Kasus-kasus gratifikasi
yang menyeret para pejabat dan anggota legislatif ke jeruji besi menunjukkan
bahwa di negeri ini degradasi moral sudah sedemikian akut. Moralitas umum berupa
nilai kemanusiaan (humanity), nilai
keadilan (justice), serta nilai
kejujuran (honesty), telah dilanggar
tanpa mengindahkan prinsip hidup bersama yang sejak dulu dijunjung tinggi oleh
nenek moyang kita.
Agar mendapat jatah
kekuasaan, acap kali seseorang melakukan gratifikasi. Ada semacam konsensus tak
tertulis: keputusan-keputusan politik mudah dicapai jika disertai komisi, tiket
perjalanan, atau fasilitas bagi pemangku kebijakan.
Dalam jagat hukum,
gratifikasi digencarkan guna menghindarkan seseorang dari sanksi. Lihatlah
betapa nekatnya para pesakitan yang ingin lari dari tanggung jawab. Tanpa basa-basi,
mereka menyediakan layanan ‘pijat plus’ gratis kepada hakim. Gratifikasi seks menjadi
garansi bagi narapidana supaya masa hukuman dipersingkat atau bahkan
dibebaskan.
Gratifikasi
di Perguruan Tinggi
Tidak hanya pada bidang
politik dan hukum, aroma gratifikasi juga terendus dalam dunia pendidikan. Baru-baru
ini, dosen dan birokrat kampus ternama terlibat kasus gratifikasi. Hal ini
terkuak dari kesaksian Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)
Mansyur Ramli. Ia membocorkan bahwa saat melakukan akreditasi kampus, pihak
asesor menerima buku yang di dalamnya terdapat gelang emas.
Pemberian seperti ini
tergolong berani. Mengingat, pemerintah telah menetapkan sanksi bagi siapa saja
yang terlibat gratifikasi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menetapkan, baik
pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana
penjara seumur hidup atau maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda maksimal Rp
1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Beratnya sanksi yang ditetapkan, sebab
gratifikasi termasuk kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime. Dengan ketentuan ini, pemerintah berharap
agar masyarakat menjauhkan diri dari bahaya laten korupsi.
Namun demikian, kasus pemberian
gelang emas yang dibungkus buku menunjukkan bahwa seiring diperketatnya
regulasi, berkembang pula cara menyiasati. Ungkapan “sepandai-sepandai polisi masih dikalahkan pencuri” barangkali ada
benarnya. Dalam melancarkan siasat, pemberian yang dicurigai sebagai bentuk
suap sengaja dihindari. Adapun semua jejak korupsi dihilangkan. Jadilah buku
sebagai tameng kemunafikan. Dengan buku, seseorang dianggap menyebarkan ilmu
pengetahuan. Padahal, sebenarnya ia sedang menanam benih-benih kerusakan di
tengah masyarakat.
Betapa mata batin kita terbelalak
saat mengetahui bahwa gratifikasi berhasil menyelundup di perguruan tinggi. Fakta
ini menunjukkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi tersebut
belum terbebas dari virus korupsi. Akibatnya, citra perguruan tinggi sebagai
garda terdepan pendidikan berkarakter memudar. Perguruan tinggi dianggap belum
mampu mewujudkan visi pendidikan nasional yang bermaksud mengukuhkan sistem
pendidikan sebagai pranata sosial.
Bila diamati, fenomena di
atas menyajikan dua hipotesa. Pertama,
pernyataan John Dewey (dalam Mohammad Ali, 2009) bahwa pendidikan merupakan
proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual maupun
emosional belum sepenuhnya terwujud. Kedua,
agen-agen pendidikan yang seyogyanya menampilkan kepribadian bermoral, justru
memberi andil dalam proses kemunduran bangsa.
Alih
Fungsi Buku
Adanya gratifikasi buku
mengindikasikan bahwa sejarah buku di negeri ini tersusun atas lembaran-lembaran
kelam. Lembaran-lembaran yang menghadirkan buku berwajah muram. Dari dulu
hingga sekarang, betapa hanya karena menuruti beragam kepentingan, nasib buku
akhirnya tergadaikan.
Buku yang seharusnya
menjadi sumber pengetahuan, kadang kala beralih fungsi menjadi alat kejahatan (instrument of crime). Padahal, selain
tergolong kriminal, penyalahgunaan buku mengidentifikasi pelaku telah berbuat
amoral.
Munculnya kasus ini
memancing ingatan kita pada Teror Bom Buku pada 2011 di Jakarta. Serangkaian
peristiwa teror dengan kiriman paket buku berisi bom tersebut membuat masyarakat
menaruh kecurigaan terhadap buku. Ketakutan terhadap bahaya yang terselip dalam
buku membuat anak kecil, remaja, dan dewasa menjauhinya. Buku mengandung fobia.
Alih fungsi buku
sebagai sarana gratifikasi harus mendapat perhatian serius dari pemerintah,
akademisi dan seluruh stakeholders. Kasus
ini dikhawatirkan menjadi ‘inspirasi’ bagi lahirnya beragam kejahatan lain
dengan pola serupa. Kalau tidak segera diatasi, boleh jadi, di masa yang akan
datang, penyelundupan narkoba, pemberian tiket pesawat untuk hakim, serta
pembunuhan aktivis, direncanakan dengan buku.
Kita harus waspada. Gratifikasi
buku merupakan berita buruk bagi pegiat-pegiat literasi sekaligus kabar gembira
bagi para penjunjung budaya korupsi.