Nasionalisme merupakan
konsep modern yang lahir pada abad ke-17 bersamaan dengan konsep negara-bangsa.
Bukannya menolak paham yang berakar di Barat (Eropa) tersebut, para kiai justru
menerima dengan besar hati. Dalam historiografi, para kiai terbukti berpedoman
pada nasionalisme dalam membesarkan “rahim bangsa”.
Betapa nasionalisme
para kiai sangat kuat dan inheren dengan sejarah republik ini. Bagi mereka, jembatan
harmonis yang menghubungkan nilai-nilai agama di satu sisi dan nasionalisme di
sisi lain menjadi fondasi tegaknya NKRI. Inilah wajah Islam Nusantara yang ditampilkan
para kiai sejak dahulu kala. Namun demikian, mengenai nasionalisme, masing-masing
kiai memiliki corak pandang tersendiri—yang tersaji dengan apik dalam sejumlah buku.
Tokoh Sarekat Islam
(SI), Agus Salim, pernah melontarkan gagasan bahwa menempatkan cita-cita
rohaniah di atas tujuan material merupakan implementasi nasionalisme. Seseorang
yang mencintai bangsanya berdasarkan maksud duniawi hanya akan terjerumus dalam
“agama berhala” yang memperbudak manusia untuk tanah air.
Dalam Chiefdom Madinah, Salah Paham Negara Islam
(Pustaka Alvabet, 2011: 117), Abdul Aziz mengutip pernyataan Agus Salim: “Cinta
bangsa, yang mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang terlebih melarat
... yang menghendaki persamaan dalam sebangsa antara segala golongan … yang
mengutamakan orang sebangsa daripada kebangsaan … Cinta bangsa yang hendak
menjunjung tinggi umat sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi
berhala tempat menyembah dan memuja.”
Pernyataan tokoh yang
dikenal luas sebab tulisannya yang tajam dan kritis itu direspons dingin oleh
Soekarno. Presiden Indonesia pertama tersebut mengaku bahwa nasionalisme yang
diperjuangkan bukanlah bersifat agresif dan berhasrat menguasai. Nasionalisme
Soekarno bercorak ketimuran, bukan berbasis kesombongan sebagai bangsa yang mewarisi
ide Barat. Dengan lantang, Soekarno menolak konsep nasionalisme seperti ini
sebagai agama berhala.
Buya Hamka, tokoh yang
berhasil merubah “postur kumal” seorang kiai menjadi lebih terhormat, memiliki semangat
nasionalisme “membebaskan diri dan masyarakat dari kungkungan adat”. A Suryana
Sudrajat dalam buku Ulama Pejuang dan
Ulama Petualang, Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin (Erlangga, 2006:
15) menyebutkan bahwa Hamka mengecam keras adat Minangkabau, sampai-sampai ia
tidak merasa “berumah” di tanah kelahirannya itu.
Hamka melontarkan
kritik terhadap perilaku "ninik mamak" dan "datuk-datuk"
Minang yang gemar mengenakan pakaian kebesaran, dengan membanggakan status dan
jabatan, di depan Sultan Deli. Bagi Hamka, adat semacam ini akan ditinggalkan
dan tergerus oleh zaman. Pemikiran Hamka yang dianggap “menyimpang” itu menyulut
kemarahan tokoh-tokoh adat setempat dan menjadi latar belakang
diselenggarakannya Musyawarah Adat Minangkabau pertama di Bukittinggi.
Nasionalisme, dalam
perspektif Hamka, juga tidak fanatik atau chauvinistik. Kecenderungan ini bisa
digali dari karya-karyanya, semisal Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk. Dalam novel tersebut, di samping memperlihatkan semua
orang adalah sederajat, Hamka juga meyakinkan bahwa problem-problem kesukuan
dapat diselesaikan secara damai. Kehadiran tokoh Zainuddin dalam alur cerita merupakan
representasi Bhinneka Tunggal Ika yang menghargai segala perbedaan.
Gus Dur, kiai penuh
kontroversi dengan sejuta prestasi, menganggap bahwa nasionalisme mesti
diposisikan secara seimbang dengan konstruksi sejarah dengan data-data valid,
obyektif serta mengungkapkan fakta yang lengkap. Buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser
(LKiS, 2002: 82) menyinggung pendapat Gus Dur bahwa rasa nasionalisme tidak semestinya
menghapus objektifitas sejarah. Supaya benar-benar ilmiah, pendekatan seperti
ini harus dipakai oleh beberapa ahli. Penggalian mengenai bahan-bahan sejarah
harus senantiasa mereka lakukan, baik melalui tulisan maupun rekaman elektronik.
Sebagai contoh, Jenderal
Besar Sudirman pernah memerintah bawahannya, S.M Kartosuwiryo untuk membentuk
Darul Islam (DI) di kawasan Jawa Barat. Langkah ini diambil, guna mengisi
kekosongan akibat hasil Perjanjian Renville
bahwa Republik Indonesia hanya meliputi kawasan Jawa Tengah. Namun demikian, bahwa
dalam perkembangannya, aksi seseorang yang pernah menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi Harian Fadjar Asia tersebut berubah menjadi sebuah pemberontakan adalah
masalah lain.
Bagi Syaifudin, nasionalisme
adalah “cinta negara” (hubb
al-wathan/al-wathaniyah). Ali Maschan Moesa dalam Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama (LKiS, 2007: 180)
mencatat pandangan kiai yang pernah menjadi anggota fraksi PKB DPRD Jawa Timur itu
mengenai nasionalisme. Sudah selayaknya setiap orang mencintai negara sebagai
tempat tinggalnya. Rasa cinta seseorang yang lahir dan hidup di sebuah negara
diwujudkan dengan aksi nyata. Inilah konsep nasionalisme yang dimaksud.
Secara historis, Syaifudin
mendasarkan makna nasionalisme pada hadits: “cinta negara adalah bagian dari
iman” (hubb al-wathan min al-iman). Nabi
Muhammad SAW pernah diperintah Allah untuk berhijrah dari kota Makkah ke
Madinah. Karena saking cintanya kepada tanah yang telah membesarkannya, wajar
jika beliau merasa berat hati.
Saat seseorang diliputi
“rasa memiliki” atas tanah kelahirannya, nasionalisme tidak pernah terlepas
dari masalah kepemimpinan. Bagi mereka yang mengaku nasionalis, mengangkat
seorang pemimpin (nashbu al-imamah)
dalam sebuah kawasan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Beragam pandangan para
kiai tentang nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa nasionalisme senantiasa
bersifat dinamis, sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam konteks inilah, buku
memposisikan diri sebagai saksi sejarah atas dinamika nasionalisme, baik pada
masa silam, masa kini, maupun masa yang akan datang.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar