Dalam salah satu
kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), sejumlah mahasiswa Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Tulungagung bekerjasama dengan perpustakaan keliling mengadakan
kegiatan membaca di balai Desa Sidomulyo. Upaya tersebut dilakukan demi
mendorong semangat belajar anak-anak melalui pemanfaatan balai desa. Fakta ini
menunjukkan bahwa balai desa tidak hanya difungsikan selaku kantor perangkat
desa sebagaimana persepsi elite lokal akhir-akhir ini, melainkan juga fasilitas
publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat.
Prioritas
Utama
Berdasarkan fakta
sejarah, balai desa sejak lama menunjukkan eksistensinya bagi masyarakat yang
bermukim di wilayah pedalaman. Banyak komunikasi antara warga desa dengan
pemimpinnya terjalin di balai desa. Pada tahun 1952, rapat atau musyawarah yang
melibatkan banyak pihak pernah digelar di Ciparai, Jawa Barat. Mengutip Indonesia edisi 16-09-1952, Pamong Praja
sengaja menggelar rapat dengan mengundang rakyat jelata. Pada waktu itu, mereka
yang hadir sangat banyak. Warga Ciparai cukup antusias, sehingga sebagian dari
mereka terpaksa berdiri di luar bangunan lantaran “kehabisan tempat”. Surat
kabar yang sama menyebutkan, dari pertemuan tersebut tersebar informasi bahwa
Camat Majalaya mengangkat wakil lurah dan wakil juru tulis, karena lurah dan
juru tulisnya sedang berada dalam tahanan.
Dalam taraf tertentu,
pembangunan balai desa merupakan prioritas utama dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan lokal. Guna memajukan desa, Pemerintah Desa Kedung, Surabaya, pada
tahun 1977, menyelenggarakan pembangunan fasilitas publik. Harian Berita Yudha edisi 01-02-1977
memberitakan, Abdul Fatah Sahlan selaku kepala Desa Kedung berhasil
mengagendakan pembangunan kantor dan balai desa. Berdasarkan pengakuannya,
setelah kantor dan balai desa dibangun, pihaknya berencana memperbaiki jalan,
menyeragamkan pagar halaman, membina generasi muda dengan olahraga, serta
melaksanakan kegiatan lainnya.
Pada dasarnya balai
desa menampung kegiatan-kegiatan yang netral dan jauh dari kepentingan politis.
Diselenggarakannya aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan partai politik
peserta Pemilihan Umum (Pemilu) selayaknya dihindarkan. Akan tetapi, realitas
faktual berkata lain. Acara seremonial yang cenderung memihak salah satu
organisasi politik pernah dijumpai pada tahun 1977 di Banjarnegara. Berita Yudha edisi 05-03-1977 mencatat,
pelantikan Pengurus Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) Cabang
Banjarnegara dilangsungkan di Balai Desa Merden, Kecamatan Purwonegoro.
Berdasarkan surat kabar tersebut, GUBSI yang beranggotakan 2.500 orang berikrar
menjadi bagian dari Golongan Karya (Golkar) dan berusaha memenangkannya dalam
Pemilu tahun 1977.
Aspek
Sosial
Di sejumlah wilayah
Indonesia, barangkali balai desa merupakan fasilitas publik yang paling
menonjol. Keberadaan desa salah satunya dapat ditandai dengan tersedianya balai
desa. Persepsi inilah yang dipegang teguh oleh sebagian orang yang bermukim di
Sumatera Utara. M. Junus Melalatoa (1995: 509) mencatat bahwa bagi masyarakat
Mandailing, suatu desa biasanya memiliki balai desa dan sopo godang, tempat digelarnya pertemuan atau musyawarah.
Namun demikian, catatan
historis menunjukkan bahwa balai desa ternyata ditemukan belakangan.
Berdasarkan Syamsidar (1991: 203), pada zaman purba, ruang pertemuan atau
musyawarah tidak dikenal di Minahasa. Untuk berkumpul, masyarakat setempat
memanfaatkan lapangan desa yang memuat batu desa (tumotoa) di tengah-tengahnya. Sebelum balai desa genap dimiliki
oleh setiap desa, terdapat suatu balai umum bernama bangsal yang berada di daerah perkebunan. Selain menjadi lokasi
diadakannya pertemuan antara Hukum Tua
dengan sejumlah pembantunya, bangsal ini juga difungsikan untuk beragam
kegiatan warga desa.
Selain jumlah tanah
pada masa lampau sangat melimpah, pemanfaatan lapangan sebagai lokasi berkumpul
juga menunjukkan bahwa fungsi tanah dalam kehidupan desa-desa tradisional cukup
urgen. Tidak hanya bidang ekonomi, eksistensi tanah juga berpengaruh besar
terhadap ranah sosial. Berkembangnya aspek-aspek sosial dalam kehidupan
masyarakat merupakan imbas dari pandangan warga desa terhadap tanah. Meski
belum mempunyai ruang khusus, aktivitas menghimpun anggota masyarakat masih
bisa dilaksanakan di tempat terbuka. Adapun pemakaian bangsal mengindikasikan
bahwa pertemuan tetap berjalan meski pada waktu itu sarana dan prasarana lokal
cukup terbatas. Ketiadaan balai desa membuat orang Minahasa menyiasati keadaan.
Mereka mendayagunakan apa yang ada di sekitarnya supaya kepentingan publik
dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, orang-orang di sana memiliki local genius (kearifan lokal) serta
semangat kebersamaan yang tinggi.
Penggunaan bangsal
bersifat egaliter dan demokratis lantaran menampung aktivitas-aktivitas warga
dari bermacam lapisan sosial. Sayangnya, berdirinya balai desa yang
menggantikan bangsal lebih bercorak elitis. Saat ini, kesan formal yang melekat
pada balai desa rentan melahirkan jarak antara warga dengan pamongnya. Apalagi,
munculnya persepsi bahwa perangkat desa merupakan pejabat pemerintahan telah
melegitimasi kesan tersebut. Daripada tempat berhimpunnya warga dari berbagai
elemen, balai desa lebih terkesan sebagai kantor kepala desa yang digunakan
untuk menyelesaikan tugas-tugas negara. Megahnya balai desa di berbagai daerah
bukan merepresentasikan fasilitas rakyat yang melayani urusan kewarganegaraan
sekaligus menampung aspirasi masyarakat lokal, tetapi justru menggambarkan
peranti berkumpulnya para elite lokal.