Pada masa penjajahan, kiai dan
santri berperan aktif dalam mengusir wong Londo dari bumi pertiwi. Pada
waktu itu, elemen-elemen agama cukup dominan sebagai alat perjuangan dan
pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial. Jihad merupakan argumentasi kalangan
pesantren dalam rangka mewujudkan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang diinisiasi
oleh Hasyim Asyari menggambarkan betapa orang-orang pesantren memiliki kepedulian
terhadap nasib bangsa. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menunjukkan
bahwa pertumpahan darah para santri merupakan konsekuensi logis dari ikhtiar membangun
baldatun thoyyibatun (negara dengan prinsip good governance).
Selain secara fisik, terdapat juga
perlawanan lain berupa isolasi kultural terhadap penguasa. Hal ini dilakukan
melalui karya tulis yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, terutama
kaum Muslim. Kaum penjajah dirongrong oleh keberadaan kitab kuning yang menjadi
“hidangan” setiap hari para santri. Keangkuhan kaum penjajah ditumbangkan
dengan “masa bodoh” para santri. Dalam iklim politik yang kian memanas, mereka justru
sibuk mempelajari karya para ulama yang menyajikan keharmonisan, kedamaian dan
ketentraman hidup. Daripada mengikuti alur permainan orang-orang Belanda, para
santri lebih sibuk mengungkung diri di pesantren guna mendalami ilmu-ilmu agama
yang menjanjikan kebahagiaan di akhirat. Terkadang kaum kompeni lebih dipusingkan
oleh perlawanan bercorak pasif, daripada pemberontakan yang menumpahkan banyak
darah.
Bercorak Politis
Ada kalanya agitasi melawan
pemerintah kolonial melalui karya tulis juga menyentuh persoalan politik. Sebut
saja Kiai Rifa’i yang merintis gerakan keagamaan dengan penulisan kitab-kitab tarajumah
(terjemahan kitab-kitab berbahasa Arab). Dalam pandangan Abdul Djamil (2001), pemerintah
Belanda menganggap tulisan-tulisan tersebut memuat bahaya laten yang memiliki
kaitan dengan persoalan politik. Bentuk perlawanan ini banyak menyita perhatian
ilmuwan Belanda yang kerap terlibat dalam perumusan kebijakan terhadap Islam
Indonesia.
Bagi pemerintah Belanda, kiprah Kiai
Rifa’i dalam menyebarkan nilai-nilai agama dinilai telah mengancam stabilitas
politik. Kata-kata kafir, fasik, dan zalim sering dilontarkan guna
memberi predikat penguasa Hindia Belanda. Langkah ini diambil sebagai sikap tegas
umat beragama. Melalui pengajaran kitab-kitab kuning, ia bukan saja menentang
pemerintah, namun juga pegawai pemerintah, seperti penghulu, demang, dan bupati
yang dianggap menuruti kemauan orang kafir.
Di antara ungkapan yang memuat
seruannya kepada umat Islam untuk mengisolasi diri dari pemerintah yaitu: Setengah
alim akeh pada syarekat/ Maring raja negara dosa dhalim/ Lan raja kafir atine
tan taslim/ Tan ngistoaken ing Qur’anul Adzim/ Nyateru ing panutan adil alim//
(Artinya: Sebagian orang alim ada yang bersekutu/ Kepada raja yang berdosa dan
zalim/ Dan raja kafir hatinya tidak bisa Islam/ Tak menghiraukan Al-Qur’an al-Azim/
Membenci orang alim adil yang menjadi panutan//).
Syair-syair protes dalam
kitab-kitab kuning lainnya semisal Targhib, Asnal Miqsad, Tafriqah, Bayan,
Syarih al-Iman, Ri’ayah, dan al-Himmah menunjukkan, titik berat gerakan
kebudayaannya di samping tertuju pada pemerintah juga orang-orang yang
bergantung pada pemerintah. Bisa dipastikan syair-syair tersebut memunculkan besarnya
dampak politis, sehingga pergolakan antara penguasa dengan umat Islam semakin
tajam.
Dalam buku Perlawanan
Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisasak (LKiS,
2001: 21) disebutkan, setelah menimbang sengitnya propaganda yang dilakukan, tak
heran jika pemerintah mengategorikan Kiai Rifa’i sebagai pengacau dan penyebar
ajaran sesat. Hal ini tercatat dengan baik dalam karya sastra Serat Cabolek
karangan pujangga Yasadipura I.
Radikalisme
Saat kaum penjajah menancapkan kaki
di Indonesia, hasutan kaum kolonial sebagai kafir, fasik, dan zalim
dinilai tepat. Dengan beragam agitasi, rakyat dibekali dorongan yang kuat untuk
memerangi penjunjung tinggi imperialisme. Kitab kuning menjadi media ampuh guna
menggelorakan semangat jihad menggulingkan penguasa dan mendirikan bangsa yang
berdaulat. Akan tetapi, untuk saat ini, di mana perdamaian global menjadi misi utama
para tokoh agama, ungkapan-ungkapan tersebut lebih baik dihindari. Selain membangkitkan
kebencian, propaganda hanya menyebabkan kerukunan antar umat beragama sukar
diwujudkan.
Oleh karena itulah, perlu adanya
reinterpretasi terhadap karya-karya lawas ulama tradisional. Penafsiran
ulang merupakan kebutuhan mendesak, mengingat pesan yang terkandung dalam kitab
kuning sering dipahami setengah-setengah. Dengan bergantinya zaman, teks kitab
kuning tetap dibaca layaknya “zaman baheula”. Imbasnya, karya-karya cemerlang
pada masa silam yang sebenarnya menyuguhkan pemahaman tentang urgensi
harmonisme dan kebersamaan justru disalahartikan. Sehingga, semua produk pemikiran
Barat ditolak mentah-mentah tanpa menimbang terlebih dahulu manfaat dan mafsadat
(kerusakan) di dalamnya.
Kesalahpahaman ini juga menimbulkan
kecurigaan membabibuta umat Islam terhadap liyan. Darah orang lain
dihalalkan demi mewujudkan tegaknya agama Islam. Radikalisme muncul akibat kurang
pahamnya seorang Muslim bahwa konteks yang berbeda menyebabkan penafsiran karya
juga berbeda. Celakanya, oleh sejumlah oknum, keadaan ini justru dimanfaatkan
demi memetik keuntungan, baik politis maupun finansial. Menyimpan beragam
kepentingan, mereka berusaha mempertahankan status quo.
Bojonegoro, 2016