Aku adalah angin yang
setiap hari menghuni loka penampungan sampah di pinggiran kota. Aku adalah
angin yang puluhan tahun menghirup bau tak sedap dari daun busuk, kaleng,
plastik dan bungkus makanan. Akulah angin yang oleh sejumlah makhluk lainnya
seringkali dianggap tiada berguna. Tak apa. Aku menerima saja takdirku sebagai
angin. Ya, angin, yang bisanya mematuhi alur kehidupan dari Tuhan.
Sayangnya, aku
tergolong angin yang kurang percaya kepada manusia; makhluk yang didaulat untuk
senantiasa memelihara semesta dan sedianya menebarkan benih-benih kebaikan, dan
nyatanya malah mengumbar keonaran. Aku bingung kenapa hidup makhluk paling
dimuliakan itu begitu nista. Senista iblis, pecandu kesesatan dan segala jenis
kebejatan. Ah, aku tak mengerti apakah kini manusia menjadi setan. Setan? Maaf,
maaf. Aku tak tahu. Sungguh. Bilamana dibekali pikiran, mungkin aku sanggup
mendiamkan pertanyaan yang kian hari kian menjengkelkan ini.
Kalian percaya?
Mustahil aku ngawur dan asal nyeplos.
Semua perkataanku tadi berlogika serta ada dasarnya. Meskipun hanya angin, aku
ini angin yang menjaga martabat. Malu dong
kalau aku sampai disebut makhluk durjana semisal manusia.
Tepatnya, beberapa
bulan lalu, saat jalan-jalan, aku mengetam pengalaman yang barangkali jauh dari
bayangan kalian. Pagi itu, ya, pagi dengan sinar matahari berloncatan kesana
kemari itu, aku bosan berbaring terus di sebuah tempat yang selayaknya tidak
dihuni. Aku ingin melihat-lihat keadaan di luar sana. Menyesap suasana agak
berbeda dari biasanya. Dan, ngeluyurlah aku ke terminal, gedung DPR dan sungai.
Ya, sungai yang terakhir kusambangi tiga lebaran silam. Sungai yang pernah
kukagumi keindahannya itu.
Di terminal, aku
melihat beberapa pengasong menawarkan manisan mangga yang begitu memikat,
menjerat calon penumpang untuk menerogoh dompet dan kemudian menebusnya.
Apabila seseorang bepergian sendirian, maka ia akan membeli minimal satu
bungkus. Agar saat berada di kendaraan, ia bisa menikmatinya guna mengusir rasa
pahit di kerongkongan. Apabila ada ibu bersama anak kecil, maka ia akan
membayar dua bungkus. Tentu si anak memilih merengek jika tidak dijejali
manisan berpenampilan aduhai itu. Adapun sang ibu bakal meneteskan liur jika
saja tidak ikut mencicipi. Jikalau seseorang hendak berkunjung ke rumah mertua,
maka pastilah ia memborong lusinan makanan ringan penuh pemanis itu. Mertua
mana yang keberatan dibawakan oleh-oleh dari menantunya. Oleh-oleh yang
meskipun murah, akan tetapi tetap berasa di lidah.
Alangkah sialnya! Para
penggandrung manisan itu sebenarnya adalah korban. Korban? Benar. Transaksi
jual-beli yang seolah berdasar suka sama suka itu mengandung unsur tipu daya.
Pembeli tak ubahnya selaku mangsa. Adapun penjual mengangkat diri selaku penipu
ulung yang berhasrat meraup untung. Jika memergoki muasal pembuatannya, dijamin
kalian akan muntah-muntah, beol
seharian, serta seumur hidup tak bakal makan manisan. Asal kalian pahami, warna
kuning kemerah-merahan pada manisan yang bertebaran di terminal itu ternyata
diperah dari pewarna tekstil. Sebab itulah tampilannya selalu segar dan
menentramkan.
Kalian mungkin tak
sampai menduga, kalau oleh pembuatnya, manisan tersebut dijauhkan dari
jangkauan anggota keluarga—disebabkan ribuan bahaya terselip di dalamnya. Aih,
aih, aih. Menginsafi hal itu, aku pun mengurut dada. Benar-benar keterlaluan!
Manisan yang dilarang dikonsumsi keluarga sendiri karena menyimpan racun malah
disebarkan kepada orang lain, demi memungut uang.
Di gedung DPR, melalui
jendela, celah-celah pintu, juga lubang-lubang kecil plafonnya, aku menemukan
orang-orang dewasa sedang bermain. Mereka layaknya anak-anak play group yang
menguras waktu di plorotan dan ayunan. Begitu riangnya hingga terdengar riuh
tawa membahana. Tiada beban menghinggapi dada mereka. Tiada kesedihan pada raut
wajah mereka. Bagaimana tidak. Hidup mereka ditanggung oleh gaji selangit, yang
dikeruk dari keringat manusia lainnya.
Juga bagai anak balita,
mereka gemar berkelahi antara satu dengan lainnya. Entah mempertengkarkan apa.
Sekali lagi, entahlah. Yang jelas, setelah terlihat saling bermusuhan,
bertengkar lantas menangis menggerung-gerung, mereka akur seperti semula.
Seperti tidak terjadi apa-apa. Dan, kembali mereka bermain bersama, lalu karena
disulut masalah sepele mereka saling berkelahi. Lagi, lagi. Dan, lagi.
Begitulah seterusnya, seakan menunjukkan putaran kehidupan tiada putusnya.
Fungsi gedung megah
yang fondasinya mengorbankan banyak peluh dan darah itu mirip sekali dengan
bangunan penentu takdir manusia. Dalam gedung itu, nasib petani, buruh, tukang
parkir, guru, penyair, artis, dan ratusan jenis profesi lainnya digariskan.
Anehnya, orang-orang kekanak-kanakan itulah yang memegang hak dalam membagikan
kesejahteraan. Begitu pula dalam urusan menyebarluaskan penderitaan. Maka,
berbahagialah bagi orang-orang yang merapat-mendekat dan berhasil mencuri hati
mereka. Pun sebaliknya, meranalah orang-orang yang kurang akrab dengan mereka
atau bahkan sama sekali tak dikenal.
Barang tentu para
pemasok uanglah yang menjadi sahabat terbaik mereka (para fakir, kaum melarat,
gembel, juga pemilik-kekayaan-terbatas sengaja dijauhi). Undang-undang dengan
mudah dikondisikan sesuai kepentingan pemodal. Kata-kata dalam peraturan
merupakan penjelmaan dari beragam pesanan. Lantas menyebarlah berita memilukan
itu. Berita yang mewartakan bahwa mereka dengan terang-terangan nekat membandrol
tiap pasal dengan tarif ratusan juta hingga milyaran. Lewat televisi, radio,
koran dan internet, mereka menyebar pengumuman. Bahkan pernah suatu saat kami—para
angin—mendapat tawaran untuk turut serta mensukseskan program mereka. Sesuai
kemampuan, kami menadah perintah untuk meniupkan pengumuman gila tersebut ke
segala penjuru. Mulai dari daerah perkotaan yang syarat kebisingan hingga
wilayah paling dalam dari perkampungan. Sebagian besar di antara kami menolak
mentah-mentah. Namun sebagian kecil menerima dengan berharap imbalan
sepantasnya. Dan, akibatnya, angin yang bertindak lalai tersebut kami kucilkan
dengan terlebih dahulu kami siksa habis-habisan.
Di sungai, aku
mendapati genangan darah di sana-sini. Sungai yang dulu bermata jernih dan
bersih itu berubah sayu, keruh dan berwarna merah. Sungai yang hampir saban
hari dipakai mencuci tangan-tangan pembunuh sesudah membinasakan lawan bisnis,
rival karir, atau pesaing cinta. Sungai yang dimanfaatkan untuk meraibkan
jejak-jejak penjahat seusai melunasi tugasnya.
Sungguh, sepasang
mataku gemar memuncratkan rintik-rintik tipis cairan asin ketika memandangi
sungai malang itu. Di sanalah, di hamparan tubuhnya, aku menyaksikan onggokan
mayat manusia. Benar. Mayat yang sebagian besar diantaranya sama sekali tiada
kuraba identitasnya. Mayat yang jika boleh memanggil namanya, akan kusebut tiga
saja. Merekalah yang selama ini kujajaki secuil kepribadiannya.
Mayat pertama, mayat Bu
Lasmi. Perempuan bunting delapan bulan itu mati mengenaskan, akibat dibantai
Kriwul di malam gerhana. Kepala pecah, mata kiri keluar dan ususnya terburai di
lantai. Terdapat indikasi kuat bahwa pemuda pengangguran itu suruhan Bu Mirah,
perempuan paruh baya berprofesi sama dengan si korban. Toko plastik Bu Lasmi
yang akhir-akhir ini padat pembeli rupanya menjadi alasan utama mengapa
perempuan itu harus menghirup nafas terakhir, sebelum melahirkan jabang
bayinya. Begitulah. Nyaris aku tak percaya. Ternyata di kampung mungil yang
katanya sangat damai sekalipun tersembul dengki membabibuta. Dengki yang
mengantarkan perempuan harus meninggalkan dunia tanpa memafhumi kesalahannya.
Kedua, mayat Pak
Bambang—terapung tiga hari tiga malam. Ialah lelaki berumur tiga puluhan tahun
yang baru empat bulan menjabat direktur perusahaan besar. Lelaki yang selalu
mengundang iri para bawahan karena lajunya yang begitu cepat meraih posisi
puncak. Lelaki yang mencintai sekaligus dicintai seluruh keluarga namun dibenci
beberapa kolega. Dan, barangkali di alam sana, lelaki itu menyesal kenapa ia
menjadi direktur. Sebiji jabatan yang enggan memancing berkah, namun justru
menjaring musibah.
Juga mayat Karyamin,
penarik becak miskin yang berani melamar Aryani, putri saudagar terkenal di
ujung kota. Ialah pemantik geram Yanto, pemuda lulusan kampus ternama, yang
setengah mati jatuh hati pada bunga kampung itu. Terang saja Yanto berbulat
niat untuk melibas nyawa si tampan berkumis runcing itu, karena tahu Aryani
menyambut pinangannya. Dan, jadilah ladang belakang rumah Gepeng sebagai ajang
kebiadabannya: melesapkan parang di genggamannya tepat di lambung dan leher
Karyamin.
Demikianlah. Seperti
kalian simak, sehabis mengunjungi terminal, gedung DPR dan sungai, rasa
percayaku kepada manusia mulai berkurang. Dan, dapat dipastikan, dalam sebentar
lagi rasa itu sepenuhnya hilang. Sehingga pada saatnya nanti, aku lebih suka
mengakrabi waktu di loka penampungan sampah di pinggiran kota—walaupun bosan
menjadi ancaman tersendiri: menghirup bau tak sedap dari daun busuk, kaleng,
plastik dan bungkus makanan. Juga menerima saja takdirku sebagai angin. Ya,
angin, yang bisanya mematuhi alur kehidupan dari Tuhan.