Demi menyelamatkan
diri, Arthur Rimbaud pernah memanfaatkan nama palsu. Sebuah biografi karangan
Graham Robb (2000) mengisahkan bagaimana Sastrawan Prancis yang pernah datang
ke pulau Jawa pada 1876 tersebut berhasil melarikan diri dari disiplin militer
Belanda. Kala menumpang kapal Inggris The
Wandering Chief di bawah Captain Brown, sengaja ia menyematkan nama samaran
Edwin Holmes.
Di samping tidak
menumpang kapal Prancis, penulis yang lahir dari keluarga kelas menengah di
Charleville tersebut juga tidak memilih nama bercorak Prancis. Hal ini
dilakukan dengan maksud meloloskan diri dari penyergapan militer Belanda.
Untungnya, pada 6 Desember 1876, usai berlayar hampir seratus hari dari
Semarang, kapalnya tiba di Queenstown di pantai selatan Irlandia.
Dalam catatan sejarah, tidak
selamanya penggunaan nama samaran memiliki alasan serupa: menghindari ancaman
dan bahaya. Oleh para penulis, penyebutan nama samaran memang sengaja dimaksudkan
untuk ditampilkan dalam karya mereka. Dalam jagat literasi, ini lumrah disebut dengan
pseudonim.
Dimunculkannya pseudonim
dalam sebuah karya dengan ataupun tanpa tendensi. Boleh jadi, ada beberapa
faktor, motif, dan latar belakang mengapa para penulis terpaksa menyembunyikan
identitas mereka, atau bahkan tanpa sebuah pretensi sekalipun. Betapa demi “menyelamatkan” anak ruhani
(karya)—meminjam istilah Pramoediya Ananta Toer—penulis rela melabelinya dengan
nama orang lain.
Saat menganggit
karyanya yang revolusioner dan visioner Max
Havelaar, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) memilih nama samaran. Penulis
Belanda yang dikenal luas lantaran novel satirisnya tersebut menggunakan nama
Multatuli (bahasa latin) yang berarti “banyak
yang sudah aku derita” sebagai bentuk kritik atas perlakuan kasar para
penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hinda-Belanda. Mengalami penderitaan
berlarat-larat, betapa kaum pribumi menjadi budak di negeri sendiri.
Dengan
nama ini, ia mengabadikan rekaman situasi sosial pada zamannya. Dari sinilah
potret sosial dan semangat zaman dapat ditangkap oleh pembaca. Dengan caranya
sendiri, ia menampakkan kegelisahan menghadapi problem kemanusiaan yang
universal: kolonialisme dan imperialisme yang mencabik-cabik harga diri
manusia.
Pemanfaatan
pseudonim bagi sejumlah penulis kerap mendulang kesuksesan dan menghadirkan
popularitas. Nyatanya, hal ini dialami oleh William Sydney Porter (1862-1910).
Suatu hari, sambil merenungi kenapa sampai terseret ke hotel prodeo, ia
menyadari bahwa satu-satunya hal yang dimiliki adalah melimpahnya waktu luang. Melihat
bahwa masih beberapa tahun ia menjalani hukuman, tampaknya tak banyak yang bisa
ia lakukan.
Di saat seperti inilah,
Porter berpikir bagaimana ia dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang
lain. Ia lantas mulai menulis cerita pendek dalam jumlah banyak. Dengan
berbagai pertimbangan, buah penanya itu dijual ke majalah dengan nama samaran
O’ Henry. Saat tiba hari kebebasan, tanpa diduga, ia telah menjadi penulis
cerpen paling masyhur di Amerika. Ternyata ia keluar dari penderitaan menuju
kesuksesan. (Napoleon Hill, terj. Leinovar Bahfein, 2008: 269)
Lahir di Trieste pada
19 Desember 1861, EttoShmitz menggunakan nama samaran Italo Svevo saat
mengarang novel, cerpen, drama dan berbagai tulisan lainnya. Ia memulai
karirnya pada Februari 1880 dengan menulis naskah drama komedi berjudul Ariosto Governatore (Ariosto Sang Gubernur).
Sementara itu, nama samarannya digunakan pertama kali dalam novel perdananya, Una Vita (Sebuah Kehidupan) terbitan tahun 1893.
Ketika mengarang cerita
bersambung dalam harian L’Independente pada 1888, penulis Italia pertama yang
tertarik pada teori psikoanalitik Freud tersebut pernah menggunakan nama samaran
lain, E. Samigli. Kapasitasnya sebagai penulis yang diperhitungkan serta kualitas
karya-karyanya yang tak diragukan, seperti Senilita
(Ketuaan) dan L’acoscienza di Zeno
(Kesadaran Zen) menandai awal kesadaran Italia modern. (Zainal Muttaqin,
2004: 28)
Di saat tertentu, pseudonim
menghibahkan keberuntungan bagi penulis. Akan tetapi, di saat yang berbeda,
pengaburan identitas justru menimbulkan polemik berkepanjangan. Hal ini antara
lain bisa dilihat dari fakta bahwa sejumlah puisi Hamzah Fansuri menimbulkan
kontroversi lantaran beberapa penyair paska-Hamzah menduplikasi syairnya.
Bahkan, lebih dari itu, beberapa penyalin sengaja menambah, mengurangi, dan memperbarui
syair-syairnya. Akibatnya, antara karya Hamzah dengan karya penyair lain sangat
sukar dibedakan.
Keadaan di atas
melahirkan dua aliran yang berlawanan. Di satu pihak, Doorenbos dan al-Attas
memandang bahwa karya Hamzah berupa syair-syair anonim atau yang ditandatangani
nama lain (nama samaran). Di lain pihak, Drewes dan sejumlah pakar lain
membenarkan nama-nama penyair lain itu dan menganggap bahwa karya Hamzah
Fansuri hanya terdiri atas syair-syair yang ditandatangani dalam bentuk sebuah
bait akhir. Berdasarkan kesimpulan mereka, sejumlah syair yang bertanda tangan Abd
al-Jamal adalah buah pena Hamzah Fansuri. Karena, setelah diadakan penelitian,
nama ini diyakini sebagai nama samaran Hamzah Fansuri.