Sering kali, hubungan
antara sastra dengan negara berada dalam kondisi yang akut. Kondisi di mana di
dalamnya berhamburan benang-benang kusut. Kondisi yang terkesan hampa dari
sehelai tawa, namun riuh dan gaduh dengan percikan air mata.
Sejarah berkoar, bahwa
dalam beberapa dasawarsa, negara kita memperlakukan sastra tidak dengan
semestinya. Negara melihat sastra dalam pandangan picik serta hati yang buta.
Negara menaruh kecurigaan yang berlebihan terhadap sastra, dengan menganggapnya
sebagai antek berbahaya. Tak ayal, para abdi negara mengantongi ‘tugas mulia’
untuk membumihanguskan segala hal yang berkaitan dengan sastra. Buku-buku
dibakar, pementasan naskah drama dipaksa bubar, para penyair diculik, dibuang,
diasingkan, atau dihabisi dengan kejam. Segenap upaya ditempuh demi membendung kemapanan
sastra. Segala cara dijalankan guna menghalangi sastra, agar terhindar dari
masa pertumbuhan, kemajuan, bahkan kejayaan.
Kebengisan negara
terhadap sastra dari satu masa ke masa lainnya mengalami pasang surut. Hal ini
mengakibatkan tingkat keakutan hubungan antara sastra dan negara selalu
menunjukkan perbedaan. Jika dicermati, perbedaan tersebut tidak bisa terlepas
dari profil siapa yang sedang menggenggam kekuasaan. Seberapa besar rasa benci
penguasa terhadap sastra, sebesar itu pula perlakuan kasar yang ditunjukkan
oleh negara. Jadilah negara sebagai sarana paling tepat dalam menelikung
perjalanan sastra. Negara yang semestinya menjadi pemelihara serta
pengembangbiak nilai-nilai kebudayaan—antara lain dengan memperkuat eksistensi sastra—malah
dimanfaatkan untuk menuruti hasrat dan nafsu penguasa belaka. Sastra yang
dibekali daya vitalitas tinggi dalam rangka mengokohkan nation building, ternyata justru mendapat tempat yang kurang layak,
bahkan cenderung terkucil. Parahnya, dalam beberapa kasus, sastra dituduh selaku
kambing hitam dalam melancarkan kudeta, mengincar posisi strategis penguasa.
Dengan alasan inilah, akhirnya sastra didapuk menjadi musuh utama bagi negara.
Penguasa
Versus Pemeluk Sastra
Dibanding beberapa
kelompok masyarakat lain dalam negara, sastrawan dikenal sebagai pemeluk sastra
paling teguh. Melalui sastra, kaum sastrawan begitu genit dan cerewet
mengomentari berbagai ketimpangan sosial. Bermodal pena, para sastrawan
melontarkan kritik pedas terhadap perilaku penguasa yang semena-mena. Imbasnya,
penguasa menjadi gerah dan bermaksud menindaklanjuti dengan jalan menghalau
atau bahkan menghentikan aksi mereka. Di antara langkah kongkrit yang diambil
yaitu membekukan aktifitas sastrawan serta menerbitkan larangan terhadap ‘buah
tangan’ mereka yang dinilai melawan arus pemikiran.
Saat tampuk kekuasaan
di genggaman Orde Lama, khalayak tidak diperbolehkan mengkonsumsi
tulisan-tulisan sastrawan. Diduga membawa pesan-pesan yang bertolak belakang
dengan kemauan penguasa, karya mereka dilarang beredar di pasaran.
Hamka mengunyah
penderitaan berlarat-larat lantaran karya-karyanya sengaja dijauhkan dari masyarakat.
Hal itu terjadi setelah ia diduga berencana membunuh Soekarno dan sejumlah
menteri. Padahal, sebelumnya, ia dipaksa menginap dua tahun di bui, meskipun kesalahannya tidak pernah
terbukti.
Selain karya, perlakuan
buruk penguasa juga merambah pada jabatan. Sastrawan-sastrawan yang bekerja di
lembaga pemerintah digusur dari jabatannya, sebagai buntut dari terbitnya larangan
resmi Presiden Soekarno terhadap Manikebu (Manifes Kebudayaan) pada tanggal 8
Mei 1964. Sebut saja Wiratmo Soekito yang diusir dari Radio Republik Indonesia
dan HB. Jassin yang kehilangan kedudukannya selaku dosen di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Padahal, tanpa mengawat jabatan tertentu, sastrawan merasa
kesulitan untuk menyumbangkan pemikiran. Pasalnya, media kurang berani
menampung tulisan mereka demi menghindar dari demonstrasi massa kelompok kiri.
Atau kalaupun dimuat, harus mencantumkan nama samaran. (Arief Budiman, 2006:
340)
Ketika kekuasaan
beralih tangan ke Orde Baru, nyaris saja nasib sastrawan berada di ujung
tanduk. Penguasa memperlakukan sastrawan lebih buruk dari sebelumnya. Merasa
dirongrong oleh teriakan-teriakan sastrawan, penguasa berusaha semaksimal
mungkin untuk membungkam. Dalam hal ini, WS. Rendra menjadi salah seorang saksi
atas kebuasan penguasa pada waktu itu.
Harry Aveling (2001)
menyebutkan, ketika WS. Rendra menggelar pembacaan puisi di TIM pada Mei 1978,
ketika itu pula sebuah bom meledak. Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara
atas dasar bahwa aktivitasnya diyakini telah menggencarkan provokasi politik.
Tiga bulan setelahnya, Si Burung Merak dibebaskan karena penahanan tersebut
bertentangan dengan undang-undang kolonial Belanda. Meskipun demikian, ia
segera ditetapkan sebagai tahanan kota sampai bulan Oktober, kala semua tuduhan
atas dirinya dibatalkan. Akan tetapi, atas beragam pertimbangan yang kurang
masuk akal, ia dilarang sepenuhnya untuk mengadakan pertunjukan karya hingga
bulan November 1985.
Pada dekade berikutnya,
penyair semisal Linus Suryadi Ag. dan Emha Ainun Najib juga mengetam perlakuan
serupa, ketika bermaksud membacakan puisi di depan publik. Penguasa sempat
melarang Linus Suryadi Ag. yang ingin sekali merapal puisinya “Maria dari
Magdala”, sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan ketegangan orang-orang
Protestan dan Katolik. Padahal puisi tersebut sebelumnya pernah terbit di
majalah Hidup yang diedit oleh
seorang imam. Adapun Emha Ainun Najib, ia mendapat kesukaran mengantongi izin
untuk menggelar karyanya, dikarenakan adanya kekhawatiran penguasa terhadap
efek kata-kata pada massa yang cukup luas.
Mengutip Jurnal Ilmu
Sastra dan Budaya, Susastra 4 (2006: 141), penderitaan lahir dan
batin harus ditelan oleh Pramoedya Ananta Toer ketika menghirup udara bui
selama 14 tahun sebagai tahanan politik sejak 13 Oktober 1965 hingga 21
Desember 1979. Barang tentu apa yang dilakukan penguasa Orde Baru terhadap
kandidat nobelis beberapa kali tersebut sangat jauh berbeda dengan
penguasa-penguasa sebelumnya. Belanda menahannya 3 tahun, sedangkan Orde Lama
memenjarakannya hanya 1 tahun. Sungguhpun demikian, sewaktu bermukim di Pulau
Buru (1969-1979), Pram masih sanggup mengolah imajinasi dan intuisi dengan
menghasilkan masterpiece-nya,
tetralogi Bumi Manusia, yang semula
lahir dari cerita lisan yang disampaikan kepada teman-temannya.
Ketakutan penguasa pada
kekuatan kata-kata Pram merupakan di antara latar belakang mengapa Orde Baru mengurungnya
begitu lama. Hal tersebut menjadi lebih kentara saat disembunyikannya mesin
ketik kiriman Jean Paul Sartre, sastrawan terkenal Prancis, yang seharusnya
bisa dipakai Pram dalam ‘rumah derita’.
Mempertahankan
Posisi Ideal
Memperhatikan perlakuan
penguasa terhadap para sastrawan, baik Orde Lama maupun Orde Baru, dapat kita
petik pelajaran berharga. Pelajaran bagaimana kaum sastrawan memperjuangkan
hak-hak rakyat yang dirampas membabibuta. Pelajaran mengenai kegigihan
sastrawan dalam membela orang-orang tak berdaya. Pelajaran tentang keberanian
sastrawan menegakkan fondasi kebenaran, meskipun ditebus dengan cara
menyakitkan.
Bila diperhatikan
secara seksama, apa yang dilontarkan sastrawan, baik melalui lisan ataupun tulisan,
merupakan kritik membangun bagi pribadi penguasa. Dengan kritik tersebut,
diharapkan penguasa dapat berbenah diri dan mengadakan evaluasi. Dengan
demikian, sudah seharusnya penguasa berterima kasih kepada mereka, bukannya
naik darah dengan membelalakkan mata dan berpanas telinga.
Oleh karena itu, di
masa sekarang maupun mendatang, kritik dari para sastrawan terhadap penguasa
seyogyanya disikapi dengan arif dan bijak. Bagaimana pun juga, suara sumbang
dari mulut sastrawan adalah suara yang menyembul dari hati nurani terdalam.
Menghukum sastrawan dengan keji atau membabat habis karya mereka bukan pilihan
tepat dalam rangka meningkatkan iklim bernegara, bahkan sebaliknya, dapat
mengubur hidup-hidup peradaban bangsa.
Sikap sastrawan yang
berkacak pinggang di hadapan penguasa, karena selalu memberontak status quo, perlu dipertahankan.
Sastrawan adalah kaum oposisi, yang bertugas mengkritisi kebijakan penguasa.
Segala ketentuan penguasa yang melanggar norma dan etika kemanusiaan patut
diluruskan. Jika penguasa enggan diingatkan, dalam diri sastrawan hanya ada
satu kata, “lawan!”—mengutip kata-kata penyair Wiji Thukul.
Negara besar adalah
negara yang menghargai dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan, bukan yang
menghendaki keseragaman. Mochtar Lubis (1995: 7) mengatakan bahwa kemajuan
bangsa hanya dapat didorong dalam iklim kebebasan kebudayaan yang baik, di mana
daya cipta setiap anggota masyarakat—termasuk sastrawan—dibiarkan berkembang.
Pandangan yang ganjil dan mungkin pula bertentangan merupakan unsur vital bagi
munculnya pemikiran-pemikiran yang matang mengenai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Yogyakarta, 2012