Menjauhi
Bacaan Sesat
Menjamurnya penerbit
akhir-akhir ini bak tumbuhnya cendawan di musim hujan. Dalam jagat literasi, di
satu sisi, fenomena ini patut mendapat sambutan hangat sekaligus apresiasi yang
setinggi-tingginya dari semua pihak. Namun, di sisi lain, juga perlu dicurigai,
karena bisa jadi sebuah penerbit berdiri dilatarbelakangi adanya nafsu berburu
keuntungan semata, sehingga perhatian terhadap muatan atau isi buku merupakan
hal kesekian. Yang menjadi prioritas adalah bagaimana caranya agar buku bisa
laku di pasaran, bak kacang rebus yang baru mendarat di pinggan. Hasrat pembaca
untuk memperkaya diri dengan wacana serta mengunyah informasi berharga terpaksa
dikesampingkan.
Ketika pembaca
terlanjur mengunyah bacaan sesat, yang sering terjadi yaitu bukannya memperoleh
pencerahan, melainkan justru terjerumus dalam kubang kegelapan. Sejumput rupiah
yang keluar guna menebus harga bacaan kurang seimbang dengan hasil yang
diketam. Imbasnya, kepuasan batiniah pembaca dalam memungut kepingan
pengetahuan menjadi gersang, karena dicekoki dengan bacaan yang membodohkan.
Oleh karena itu, sebelum
menyantap bacaan, dianjurkan bagi pembaca untuk mengenal sejauh mungkin profil
penerbitnya. Tujuannya yaitu untuk menjauhkaan diri dari bacaan sesat. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara mengkroscek kebenaran alamat penerbit yang biasanya
tertera di bagian cover belakang atau di bagian dalam buku (cover dalam). Penerbit
nakal punya seribu satu siasat dalam membuat alamat-alamat palsu lengkap dengan
nomor jalan dan emailnya, sehingga pembaca bisa terkecoh karena mengira
penerbit tadi berkredibilitas tinggi.
Langkah lain yang perlu
ditempuh yaitu mengetahui beberapa ciri buku-buku terbitan penerbit nakal,
yaitu: terkesan ‘asal terbit’ karena kemasan kurang meyakinkan, penulisnya kurang
dikenal di telinga masyarakat pembaca, daftar rujukan kurang terpercaya
(kebanyakan diunduh dari internet), serta kertas yang dipakai kurang bermutu.
Menghindari
Penerbit Nakal
Selain menghadirkan
bacaan sesat, ada juga penerbit yang gemar mengelabui penulis. Efek negatif
yang ditimbulkan yaitu tingkat kepercayaan kepada penerbit tersebut menurun.
Parahnya lagi, jika terus-menerus dibohongi, penulis memilih pensiun dini,
gantung pena, lantaran merasa jera dan enggan lagi menitipkan karyanya ke
penerbit.
Bagi penulis, munculnya
penerbit jenis ini merupakan kabar buruk. Mengutip Johan Wahyudi (2011), hak
penulis untuk mendapatkan dua versi laporan (pencetakan dan penjualan) secara
periodik kerap kali dikorbankan demi segelintir kepentingan. Penerbit yang
tergolong nakal lebih memilih untuk tidak mengirim laporan secara akuntabel
kepada penulis dengan cara merancang data non-valid. Akibatnya, akuntabilitas
laporan pencetakan dan penjualan buku kurang bisa dipertanggungjawabkan. Hal
ini berpengaruh terhadap jumlah royalti yang harus dikirim ke penulis. Boleh
dikatakan, “semakin melenceng data yang
dibuat, semakin kecil nilai royalti yang didapat”.
Pengingkaran janji juga
menjadi momok menakutkan bagi penulis. Masih menurut Johan, memang sebelum buku
diluncurkan, penerbit selalu menyodorkan SPK (Surat Penjanjian Kerjasama), yang
memuat kewajiban-kewajiban penerbit kepada penulis. Namun, penerbit dapat dengan
leluasa mengingkarinya. Faktor keculasan penerbit bisa bermacam-macam, antara
lain jauhnya tempat tinggal penulis dengan penerbit. Hal ini dimanfaatkan
penerbit guna melancarkan intrik, yang pada akhirnya menjadikan posisi penulis kian
terjepit. Karena faktor jarak tadi, sulit
bagi penulis untuk melakukan complain
terhadap perlakuan semena-mena penerbit. Adapun ketika penulis menggunakan alat
komunikasi semisal HP atau telepon, penerbit bisa saja menyiasati, karena tidak
berhadapan dengan penulis secara langsung.
Seorang teman penulis sampai
pernah berkali-kali merasa ditipu, karena dideline
pembayaran royalti selalu dilanggar. Dengan berbagai alasan, penerbit seenaknya
membohongi penulis. Ada saja dalih yang digunakan dalam rangka menutupi kebusukannya,
seperti terlambatnya laporan dari toko-toko buku yang menampung karyanya, juga pergantian
karyawan—khususnya bagian keuangan.
Melihat fenomena di atas,
sangat dianjurkan kepada para penulis untuk menanyakan kepada penulis yang
lebih senior perihal mana saja penerbit yang benar-benar dapat dipercaya dan
mana saja yang kerap berdusta.
Mengambil
Langkah Alternatif
Dalam memilih bacaan,
pembaca dituntut untuk selalu kritis dan selektif. Tentu bukan perkara ringan
untuk melakukannya. Kepekaan dan naluri yang kuat memudahkan untuk menghindari
bacaan sesat. Dengan demikian, bagi yang terbiasa menikmati buku dengan
kategori tertentu, niscaya ia mampu mengatasinya. Sebagai misal, jika seseorang
gandrung membaca buku pemikiran kontemporer, maka dengan sendirinya ia bisa
membedakan mana buku yang berbobot, mana pula yang tidak.
Lantas bagaimana jika seseorang
ingin mengeremus bacaan yang belum akrab baginya? Bertanya kepada si ahli
adalah di antara secuplik kiat. Ahli yang dimaksud bisa berarti teman,
keluarga, atau orang lain yang lebih mengerti tentang buku yang akan dibaca.
Sungguh pun demikian, sebenarnya
terdapat langkah alternatif yang lain, yaitu dengan memilih penerbit yang sudah
melambung namanya. Misalnya, pembaca memilih buku-buku terbitan Gramedia Pustaka
Utama (GPU) yang selama beberapa dasawarsa mampu menunjukkan taringnya dengan
menerbitkan berbagai ragam buku berkualitas, mulai dari agama, psikologi,
hukum, kesehatan, arsitektur, bahasa, biografi dan otobiografi, ekonomi dan bisnis,
fotografi, keluarga, komputer, musik, pendidikan, sejarah, hingga teknologi.
Untuk pemikiran soshumbud
(sosial, humaniora, budaya) pembaca direkomendasikan untuk memilih buku-buku Pustaka
Pelajar yang, terbukti menjadi partner yang baik. Sedangkan untuk filsafat,
penerbit Kanisius dan Jalasutra merupakan dua di antara penerbit yang konsen
memberikan pengabdian bagi para pembaca.
Begitu pula dengan
penulis yang hendak menerbitkan karya. Demi mencari ‘keselamatan’, meminang
penerbit besar merupakan jalan yang tidak bisa ditawar. Semisal untuk karya sastra,
penerbit Bentang adalah ahlinya. Selain dianggap memperhatikan ‘nasib’ penulis
karena memberikan hak-haknya, penerbit ini juga sanggup mempertahankan kualitas.
Penerbit Bentang dikenal mampu mengemas buku dengan tampilan menarik. Bukan
hanya didukung oleh kecakapan para redaktur dan editor profesional, keahlian layouter juga dimanfaatkan. Sehingga penentuan
warna cover, ukuran buku, maupun font
tulisan benar-benar diperhatikan. Bagaimana pun juga, dalam konsep marketing,
tampilan fisik turut menentukan laris-tidaknya buku. Tak ayal, sejumlah sastrawan
besar genap mempercayakan naskahnya untuk digarap oleh penerbit ini. Misalnya Seno
Gumira Ajidarma (“Trilogi Insiden”, 2010), Agus Noor (“Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”, 2010), Putu Wijaya (“Klop”,
2010), Dee/Dewi Lestari (“Madre”, 2011), juga Andrea Hirata (“Laskar Pelangi Song Book”, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar