Tidak seperti biasanya, subuh itu, di meja makan genap tercawis sarapan. Secangkir kopi siap diseruput. Sepasang sepatu fantovel usang mengkilap, tanda seseorang sudah menyemirnya. Norman berdecak heran. Ia tahu bahwa yang melakukan itu semua adalah Marni. Akan tetapi, bukankah sejak perkawinan, segala pekerjaan rumah tangga dilahap sendiri oleh Norman, sebab Marni—yang dikenal selama ini—termasuk istri durhaka? Apalagi, ya apalagi, gajinya tak sanggup menyewa tenaga pembantu paling murah sekalipun.
Norman mencium bau wangi di seluruh ruangan. Lantai dan kaca-kaca jendela kinclong. Bunga-bunga di halaman basah kuyup oleh siraman tangan lembut. Jikalau memang benar Marni yang melakukan, pastilah perempuan yang pernah keguguran itu menunaikannya sebelum fajar bertandang. Atau bahkan, tengah malam. Tengah malam? Benar. Mustahil, jika pekerjaan seabrek itu rampung dalam satu dua jam.
Antara terkagum-kagum bercampur bingung, Norman mondar-mandir di ruang tengah, sambil berjamak kali meruah nama istrinya. Akan tetapi, tak sekeping jawaban pun menghiraukannya. Ia memanggil lagi. Memanggil, dan memanggil. Dan, nihil.
Sungguh, Norman tak menyangka bila sang istri akan meninggalkannya begitu saja. Meninggalkan tanpa terlebih dulu menghibahkan firasat apa-apa. Meninggalkan dengan melahirkan beribu pertanyaan di kepala. Padahal, Norman mengaku berbahagia. Meskipun menurut tetangga, Marni adalah sosok istri yang tak tahu diri, akan tetapi bagi Norman, perempuan yang dinikahi baru setahun itu pendengar yang setia. Dan tentu saja mencari pengganti sepertinya sangatlah sulit. Atau bisa jadi mustahil. Bukankah di dunia ini jarang sekali perempuan yang dengan tekun menyimak kata-kata lelaki jika sedang berbicara?
Norman lebih senang bila Marni mau mendengar celotehnya saja daripada jika istrinya itu mengunyah segala jenis pekerjaan rumah tangga, namun tiada waktu untuk sekadar diam, pura-pura menghiraukan buah cakapnya. Selaku karyawan toko buku kecil, kerap ia mendengus kesal sebab perlakuan kasar dari sang senior atau pembeli yang tingkah lakunya kelewatan. Apabila mendapati hal demikian, ia akan mengungkapkannya kepada Marni, sesampai di rumah. Dan, dua lembar telinga Marni bersigap menadahnya, disertai anggukan kecil atau tampang muram. Serampung melempar unek-uneknya, Norman bisa tersenyum puas. Dengan menularkan kedongkolannya itu, Norman merasa beban yang berbaring di dadanya musnah. Buat Norman, yang mampu menjadi pendengar yang baik hanyalah Marni seorang. Ya, hanya Marni!
***
“Barangkali Mas Norman akan terkejut setelah mengetahui bahwa selama ini Marni memperalat Mas Norman. Marni cuma menumpang hidup dan makan dari keringat Mas Norman. Walaupun demikian, Marni heran dengan sikap Mas Norman yang begitu perhatian dan selalu memberikan segenap kasih sayang. Padahal Marni tidak pernah menunaikan tugas sebagai istri, kecuali saat nafsu Marni memuncak.
Sebenarnya, dalam diri Marni tiada perasaan cinta sedikitpun kepada Mas Norman. Marni cuma menuruti kata-kata ibu. Ibu bilang kalau sebelum meninggal, ayah berwasiat agar Marni dijodohkan sama Mas Norman. Jika tidak, maka anak-cucunya akan penyakitan tujuh turunan. Marni kurang percaya dengan takhayul itu, Mas. Tapi mau bagaimana lagi. Bila enggan mematuhi wasiat tersebut, Marni takut penyakit asma ibu bakal kambuh.
Pernikahan ini amat berat, Mas. Setiap hari Marni berusaha sekuat tenaga untuk pelan-pelan mencintai Mas Norman, tapi ternyata tetap tidak bisa. Masih ada bayangan seorang lelaki yang sampai sekarang Marni simpan dalam hati. Dan untuk melupakannya, rasanya tidak mungkin.
Kini, setelah ibu meninggal, tiada lagi yang Marni khawatirkan. Terus terang, Marni bertahan karena tidak ingin melihat ibu susah. Sudah banyak kesedihan yang telah dialaminya. Dan Marni berusaha supaya kesedihan itu tidak bertambah karena ulah anak satu-satunya ini.
Terserah Mas Norman mau bilang apa. Memang Marni kurang layak jadi istri lelaki yang baiknya setengah mati kayak Mas Norman. Kalau terlalu sulit memaafkan dosa Marni yang terlanjur segunung, Marni cuma mohon agar Mas Norman merelakan kepergian Marni. Itu saja. Marni akan menyusul seseorang yang Marni cintai. Di sebuah tempat. Tempat yang jauh di sana.”
Nafas Norman kembang kempis. Bola netranya berkaca-kaca. Jemarinya gemetaran. Jantungnya bergetar hebat, seakan mau meledak. Kata-kata dalam surat lusuh yang ia temukan di meja kamarnya menghunjamkan tombak-tombak lancip ke relung dada.
Tunai mengeremus bebulir abjad dari istrinya, Norman menelepon salah seorang atasannya. Memberitahukan bahwa saudaranya tertimpa kecelakaan dan sedang kritis, sehingga ia terpaksa absen kerja. Untuk ini kali, ia berbohong. Maklumlah. Kalau bukan sebab alasan darurat, loka yang menyediakan buku-buku sekolah itu urung mendermakan dispensasi kepada para karyawan untuk meliburkan diri.
***
“Norman, apa kau bercerai dengan istrimu?”
Sanusi, lelaki setengah baya, buruh bangunan di Sumatra itu sekonyong-konyong bersoal kepada Norman.
Norman bungkam. Atau lebih tepatnya sekadar menggeleng.
Sanusi malas menyerah. Entah apa untungnya ia mendedah hal yang bukan urusannya itu, hingga nekat bertanya lebih jauh. “Terus, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu?”
Sekali lagi, Norman mematung. Bibirnya kian mengatup. Andai pun ia bocorkan kabar hubungannya dengan Marni, lelaki di depannya itu dikira tidak akan sanggup membantu.
“Dua minggu yang lalu aku lihat Marni.”
“Apa?”
Norman terpancing. Pundaknya terangkat. Keningnya bergelombang. Dengan lihainya, Sanusi berhasil menerap lawan bicaranya bertekuk lutut.
“Aku lihat istrimu bersama lelaki jangkung.”
“Di mana kau melihatnya?”
“Di dalam bus, saat mau mudik. Istrimu tak sadar kalau kuawasi dari belakang.”
Sanusi berhenti berkotek. Menyedot kreteknya dalam-dalam. Lantas ia lanjutkan, “emm.. Aku sengaja tak menegurnya.”
“Sebutkan ciri-ciri lelaki yang bersamanya!”
“Berambut cepak, berkumis runcing, tubuhnya ceking. Ada tato kepiting di lengan kanannya.”
“Eko!”
Semula, Norman berjanji untuk mengikhlaskan keputusan Marni memungut kembali cinta lamanya. Namun, ternyata ia kurang terima jika lelaki itu, lelaki yang dipuja-puja istrinya itu adalah seseorang yang dari dulu menjadi bebuyutannya. Saat melungguh di bangku SMA, Ekolah yang merusak jalinan asmaranya dengan Dewi, gadis primadona anak Pak Lurah. Ketika kuliah di sebuah kampus swasta, Eko juga tega memperdaya Lidya, dengan menyelipkan berita bahwa Norman adalah cowok play boy yang murah cinta dan gemar menebar janji kepada kaum Hawa. Dan, tatkala Norman hendak merajut sebetul-betul kebahagiaan, Eko datang lagi untuk menghancurkan.
***
Sehari dua malam Norman mengupas waktu di perjalanan. Kini, ia berada di ujung Sumatra, tempat di mana Sanusi memergoki Marni. Atas petunjuk dari beberapa teman istrinya, Norman menuju sebuah rumah berdinding batu bata yang belum dijangkapi cat. Kacanya kusam, seolah membocorkan kalau si empu rumah jarang mengelapnya.
Sore yang agak mendung itu paling cocok buat bercengkerama. Tentu sayang kalau dilewatkan. Itulah mengapa, Marni dan Eko bertukar canda di beranda, ditemani biskuit cokelat dan teh hangat. Layaknya suami-istri, mereka berdua terlihat mesra.
Marni tampak bersemangat memunguti kata-kata yang Eko suguhkan. Sambil bertutur, sesekali Eko mencubit dan membelai pipi Marni. Demikian pula Marni, yang memukul manja pundak Arjunanya itu. Alangkah bahagianya! Bak burung kepodang yang baru saja menemukan sirsirannya.
Tanpa permisi dan salam, Norman masuk ke dalam. Kebetulan pagar tidak terkunci. Sesetel kaki Norman bergontai ke arah kedua manusia yang dirundung renjana. Setiba di hadapan Marni, ia berujar lirih, “kau memang pendengar yang setia.”
Yogyakarta, 2012