Kondisi infrastruktur di wilayah
perbatasan cenderung tertinggal dibandingkan di pusat kota. Tak heran jika
akhir-akhir ini pemerintah menggalakkan pembangunan infrastruktur di wilayah
perbatasan.
Selama ini, keunggulan daerah
perbatasan kurang tereksplorasi dengan baik. Akibatnya, potensinya yang luar
biasa tidak menjadi daya tarik bagi sejumlah pihak untuk mengembangkannya. Atas
dasar inilah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,
Marwan Jafar membujuk para investor untuk menanamkan modal. Ada tiga kategori
usaha di daerah perbatasan yang dapat diolah, baik kegiatan usaha primer
(pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertambangan),
sekunder (industri rumah tangga dan agroindustri), maupun tersier (jasa
pelayanan, jasa konstruksi, dan jasa perdagangan).
Program PKBI
Dalam rangka mendorong investasi di
daerah perbatasan, pemerintah meluncurkan konsep program pembangunan kawasan
beranda Indonesia (PKBI). Program ini diharapkan mampu mengangkat “derajat”
daerah perbatasan sebagai beranda negara yang berdaulat, berdaya saing, dan
aman. Pemerintah genap mengubah pandangan terhadap daerah perbatasan. Hal ini
menandakan, ada upaya strategis dalam menghilangkan diskriminasi dan
stigmatisasi daerah perbatasan sebagai daerah tertinggal.
Menurut Said (2012), sejak 2008
terjadi perubahan perspektif bahwa pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan
bukan lagi beranda belakang negara yang kurang memiliki peran dan kontribusi.
Paradigma baru mengukuhkan daerah perbatasan sebagai beranda terdepan negara
yang layak mendapat perhatian lebih. Dengan demikian, percepatan pembangunan di
sana merupakan sebuah keniscayaan.
Program PKBI memiliki target
menumbuhkan daerah perbatasan menjadi pusat perkotaan, sehingga ia bukan lagi
sebatas pos lintas batas negara, tapi pintu gerbang perdagangan internasional,
simpul utama kegiatan ekspor dan impor, juga pusat pertumbuhan ekonomi yang
turut mendongkrak perkembangan kawasan di sekitarnya.
Dengan dibangunnya sejumlah aset,
kebutuhan dasar, sarana dan prasarana transportasi, serta konektivitas antar
pulau di daerah perbatasan, maka fokus utama pemerintah membangun Indonesia
dari pinggiran bisa terwujud. Selain itu, lemahnya manajemen birokrasi dan
organisasi kerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik di sana
bisa diminimalisir.
Penerbitan permendagri tentang
penetapan 22 daerah perbatasan, termasuk pembangunan sarana di 17 daerah
perbatasan mengandung optimisme bahwa tugas dan fungsi negara, sesuai Pembukaan
UUD 1945, dapat terealisir: ’’… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa …’’.
Pembangunan Partisipatif
Beragam konflik kerap menghinggapi
sejumlah daerah perbatasan di Indonesia. Lahirnya konflik-konflik tersebut
tidak terlepas dari fakta bahwa mereka yang menghuni daerah perbatasan sudah
akrab dengan persoalan kemiskinan, segregasi sosial, keamanan, dan budaya.
Yang tidak kalah penting yaitu
masalah geopolitik berupa sengketa perbatasan (border dispute) dengan
negara lain. “Pertama, soal administratif wilayah perbatasan dan segala
konsekuensi teknis lainnya. Ini barangkali tidak begitu rumit. Yang cukup
kompleks adalah problem nasionalisme. Masalah kedua ini sudah lama menjadi
perhatian pemerintah, tetapi belum ada solusi tepat.” (Kumolo, 2015)
Faktor ekonomi, kesehatan,
pendidikan, dan rendahnya kualitas pelayanan publik di negeri ini menyebabkan
mereka yang berdomisili di daerah-daerah perbatasan berpindah status
kewarganegaraan, melakukan eksodus ke negeri jiran, serta mengantongi KTP ganda.
Kondisi seperti ini dapat mengorbankan kesadaran nasionalisme, patriotisme, dan
cinta tanah air, yang jika dibiarkan rentan menumbuhkan benih-benih
denasionalisme.
Atas dasar inilah, jangan sampai
program PKBI hanya menjadi pepesan kosong dan retorika politis yang
mengesampingkan nilai-nilai humanis. Perlu disadari, tingginya syahwat politik
tokoh-tokoh lokal dan besarnya hasrat pragmatis “investor busuk” mendegradasi
kepekaan mereka terhadap kondisi, realitas, kapabilitas, dan kapasitas objektif
daerah perbatasan. Bagaimana pun, fragmentasi sebuah bangsa timbul lantaran
tergesernya aspek sosial, budaya dan kearifan lokal oleh pelbagai kepentingan
elite.
Solusi percepatan pembangunan dan
perbaikan kualitas hidup orang-orang yang bermukim di daerah perbatasan
semestinya bercorak partisipatif. Mereka harus terlibat dalam mengatasi
problematika yang melingkupi diri dan lingkungannya. Mereka tidak semestinya
dianggap sebagai beban sosial dan negara, melainkan aktor dan subjek
pembangunan.
Implementasi program PKBI
selayaknya disinergikan dengan program lain sebagai kesatuan sistem
pengembangan potensi daerah perbatasan. Pendekatan pengembangan daerah
perbatasan juga harus diarahkan pada perspektif investasi dengan skenario hasil
investasi jangka pendek dan menengah. Digenjotnya peningkatan sarana,
prasarana, dan infrastruktur semestinya dapat semaksimal mungkin memperpendek
rentang kendali (span of control) antara pengambil kebijakan
dan masyarakat serta menciptakan pemerataan pembangunan.
Untuk mewujudkan hal di atas,
diperlukan political will pemangku kebijakan dan kerja
keras stakeholder. Dengan demikian, selain meyakini bahwa
daerah perbatasan merupakan garda terdepan yang menjaga keutuhan NKRI, publik
juga menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam dan pembinaan sumber daya
manusia Indonesia tidak hanya terkonsentrasi di Jawa.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar