Sepenggal sajak Taufik
Ikram Jamil (TIJ) bertajuk Pujangga Hasan
Junus yang terbit pada 1 April 2012 dipetik menjadi judul buku ini, Sekeping Ubi Goreng. Selain karena
memang patut diapresiasi, sajak tersebut dipersembahkan kepada Hasan Junus sebagai
sastrawan Riau yang disepuhkan. Bila merunut asbabun nuzul-nya, sajak berisi enam bait tersebut direkacipta selepas
keberangkatan Hasan Junus menghadap Sang Maha Perancang tepat sehari sebelum
karya TIJ ini lahir, yaitu 30 Maret 2012.
Guna menuang secuil
memoar Hasan Junus, TIJ menulis: engkau
telah membaca/ saat huruf-huruf baru menyusun makna.
Dari potongan sajak di
atas, terlihat keseriusan TIJ dalam menggambarkan sosok Hasan Junus, baik dalam
mengekalkan imajinasi dan intuisi maupun ketika menghayati ritme kehidupan. Proses
kreatif Hasan Junus dalam berkarya ataupun saat berkontemplasi, menghayati alur
hidup, divisualkan dengan kata ‘membaca’. Barang tentu kata kerja ‘membaca’
tidak terbatas pada telaah buku, catatan, coretan, surat, serat, dan lain sebagainya,
namun lebih luas dan menjangkau hingga tataran mikrokosmos dan makrokosmos: seluruh
rangkaian peristiwa di jagat raya. Bukan asal-asalan jika TIJ memilih kata satu
ini. Sebab dengan membaca, kita bisa mengerti apa makna kehidupan sesungguhnya.
Dengan membaca, kita mampu memahami esensi di balik segala fakta-realita.
Meskipun demikian, kegiatan ‘membaca’ oleh Hasan
Junus sebenarnya barulah berada pada tahap permulaan. Hal ini ditunjukkan
dengan frase: saat huruf-huruf baru
menyusun makna. Mengingat, bagaimana pun juga manusia, siapa pun dia,
berapa pun usianya, akan terus mengalami proses pembelajaran. Jadi, seorang
pembelajar dituntut untuk senantiasa mengikuti garis-garis dalam memungut
remah-remah pengetahuan, hingga ia bersua dengan batas besar yang menjadi
penghalang (baca: ajal).
Bagi TIJ, kepergian Hasan
Junus menyebabkan keintiman dan keakraban dengannya selama ini harus
dikorbankan. Inilah yang menyebabkan TIJ ‘kurang terima’ dengan kematian yang
datangnya begitu tiba-tiba. Dengan penuh rasa menyesal, maka ia mempertanyakan
kepada ‘yang diratapi’ ihwal kepergian yang terkesan amat tergesa-gesa: maka bagaimana engkau bisa pergi/ sementara
semuanya masih di sini, di pucuk sajaknya.
84 karya dari 23
penyair yang terikat dalam buku terbitan Yayasan Sagang, Riau, akhir tahun 2012
ini merupakan sajak-sajak yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari
Minggu sepanjang tahun 2012. Sejumlah penyair terbilang produktif mengirimkan sajaknya,
semisal Taufik Ikram Jamil, Saukani al Karim, Jefri al Malay, M. Badri, Musa Ismail,
Riki Utomi, Marhalim Zaini, Isbedi Setiawan, dan Alvi Puspita, yang merupakan
deretan nama dalam kancah sastra Indonesia. Akhir-akhir ini, muncul pula
beberapa nama baru, seperti Monda Gianes, Ekky Gurin Andika dan Deni Afriadi.
(halaman vi)
Tema-tema yang menjadi
pilihan para penyair kini jauh lebih beragam. Namun demikian, persoalan Melayu
dengan ‘rasa’ tempatan yang sangat lokal senantiasa menarik untuk ditulis, baik
dengan rasa lama maupun kontemporer (halaman viii)
Ihwal Melayu yang di
maksud misalnya bisa ditengok dalam sajak Terkenang
Melayu. Penyairnya, Sukardi, menyentak pembaca dengan racikan kata memesona:
senandung Melayu/ kecintaanku memukat/
seperti hitam kopi yang mengendap/ tentang Melayu/ resam adat kutampi dari
zaman ke zaman/ hingga kini masih terjunjung.
Dengan sajak ini,
kecintaan membabibuta pada akar sejarah Melayu dilukiskan begitu merdu dan
mendayu-dayu. Kopi hitam sebagai visualisasi atas hati yang sedang dimabuk
cinta menunjukkan bahwa meskipun bermodal tamsil sederhana, akan tetapi penyair
tetap sanggup menghidangkan ‘rasa’ sajak yang istimewa.
Lain halnya dengan
Marhalim Zaini yang menyajikan keindahan dan keberlimpahan makna dalam sajak Birahi Gunung: dari debu,/ kau menulis di daun-daun/ tentang duka tanah/ di malam
ketigabelas/ yang gemetar// ada gigil,/ bukan oleh gugur hujan, dan/ dingin
musim, tapi anak-anak api/ yang mendidih/ dalam tubuhmu// aku birahi, bisikmu.
Pemikiran yang mendalam
tentang hakikat kehidupan didapatkan penyair dari ‘sosok’ gunung. Menghasilkan sajak
yang memikat dengan memberdayakan kata-kata ‘lama’ untuk diolah menjadi
metafora baru tentu bukan pekerjaan mudah. Tetapi, penyair sanggup melakukannya
dengan lembut dan bernas.
Adapun refleksi atas
penciptaan alam dan isinya menjadi daya kekuatan sajak Segumpal Tanah oleh Musa Ismail: segumpal tanah di tangan-Mu/ menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara/
menjadi hati dan buih-buih lautan/ juga daun-daun kering berguguran/ di
hamparan bumi luas membentang.
Dari cuilan sajak di
atas belum nampak kegenitan penyair dalam ‘mencampuri’ urusan Tuhan.
Kecerewetan penyair baru ditemu-rasakan dalam cuilan lainnya: rerumputan hijau, sejuk di telapak hati/
alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan/ dari tanah-tanah yang
merekah di musim kemarau/ langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah
segumpal tanah dari tangan-Mu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali
dalam kekosongan/ diam.
Yang patut dinikmati
tentu bukan hanya beberapa sajak yang telah disebut. Masih banyak sajak lain, semisal:
Semburat Titis Hijau (Sujud Arismana),
Adik Tak Berbaju (Muhammad Hanif MA),
Bulan Berkalam (Kuni Masrohanti), Tentang Kepulangan (Hajral Sofi), Secangkir Kopi Sore Hari (Dwi S.
Wibowo), Dialog sepasang Hawa
(Nuraini), dan Kita Masih Saja Berbicara Lewat Peka Hujan… (Refila
Yusra).
Buku ini kian menarik, sebab
di samping dipadati dengan sajak-sajak yang lembut, juga diselingi sejumlah
lukisan. Di antaranya yaitu Meraih
Prestasi (Dantje S. Moes), Wajah,
Tangan dan Kaki (Furqon Elwe), Pertemuan (Masteven Romus), Jelatik (Adi Bagong), serta Bunga Lilin (M. Rafi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar