Tidak hanya menjadi
fokus perhatian pemerintah, radikalisme yang mencuat akhir-akhir ini juga menjadi
sorotan dunia internasional. Bagaimanapun, radikalisme mengancam eksistensi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahaya radikalisme dapat
meluluhlantakkan cita-cita luhur dan mulia yang genap dipahat oleh para Bapak
Bangsa (founding fathers). Bahkan, jika dibiarkan, menguatnya gejala
radikalisme dapat menyuburkan beragam teror bercorak kekerasan yang senantiasa
menyebarkan aroma kecemasan, ketakutan, serta rasa trauma bagi masyarakat
sipil.
Terorisme
Munculnya kasus-kasus
terorisme di Tanah Air tidak terlepas dari keberadaan golongan-golongan Islam
berpaham radikal. Pandangan sempit mengenai agama dipraktikkan oleh golongan
ini dengan melabeli orang lain “kafir” atau “sesat”. Bahkan, dalam tingkat yang
lebih ekstrim, mereka menghalalkan harta dan darah siapa saja yang mempunyai
kepercayaan berbeda. Akhirnya, berdalih menghabisi kaum musyrik, tercetuslah ide bom bunuh diri di lokasi-lokasi
berkumpulnya umat Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, serta Konghucu.
Jika ditelisik secara
seksama, terdapat pengaruh negatif bertunasnya radikalisme terhadap rapuhnya
fondasi kebangsaan. Rendahnya toleransi beragama turut disulut oleh paham
radikal yang disebarkan oleh beberapa kalangan. Mereka mempraktikkan cara
beragama yang homogen sekaligus mengingkari realitas masyarakat multikultural.
Hal ini diperparah dengan ideologi mereka yang menihilkan prinsip kesetaraan
dan kesederajatan semua manusia di hadapan Sang Pencipta. Imbasnya, muncul
beragam perilaku diskriminatif serta tindak kekerasan atas nama agama.
Apa yang terjadi
belakangan ini menggambarkan bahwa nilai, prinsip, serta etos kebangsaan tengah
dikikis radikalisme yang berkembang menjadi terorisme. Miskinnya pengetahuan
tentang konsep Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin (rahmat bagi alam semesta) menjadikan generasi muda tergoda untuk
bergabung dalam kelompok radikal. Di samping melahirkan disharmoni sosial,
fenomena ini juga rentan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Padahal, radikalisme dan terorisme tak mungkin mendapat tempat ketika
nilai kebinekaan dipegang teguh oleh semua pihak.
Prototipe
Terorisme sebenarnya
merupakan isu bersama yang layak memperoleh perhatian utama. Oleh karena itu,
upaya deradikalisasi semestinya bukan sekedar dilakukan dengan mendukung
Undang-Undang Antiterorisme, melainkan juga dengan mewujudkan keberagamaan
inklusif. Betapa eksklusivitas dan fanatisme yang berlebihan rentan melahirkan
kecurigaan terhadap pemeluk agama lain.
Dalam konteks inilah,
harmonisme desa sebagai semacam ‘prototipe’ kerukunan antarumat beragama
menemukan relevansinya. Betapa kearifan dan kebajikan yang genap diwariskan
oleh para pendahulu atau nenek moyang mampu mencegah mewabahnya radikalisme.
Apalagi, sejak dahulu kala, inspirasi mengenai tingginya penghormatan terhadap
sesama ditunjukkan oleh orang desa.
Di Jawa, terhidang
banyak contoh mengenai harapan akan keharmonisan di level desa. Terjalinnya
hubungan yang harmonis di antara pemeluk-pemeluk keyakinan yang berbeda
dijumpai pada desa Sempu, Bantul, di mana masyarakatnya masih memegang teguh
mitos Sabda Palon. Di desa yang terletak di selatan Yogyakarta inilah, publik
dapat secara leluasa menyaksikan suatu kompleks pemakaman Cina yang terawat
cukup baik, sebuah vihara Buddhis, sebuah masjid, sebuah gereja Katolik, serta
sebatang pohon yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Di tengah
pluralitas iman tersebut, semangat toleransi serta keharmonisan antarwarga
tetap terpelihara. (M.C.
Ricklefs, 2013: 719).
Masyarakat Kelurahan
Jamika, Bandung, Jawa Barat, juga senantiasa menjaga kerukunan lintas
kepercayaan. Walaupun terdiri atas beraneka etnik dan agama, tetapi penduduknya
sanggup hidup berdampingan. Di wilayah yang mengantongi predikat Kampung
Toleran itu terdapat enam gereja, empat vihara, serta dua masjid. Lantaran
enggan mempermasalahkan warna kulit dan agama, warga acap menggelar kegiatan
yang melibatkan semua elemen masyarakat. Salah satunya kegiatan ronda yang
wajib diikuti oleh setiap orang. Suasana guyub dan damai cukup menonjol saat
hari besar salah satu agama dirayakan. Selain memberi kebebasan bagi siapa saja
yang ingin memanfaatkan rumah ibadah, warga yang berbeda agama juga terlibat dalam
membantu kelancarannya.
Dalam tataran teoritis,
pemerintah harus gencar menyelipkan pemahaman tentang multikulturalisme. Dengan
mengadopsi konsep harmonisme desa, setiap warga negara dihimbau untuk
senantiasa memelihara kebersamaan. Semua orang dituntut memiliki rasa
kepedulian terhadap sesama. Bagaimanapun, perbedaan kepercayaan tidak lantas menghalangi
setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan apa yang
diyakininya. Mengingat bahwa dalam suatu masyarakat pluralis, terbentuknya
kehidupan humanis yang senantiasa dilandasi dengan kentalnya ikatan
persaudaraan merupakan keniscayaan.
Dalam tataran praktis,
pemerintah dapat mendirikan Kampung Damai, terutama di daerah-daerah yang rawan
dengan aksi teroris. Semua elemen masyarakat diajak untuk selalu menghadang dan
menangkal kekerasan isu agama. Kapasitas orang-orang yang bermukim di Kampung
Damai juga dipersiapkan menjadi aktor perdamaian. Sehingga, mereka mampu menggerakkan
multistakeholder supaya menyadari ancaman terorisme.