Buku menjadi sesuatu
yang sakral bagi sebagian manusia. Bukanlah ia sekadar bundelan kertas berlumur
tinta yang memadati meja dan rak cendekiawan-cendekiawan atau pengaku
penikmat-pencecap ilmu pengetahuan. Sebagaimana pusaka, dalam tubuh buku terselip
kekuatan besar yang sanggup meluluhlantakkan benda di sekitarnya. Ia menyimpan
daya magis sehingga
dengan mudah sanggup menyihir dan melenakan setiap pembaca.
Lebih dari itu. Dalam
kadar tertentu, buku adalah candu bagi para pemabuk-pecinta. Rangkaian kata dalam buku
membuat orang rela membelanjakan nafsu dan waktu demi bermesraan dengannya. Ia
begitu dipuja, disanjung, diagung-agungkan oleh kaum penggandrungnya. Bukan
hanya itu! Bagi yang terlampau akur dengan derita, buku menjadi teman setia pengusap
air mata. Bagi si sakit,
layaklah ia sebagai pengusir-penundung bengalnya penyakit. Bagi si gelap jiwa,
buku pantas didaulat menjadi sahabat penerang gulita, pengantar ke gerbang
dunia.
Karena begitu penting
dan berharga, para penggandrung buku merawat segenap cara dan upaya dalam
menaruh takzim kepadanya. Mereka memposisikan buku sebagai makhluk suci yang
harus mendapat kedudukan tinggi. Mereka berteguh niat dalam membela hak-hak
buku. Mereka menempatkan diri dalam garda depan para penjunjung tinggi martabat
aksara.
Itulah mengapa, dalam
buku Wiji Thukul, Teka-teki Orang Hilang
(KPG, 2013), Arif Zulkifli, dkk (penyunting) menyebut Wiji Thukul suatu saat sempat
berang ketika mengetahui seorang temannya menggunakan buku selaku alas makanan.
Aktivis politik
sekaligus
pembela kaum buruh yang dinyatakan raib dan hingga sekarang belum ditemukan itu
tak sampai hati jika buku dihinakan atau direndahkan. Bahkan kepada sobekan
koran atau majalah, ia pun melakukan hal serupa. Sepertinya, ia memupuk
anggapan dan keyakinan bahwa setiap kertas yang memuat informasi genap membisikkan
pada telinga nuraninya suatu kewajiban moral untuk senantiasa menghormati serta
memuliakannya.
Dalam diri penyair
cadel yang potongan puisinya “hanya satu
kata: lawan!” selalu menjadi koor wajib bagi para demonstran tersebut, buku
menempati posisi urgent. Atas dasar itulah, ke mana pun berlari
dan bersembunyi—karena saking kerapnya diburu oknum militer—tak jarang ia menenteng tas
karung berisi buku dan kacamata. Tentu saja kacamata yang dibawa
bukanlah untuk tampil gaya-memesona, melainkan berfungsi sebagai peraba dan
penanda huruf-huruf yang dalam penglihatannya sudah nampak agak pudar
(barangkali karena suatu ketika, oleh seorang tentara, mukanya pernah
dihantamkan ke kaca mobil pada waktu menggerakkan massa dalam sebuah demonstrasi).
Oleh Wiji Thukul, stempel
‘istimewa’ dilekatkan pada buku. Hal tersebut tak lain sebab dalam menjalankan
aksi heroiknya ketika membela kaum pinggiran, buku menjadi guru terbaiknya.
Bukulah yang diangkat sebagai pembimbing dalam melancarkan misi saat berusaha
menghentikan kezaliman penguasa.
Adalah Muhidin M Dahlan
bersama Taufik Rahzen, Dipo Andy, Galam Zulkifli, serta Eddy Susanto—para pencetus
Yayasan Indonesia Buku—yang memiliki hasrat membabibuta dalam menyemarakkan
jagat literasi, pada tahun 2011 mendirikan Radio Buku. Radio berbasis internet
yang bermarkas di Jl. Patehan Wetan 3 Alun-alun Kidul Yogyakarta.
Bermodal kecintaan yang
meluap-luap terhadap buku, para punggawa radio komunitas (buku) pertama di
Indonesia tersebut mengabdikan diri sepenuh hati untuk menjadikan ‘ritual
menghormati buku’ sebagai bagian dari alur kehidupan yang tidak bisa
ditinggalkan. Bagi mereka, hidup bersama buku adalah keharusan yang tak boleh
ditawar. Mereka membutuhkan buku seperti halnya menghajatkan hidup itu sendiri.
Tanpa disertai buku, mereka bagaikan hidup tanpa ruh.
Ikhtiar pemuliaan buku mereka
wujudkan dengan cara membuka Radio Buku sebagai lahan persinggahan bagi siapa
pun yang tekun memelihara antusiasme terhadap buku. Itulah mengapa, tak bosan-bosannya
mereka membujuk Booklovers—sebutan
bagi para pecinta buku—untuk mengisi hari-hari dengan ‘bersenggama’ dengan
buku. Dalam rangka itulah, diselenggarakan beberapa program agar berahi mereka
dapat tersalurkan, antara lain—sesuai yang dijumput dari www.radiobuku.com: Katalog
Seni (mengulas karya seni dari pelbagai bidang), Angkringan Buku (dialog seputar buku dengan menghadirkan komunitas
pembaca selaku pembedah), Buku Pertamaku
(cerita individu tentang keintiman dengan buku), dan Komunitas: (merekam geliat komunitas-komunitas literasi). Diharapkan
dengan berjalannya program-program tersebut, mereka mengalami dua hal yang saling
melengkapi antara satu dengan yang lain, yaitu puncak pemuliaan sekaligus
klimaks kenikmatan.
Para penggandrung buku
berikutnya berasal dari barisan kaum bersarung (santri). Para penimba ilmu di
pesantren itulah yang giat menyuarakan slogan “hormati buku sekarang juga!”. Salah satu wujud tawadlu’ (sikap rendah hati) mereka
terhadap ilmu yaitu dengan membaringkan buku tidak pada sembarang tempat. Tak
ayal, jika ada seorang santri yang suatu kali sembrono menaruh buku di lantai,
maka segera meluncur teguran dari teman atau bahkan gurunya. Bagaimana pun
juga, hal itu dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap ilmu.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim, kitab acuan para santri
dalam mempelajari tatakrama mencari ilmu disebutkan, buku harus dihormati dan
dimuliakan sedemikian rupa dengan adanya larangan seseorang meletakkan buku di
dekat atau sejajar dengan kaki ketika bersila. Bahkan, kitab anggitan Syeikh
al-Zarnuji tersebut menuturkan bahwa ketika seseorang membaca buku, maka
seyogyanya ia dalam keadaan suci (berwudlu). Karena, “ilmu adalah cahaya, wudlu juga cahaya. Mustahil cahaya ilmu bisa bertambah
kecuali dengan berwudlu”.
Demikianlah di antara sebagian
wujud penghormatan para penggandrung buku terhadap sesuatu yang dicintai.
Dengan tulus-ikhlas, mereka menghargai buku melebihi dari yang lain. Bagi mereka,
adalah suatu kebahagiaan berlipat, jika berhasil mendudukkan buku pada derajat
terhormat. Pun sebaliknya. Merupakan penderitaan berlarat-larat, jika suatu saat
tersebar warta tentang gencarnya pemerintah membumihanguskan ribuan buku atau
bergeloranya teroris dalam merakit bom buku.
Yogyakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar