pendidikan dan skill memadai nekat menjadi TKI. Besarnya
gaji dan pengalaman hidup di negara lain yang dijanjikan oleh sponsor yang menyerbu
pelosok desa membujuk para perempuan berbagai usia untuk segera berangkat ke
luar negeri. (Maria Hartiningsih [ed], 2011: 40).
Kemiskinan yang
merupakan imbas terbatasnya infrastruktur lokal cukup dirasakan oleh mereka
yang tinggal di kawasan perbatasan. Fakta ini kerap dijumpai di sejumlah
wilayah Kabupaten Entikong. Berawal dari proses yang sangat panjang, realitas
sosial yang ada di desa-desa di sana menggambarkan kemiskinan akut. Parahnya kemiskinan
di kawasan perbatasan tersebut antara lain dikarenakan sarana penghubung, semisal
jalan dan alat transportasi sangat minim, sehingga membuatnya menjadi daerah
terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan.
Ironisnya, desa-desa
yang dari perspektif Indonesia terisolir, ternyata berdekatan dengan desa-desa
di Sarawak yang terbilang makmur. Kemiskinan akut yang menimpa penduduk
desa-desa perbatasan berbanding terbalik dengan kesejahteraan penduduk
desa-desa tetangga yang secara geografis termasuk negara bagian Sarawak. (Thung
Ju Lan dan M.' Azzam Manan [ed], 2011: 19).
Apabila keadaan di atas
dibiarkan berlarut-larut, bukan mustahil banyak warga setempat yang lebih
tertarik untuk menggabungkan diri ke Negara Malaysia ketimbang bertahan sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam taraf tertentu,
terganggungnya infrastruktur lokal rentan menggerogoti nasionalisme. Betapa
idenitas kebangsaan orang desa mudah tergadaikan ketika negara belum mampu
menyediakan infrastruktur secara maksimal. Berbagai alasan menjadikan
orang-orang yang tinggal di desa-desa perbatasan tersebut nekat
berbondong-bondong pindah ke desa-desa tetangga sekaligus berganti
kewarganegaraan.
Corak
Bottom-Up
Penggelontoran dana
pembangunan melalui program-program pemerintah merupakan solusi konkrit atas
terbengkalainya infrakstur di desa. Sayangnya, dalam banyak kasus, dana
tersebut tersedot kembali ke Jakarta akibat penyerapan anggaran yang kurang
maksimal. Hal ini diperparah dengan tingginya keterlibatan pemerintah pusat
dalam mengambil keputusan. Anehnya, seringkali pembangunan infrastruktur di
berbagai daerah kurang sesuai dengan kebutuhan riil di tingkat desa.
Atas dasar inilah, jika
pada masa-masa sebelumnya pembangunan infrastuktur lokal di wilayah perdesaan lebih
banyak diputuskan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan sebagian besar
kontraktor dari Jakarta, maka sudah saatnya pembangunan infrastuktur lokal
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa mengamanatkan agar pembangunan di wilayah perdesaan benar-benar
melibatkan orang desa. Dengan demikian, kompetensi pamong desa beserta warganya
mampu diberdayakan.
Inisiatif dan prakarsa
lokal selayaknya ditampung dalam ikhtiar mewujudkan pembangunan yang
partisipatif. Corak top-down dalam
pembangunan yang genap dilegitimasi oleh penguasa, terutama pada masa Orde Baru,
semestinya diubah dengan corak bottom-up.
Harapannnya, semangat demokratisasi yang terkandung dalam berbagai peraturan
perundang-undangan bisa diimplementasikan. Pemberdayaan orang desa dalam
pembangunan mengandung upaya mewujudkan otonomi desa yang genap dikukuhkan oleh
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Bojonegoro, 2018