Ada yang bilang, “hari
belum lengkap tanpa secangkir kopi”. Bagi sebagian orang, minum kopi adalah
rutinitas tak tergantikan dan sukar ditinggalkan. Walaupun identik dengan kaum
Adam, dalam dasawarsa terakhir, kegiatan ini juga merambah kaum Hawa. Jadilah
warung kopi tempat nongkrong dan kongkow bersama paling mengasyikkan dan
mengundang ketagihan.
Bagi para remaja, warung
kopi merupakan ajang pengukuhan diri. Di sinilah, mereka bisa menunjukkan
eksistensi dan identitas diri. Solidaritas dan kesadaran berbagai dapat terbentuk
melalui warung kopi. Rencana-rencana komunitas dapat disusun dengan rapi. Keleluasaan
bertindak dan kedewasaan berpikir terbangun, sebab warung kopi menyuguhkan
kebebasan berekspresi.
Bagi para pebisnis,
warung kopi menjanjikan deal-deal besar. Bermula darinya, mereka bisa
mendapatkan sejumlah proyek berharga. Suasana yang begitu cair menyebabkan kepercayaan
pemodal dapat dengan mudah diraih. Mereka dapat mengeruk keuntungan hanya
bermodal secangkir kopi.
Dari warung kopi,
seseorang dapat mengunduh beragam keuntungan. Sambil menyeruput hangatnya kopi,
ia bisa dengan leluasa mengutarakan keluhan, musibah, dan berbagai cobaan yang
dihadapi. Banyak permasalahan sehari-hari bisa diselesaikan di sini. Sesama
pengunjung akan berusaha melempar solusi. Meski apa yang mereka tawarkan
terkadang kurang realistis, paling tidak muncul beragam alternatif atau pilihan
yang mengilhami lahirnya keputusan.
Bahkan, peradaban berbincang
yang dikenal dengan discourse (wacana) di Paris tak terlepas dari peran
warung kopi. Para filosof, intelektual, pemikir, dan seniman memanfaatkan suasana
non-formal di dalamnya guna melontarkan pemikiran-pemikiran baru dan menembus
kokohnya aristokrasi birokrasi tradisional. Dengan menjunjung tinggi etika, mereka
memperbincangkan segala macam problematika kehidupan tanpa terjebak dalam
kubangan “gosip murahan”. (Mudji Sutrisno, 2006: 89).
Pemantik Inspirasi
Manfaat warung kopi
juga dirasakan oleh para sastrawan dalam mengembangbiakkan iklim literasi. Banyak
karya bermunculan setelah “kaum pelamun” mendalami fungsi, urgensi, dan
filosofi warung kopi. Inspirasi dan imajinasi mereka terbentuk lantaran keberadaan
warung kopi.
Acep Zamzam Noor mengekalkan
warung kopi dalam puisi “Lagu Kasmaran” (Gramedia Pustaka Utama, 2009): Telah
kujelajahi warung-warung kopi/ Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau
membacakan puisi/ Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang
kutenggak/ Semua sumbangan./ Kau sedang apa, biduanku?
Dalam cerpen “Tentang
Seseorang yang Mati Tadi Pagi” (Gramedia Pustaka Utama, 2008), Agus Noor
meminjam warung kopi guna menyesuaikan setting tempat dengan alur
cerita. Penulis menganggap bahwa kematian seseorang pada pagi hari lebih cocok
jika dihubungkan dengan warung kopi.
Dalam karyanya ia
menulis, kabar kematian seseorang dengan tenang dan bahagia diceritakan oleh tukang
kebun di warung kopi. Cerpen yang terangkum dalam buku 20 cerpen Indonesia
terbaik 2008 (Anugerah Sastra Pena kencana) tersebut menyebutkan, “Setiap
sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak
seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu
sahabatmu merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya
terbawa oleh cerita tukang kebun itu.”
Novel Lelaki
Terakhir yang Menangis di Bumi (Gagas Media, 2015) seolah kurang lengkap
tanpa warung kopi. Penulisnya, M. Aan Mansyur, menyelipkan warung kopi saat
pencerita melakukan “ritual perjumpaan” dengan penulis ceking yang ditemui
pertama kali saat peluncuran buku puisi keduanya.
Dalam karya yang versi
awal kisahnya ditulis pada penghujung 2006 tersebut, warung kopi difungsikan
sebagai lokasi penyegaran pikiran dan gagasan. Di sinilah seseorang dapat
melempar humor, tanpa berbau sarkastis atau provokatif, guna memancing gelak
tawa pengunjung lainnya. Kesan ini di antaranya dapat ditangkap saat penulis
ceking bertutur, “Golongan darahku A. Arabika.”
Ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya
warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, baru-baru ini
Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat mengadakan survei terhadap fasilitas
bahan bacaan di sejumlah warung kopi. Dari survey tersebut terkuak bahwa buku,
koran, dan majalah merupakan bacaan yang paling diminati kaum penikmati kopi.
Data menunjukkan, mayoritas
pengunjung (82%) ingin memanfaatkan bahan bacaan gratis di warung kopi. Karena gagasan
ini didukung oleh sejumlah pihak, maka pemerintah daerah dan pemerintah kota berencana
meningkatkan fasilitas bahan bacaan di ruang publik. Kegetolan masyarakat dalam
membaca disambut pemerintah dengan memperluas pelayanan, terutama dalam bidang
literasi.
Mengumpulkan ratusan
buku, seorang penikmat kopi asal Aceh berusaha memfungsikan warung kopi sebagai
lokasi mengunduh ilmu yang menyenangkan dan menggairahkan. Ia menganggit sebuah
konsep “literasi ala warung kopi”. Sebagaimana diketahui, ritual minum kopi genap
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Menjamurnya warung kopi di sejumlah
tempat dimanfaatkan untuk memprakarsai jaringan literasi.
Barang tentu langkah
ini patut diapresiasi. Bagaimana pun, di dalamnya terkandung solusi atas rendahnya
kualitas pendidikan di daerah berjuluk Serambi Mekkah tersebut. Betapa
dahsyatnya warung kopi, sehingga dipercaya sebagai bagian dari ikhtiar mencerdaskan
kehidupan bangsa!