Mata Sugino merayapi
gerak-gerik lelaki berumur tiga puluhan tahun di depannya. Maklum. Baru itu
kali ada orang buta makan di warung Mbok Kinah. Kopi yang ia pesan dibiarkannya
terbuka, dikerubungi lalat, demi memuaskan hasratnya memerhatikan obyek gratis
di tempat ia membanting bosan. Hiburan menarik, yang minimal dapat mengurangi
beban pikiran. Pagi-pagi benar ia sudah mengunyah mentah-mentah gunjingan dari
istrinya yang menuntut uang belanja. Padahal, di sakunya tergolek tiga ribu
rupiah. Uang yang hanya cukup untuk membeli secangkir kopi. Ditambah sebatang
kretek paling murah.
Dengan menu kare ayam
dijangkapi tiga biji kerupuk, rupanya membuat orang buta tadi makan begitu
lahap. Sugino mengulum ujung jakun. Liurnya pasti menetes, jika saja tak segera
disusuli dengan menyeruput kopi. Bagi Sugino, lauk ayam adalah lauk paling
istimewa di dunia. Mengingat ia dan istrinya selalu berlauk tempe atau tahu.
Kalau ingin ganti menu, maka pilihan jatuh pada ikan asin. Menurut catatan
otaknya, istrinya menghidangkan opor ayam sudah tiga bulan lalu. Itupun cipratan
syukuran dari Mbak Atin, tetangganya yang melahirkan.
Cara memungut nasi
dengan sendok, melumat lauk, dan mengeremus kerupuk si buta sama sekali tak
luput dari indra penglihatan Sugino. Ketika tinggal tersisa segenggam nasi di
piring si buta, sekonyong-konyong pikirannya bersoal: dari mana si buta
memperoleh uang? Pekerjaan apa yang menyebabkannya mengantongi uang dan leluasa
memilih menu ternikmat di warung Mbok Kinah? Kelebihan apa yang dipunyai orang
yang satu matanya tertutup sedang lainnya terbuka dengan warna putih semua itu?
Ah, pertanyaan-pertanyaan yang ringan menyebabkan Sugino menaruh iri dan kian
penasaran.
Didorong
pertanyaan-pertanyaan tersebut, terbesit keinginan Sugino untuk membuntuti si
buta. Oleh dasar itulah, ia menanti si buta rampung dari makan siangnya.
Sugino begitu bungah,
mengetahui bahwa seusai minum segelas teh hangat, si buta langsung menanyakan
kepada Mbok Kinah berapa jumlah yang harus dibayar. Berarti muncul tanda kalau
sebentar lagi si buta keluar. Tak seperti dirinya yang suka duduk berjam-jam,
ngomong ngalor-ngidul, sering juga
ketiduran, meski hanya membeli secangkir kopi. Itu pun Mbok Kinah masih
beruntung apabila Sugino mau melunasi seketika. Terkadang, kalau lagi kering,
lelaki berambut keribo itu memperpanjang kontrak utangnya.
***
Tongkat itu berjamak
kali dipandangi Sugino. Meski tunai mengutilnya, ia belum tahu betul apa yang
hendak dilakukan dengan benda berbahan alumunium tersebut. Sesungguhnya ia
kurang tega ketika mengambilnya diam-diam, waktu si buta beristirahat di bawah
pohon nangka dekat rumah Pak Lurah. Barang tentu, tanpa memegang tongkat, si
buta bakal kelabakan. Untuk sekadar berjalan, atau membedakan apakah di
selingkarnya terdapat batu, pecahan kaca, kaleng, ataupun benda lain. Tapi,
bagaimanapun juga Sugino terdesak melakukannya. Dalam otak kecilnya, ia percaya
bahwa karena tongkat itulah ia akan dengan mudah meringkus rejeki, layaknya si
buta. Meski berbeda jauh dengan wujud tongkat Mbah Wondo, yang dimandikan
setiap bulan Syuro, Sugino menabung keyakinan, tongkat si buta mengandung tuah.
Malamnya, Sugino tak
bisa tidur. Ah, tepatnya tak ingin tidur. Menemukan apa yang akan diperbuat
dengan tongkat curiannya lebih penting daripada merebahkan badan guna melepas
letih. Ia berpikir, berpikir, berpikir. Dan, berhasil.
Genap menimbang pikiran
semalam suntuk, paginya, Sugino berkata pada istrinya:
“Marni, hari ini aku
mau ke Surabaya.” Walaupun agak ragu, nyatanya Sugino membocorkan ludahnya.
“Apa?” Istrinya
pura-pura tidak mendengar dan terus memukul-mukul kasur yang dijemur di samping
rumah.
“Aku mau ke Surabaya.
Aku ingin mengadu nasib di sana.”
“Sama siapa ke sana?
Apa Mas Gino sudah punya tujuan?” kali ini istrinya agak serius menanggapi.
“Sendirian. Kemarin aku
diberi tahu Nardi kalau tempat percetakan Pak Ali sedang butuh karyawan.
Katanya, ada salah satu karyawan yang pulang dan tak kembali.”
Istrinya menatap wajah
Sugino tajam. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang terlontar dari mulut
suaminya itu bukanlah bualan belaka. Ia melihat wajah Sugino merengut, ditambah dengan netra yang
berkaca-kaca.
***
Plastik hitam yang
berada di tangan itu terayun-ayun mengiringi langkah Sugino yang kian lemah. Ia
masih menyisir daerah mana yang pas untuk memulai aksinya. Jika kurang cermat
menentukan tempat, bisa-bisa apa yang akan ditunaikan merengkuh kegagalan.
Padahal, uang yang ia pinjam dari Beno sudah ludes buat ongkos kendaraan dan
meneguk es blewah di dekat terminal.
Menggelundung belasan
kilo meter, akhirnya ia menemukan surau tua. Bergenteng bocor dengan dinding
yang catnya mengelupas. Ia clingak-clinguk ke sekeliling, memastikan bahwa
sekitarnya sepi orang. Lekas ia masuk ke dalam, mengganti pakaiannya dengan
kaos dan celana bolong-bolong disertai tambalan di sana-sini. Kaos partai
bergambar beringin dan celana komprang yang bosan dipakai keluyuran itu disulap
menjadi busana gembel. Dua hari Sugino mengerjakannya, tanpa sepengetahuan
istrinya.
Sugino tidak pernah
latihan drama atau ikut pementasan teater. Apalagi syuting sinetron di TV
lokal. Akan tetapi, dalam dirinya terpendam bakat untuk berperan sebagai aktor.
Buktinya, kepura-puraan yang ia simpan baik-baik pada raut wajahnya enggan
diendus sang istri. Benar. Berangkat ke Surabaya untuk bekerja di percetakan
Pak Ali merupakan siasatnya. Sebetulnya, ia pergi ke sana guna melancarkan niat
yang ia tanam semalam.
Kini, Sugino berubah
menjadi tokoh idola yang ia bayangkan. Mengambil tongkat dari plastik yang dari
tadi ditenteng, ia siap memerankan aksi orang buta yang beberapa hari lalu
ditemui di warung Mbok Kinah: bermuka melas dengan keringat berhamburan,
berjalan gemetaran dengan kaki kanan diseret. Nyaris sempurna. Sayang, Sugino
hanya berpura-pura memejamkan mata, karena mustahil sanggup menyamakan dirinya
dengan orang buta yang satu matanya tertutup sedang lainnya terbuka dengan
warna putih semua. Kecuali, ya kecuali ia nekat menyiramkan cairan aki ke mata
kirinya, agar warna hitam di tengahnya lenyap.
Tertatih-tatih, dengan
bimbingan tongkat, Sugino mendekati kerumunan orang di pasar. Ia mengincar
perempuan berbedak dan berlipstik tebal di sebelah pos ojek. Rasanya, target
seperti itu urung membuatnya kecewa.
Sesampai di hadapan
perempuan pesolek tersebut—dengan tetap menjaga penampilan yang memprihatinkan—ia
menjulurkan kedua tangannya, mirip si buta saat meronta-ronta memohon
sumbangan. Pastilah pengemis buta yang digenapi kondisi mengenaskan lebih
memancing belas kasihan ketimbang mereka yang meminta-minta dengan tubuh
segar-bugar. Batinnya mendesis.
Dan, benar. Dari
usahanya pertama kali itu, Sugino diganjar lima ribu rupiah. Jumlah yang lebih
dari lumayan bagi manusia yang baru terjun dalam dunia pengemis. Bersuara
serak-lirih layaknya orang kehausan, sambil membungkuk-bungkuk, ia
berulang-ulang menyampaikan terima kasih.
Merasa semangatnya
berlipat-lipat, ia mengemis lagi. Ia malas mengiba-iba pada sembarang orang.
Entah mengapa yang selalu menjadi korbannya adalah perempuan. Barangkali, meski
terkesan pelit, makhluk Hawa dianggap memiliki perasaan lebih peka dan kurang
tega mengetahui orang lain susah dibanding kaum Adam.
***
Sore bertudung mendung
itu, ia menghitung uang hasil jerih payahnya. Seratus ribu! Seratus ribu cuma
dalam waktu tiga jam! Lebih dari cukup untuk sekadar memborong semua persediaan
kare ayam Mbok Kinah.
Sungguh, ia begitu
mujur diperjumpakan Tuhan dengan si buta, sehingga menemukan profesi barunya.
Profesi yang kerap dicerca banyak orang, namun justru mendatangkan rimbun uang.
Ia tak perlu lagi menjadi tukang pijit atau tukang gali sumur yang pernah
dilakoninya selama empat tahun dan hanya dapat uang jika ada panggilan. Atau
tukang parkir, yang baru lima hari bekerja, ia sudah babak belur sebab tepergok
mencuri helm teropong yang terapit di motor Kawasaki Ninja milik Pak Bupati.
Selepas membersihkan
badan, ia masuk ke masjid alun-alun guna melaksanakan shalat Ashar berjamaah.
Tentu tanpa berwudlu, sebab sejak kecil ia tak tahu cara berwudlu yang benar.
Sengaja Sugino meluangkan waktu untuk menghadap ke Penguasa semesta, sebagai
rasa syukurnya yang mendalam. Padahal, sudah lima tahun ini ia jarang sekali
menunaikan perintah Tuhan. Jangankan shalat lima waktu, shalat Jum’at yang
seharusnya ditunaikan seminggu sekali saja ia sering absen. Yang belum pernah
ditinggalkan hingga sekarang adalah shalat hari raya, khususnya Idul Adha.
Mengapa? Karena sehabis shalat yang didirikan setahun sekali tersebut, biasanya
takmir masjid mendata para jama’ah untuk kemudian pada siang atau sore harinya
mereka menerima kiriman daging kurban.
Keluar dari masjid, di
depan kios jamu tradisional, lelaki yang mencium bau sekolah cuma lima bulan
itu melihat Joko. Ya, Joko. Hei, itu kan pemuda yang dulu berbuat kurang ajar
terhadap istriku! Tunggu! Akan kuhajar kau sampai mampus. Batinnya meraung.
Ketika hendak
menumpahkan dendam, langkahnya tiba-tiba tertahan. Terpaksa ia mengubur
maksudnya dalam-dalam. Sayang, jika demi membalas apa yang dulu dilakukan Joko
pada sang istri, Sugino harus mengorbankan profesinya. Belum lunas melampiaskan
amarah, bisa-bisa kedoknya selaku pengemis buta terbongkar. Wah, malah runyam
urusan!
Sugino menghindar,
berjalan berlawanan arah dari Joko. Dan, tergeragap. Di depannya tengah berdiri
seseorang berumur tiga puluhan tahun. Ialah lelaki yang ditemui di warung Mbok
Kinah, yang makan begitu lahap dengan menu kare ayam dijangkapi tiga biji
kerupuk. Lelaki dengan satu mata tertutup sedang lainnya terbuka dengan warna
putih semua. Lelaki yang bermuka melas dengan keringat berhamburan serta
berjalan gemetaran dengan kaki kanan diseret saat meminta-minta. Akan tetapi,
anehnya, lelaki tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya cacat.
Bahkan, ia nampak amat sehat.
Mata lelaki yang dikira
Sugino buta itu membelalak. Tanpa diberitahu pun, Sugino mafhum kalau lelaki
yang pura-pura menjadi pengemis buta semisal dirinya itu sedang dihinggapi
kemarahan. Kemarahan membabibuta yang mudah mencelakakan keselamatan nyawanya.
Sugino memandangi
tongkat yang dicuri dari lelaki di depannya. Tongkat itu. Tongkat yang
membantunya mengetam uang seratus ribu dalam waktu tiga jam itu. Sungguh, ia
ditikam gamang: memohon maaf dan menyerahkan tongkat kepada pemiliknya ataukah
kabur tunggang langgang seraya mengumpat sekenanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar