Akhir-akhir ini,
kasus-kasus kekerasan menimpa anak-anak. Generasi bangsa tersebut menjadi
korban kekejaman dan kelaliman, baik dari orang tak dikenal, guru, orang tua,
maupun temannya sendiri.
Di kota-kota besar, anak
tidak mempunyai loka bermain, sehingga ruang-ruang publik, seperti jalan raya
dan lahan parkir, menjadi lapangan sepak bola. Pembangunan pusat perbelanjaan, gedung
mewah, dan kantor, hanya menambah pundi kas Pemerintah Daerah, tanpa memedulikan
anak-anak. Padahal, dengan kian sempitnya sarana bermain, anak-anak lebih
memilih soft game, daripada permainan
tradisional yang ‘memproduksi’ banyak keringat. Dengan permainan yang
mengandalkan pikiran tanpa melibatkan ketangkasan, anak-anak cenderung jarang
bergerak. Akibatnya, kecerdasan motorik mereka berkurang.
Kerasnya kehidupan
menjadikan anak-anak tersisih dari dunia mereka. Kita mengelus dada saat mendapati
anak-anak berjualan koran di jalanan. Kita terperangah ketika menemui anak-anak
menjajakan makanan ringan di bus dan angkutan umum. Beban ekonomi yang
seharusnya hanya berada di pundak orang tua nyatanya juga ditanggung anak-anak.
Hal ini diperparah dengan menjamurnya artis cilik. Bagi orang tua, anak menjadi
mesin uang yang dapat memperlancar deposito di bank. Imbasnya, selain terkena
sindrom popularitas, anak-anak cenderung lebih matang ketimbang usia mereka. Akhirnya
mereka mengalami ‘dewasa dini’. Mengikuti pola pikir orang tua, anak-anak melalui
masa kecil tanpa bahagia.
Ambisi
Orang Tua
Fenomena di atas
menunjukkan bahwa hak anak untuk bermain dan belajar dikalahkan oleh ambisi
orang tua. Padahal, dahulu kala, negeri ini merupakan pionir peringatan Hari
Anak Internasional yang diinisiasi oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Keputusan
Kongres Gerwani II tahun 1954 menyatakan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak
tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Hak atas kemudahan
fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masa depan yang cerah tercakup dalam
hak anak (Akbar, 2013).
Keserakahan manusia
turut menyumbang daftar penderitaan anak-anak. Patut disayangkan, akhir-akhir
ini, banyak produsen nakal enggan mencantumkan komposisi makanan. Demi meraup
keuntungan, pemanis buatan diselundupkan pada jajanan anak-anak. Baik PP no. 69
Tahun 1999 maupun PerKa Badan POM RI no. HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 ternyata
tak cukup menangkal aksi nekat oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab. Padahal,
jika pemanis buatan dikonsumsi secara berlebihan, anak-anak bisa mengidap
kanker dan keterbelakangan mental.
Dalam keadaan darurat seperti
ini, buku menjadi penyelamat nasib anak. Buku merepresentasikan benteng
terakhir (the last bastion) bagi masa
depan anak. Sayangnya, eksistensi buku kurang mendapat perhatian. Masyarakat
kita lebih suka membekali anak dengan mainan. Mereka cenderung menjauhkan anak
dari buku.
Pemanis
Bibir
Peribahasa Arab klasik “khairu jalisin al kitabu” (sebaik-baik teman adalah buku) hanya
menjadi pemanis bibir guru yang memberi motivasi anak didiknya ketika
menghadapi Ujian Nasional (UN). Anak-anak harus berpura-pura bersahabat dengan
buku. Menuruti guru, anak-anak ikut les dan privat. Anak-anak memanggul beban
psikologis, lantaran jika mereka tidak lulus, pihak sekolah pasti malu. Di
sinilah buku beralih fungsi, dari media penyampai ilmu pengetahuan ke sarana
merawat gengsi.
Celakanya, buku selalu menghadirkan
ironi. Di satu sisi, buku menyajikan pelajaran berharga, mengembangkan curiosity, serta membantu anak meraih
cita-cita. Buku yang digarap sesuai formula dapat mengantar anak menggenggam
dunia. Tono dan Tini karya Annie M.G.
Schmidt merupakan contoh buku yang dimaksud. Menurut Adhim (2007), buku
terbitan Djambatan (Jakarta) tersebut memiliki struktur cerita yang kuat dan
sesuai dengan alam berpikir anak.
Di sisi lain, buku juga
memuat aksi kolonialisme terhadap pikiran anak-anak. Oleh produsen, buku tulis disulap
menjadi panggung artis. Dari sampul buku tampak keglamoran yang sengaja
dihidangkan. Mulai wajah yang dipermak, mobil mewah, hingga busana berharga
puluhan juta rupiah. Tanpa disadari, buku dengan ilustrasi kurang mendidik yang menyajikan life style para penjunjung tinggi hedonisme telah membunuh karakter
anak secara perlahan.
Atas dasar itulah, mulai
sekarang, anak-anak harus dihindarkan dari “junk
books” (buku-buku sampah). Maraknya pelbagai macam buku remaja dan dewasa menyebabkan
pergeseran minat anak untuk melahap buku yang sebenarnya mereka butuhkan (Sumardi,
2005). Langkah ini sulit dilakukan, jika
sampai detik ini, pemerintah, masyarakat, dan produsen masih mengidap egoisme
akut: penyakit yang jika tidak segera ditangani, kejahatan terhadap anak bakal
terus berlanjut.
Bojonegoro, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar