Nafas Raja Heoul
kembang-kempis. Ia tak kuat lagi menampung rasa sakit dalam perutnya. Hampir
dua tahun ini, ia bertindak sebagai simbol belaka bagi kerajaan. Maklumlah.
Segala tetek-bengek pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada Rouman,
adiknya.
Serejang lagi, malaikat
penjemput maut hendak berkunjung. Namun, tiada sebutir kesedihan pun melekat
pada wajahnya. Lelaki bermisai abu-abu itu begitu bangga meninggalkan sebuah
kerajaan dengan pemerintahan yang sedang gilang-gemilang. Rakyat mengelu-elukan
kepemimpinannya yang terkenal adil, jujur, dan suka membela si lemah.
Lusinan orang telah
berhimpun sebelum raja Heoul jangkap memeluk sekarat. Entah, sekali lagi entah,
apakah mereka benar-benar tulus ingin melanting penghormatan terakhir bagi sang
raja. Atau dalam benak mereka tersua setitik hasrat untuk menadah wasiat raja.
Wasiat? Ya. Wasiat tentang siapa yang hendak mengantongi tampuk kekuasaannya.
Saat itu, azaz
demokrasi belum menggema semisal sekarang. Itulah mengapa, monarki absoulut
merajalela. Kekuasaan tak ubahnya barang warisan; dibagi-gratiskan kepada para
keluarga istana.
“Selepas kepergianku..
ugh.. ugh..” Katup mulut raja membuka pembicaraan. Meski terlihat lemah, ia
memaksakan diri guna meluluskan pesan terakhir.
Rouman mendekatkan dua
lembar telinganya.
“Kerajaan ini akan
dipegang.. ugh.. ugh.. oleeeeeeh..”
Semua mematung. Membisu.
Sebagian dari mereka begitu khusyuk memungut bulir-bulir kata yang menyembul
dari lidah raja. Barangkali, ya barangkali, mereka mendapat durian runtuh:
sebongkah kekuasaan yang telah lama mereka mimpikan.
“Oleeeeeeeh….”
Aih, aih, aih… Beberapa
gelintir orang mulai bosan. Beberapa gelintir lainnya merasa was-was. Adakah raja
mangkat sebelum menggulirkan pesan pungkasan? Dan, jika hal itu terjadi, urusan
bisa runyam. Betapa para saudara dan handai tolan raja akan bertikai satu sama
lainnya, demi mengetam mahkota kerajaan. Perang besar akan terbit!
“Oleh.. ugh.. ugh..
oleh Kapuris.”
Sejurus setelah menyedot
nafas dalam-dalam, nyawa raja mengepakkan sayap. Dengan berbagai daya, akhirnya
ia berhasil menyampaikan isi hatinya.
Semua orang yang hadir
menyaksikan kematian raja tercekat. Awan hitam menggumpal di hamparan kening
mereka. Sungguh, mereka nyaris tak percaya bahwa kekuasaan raja akan
dipindahtangankan kepada keponakannya.
Rouman tergeragap. Serata
tubuhnya gemetar. Kepalanya mendidih. Apa yang ia khayalkan ternyata meleset. Ia
menilai bahwa ada yang salah dalam diri raja. Mustahil, ia yang selama ini
menggantikan kedudukannya dinafikan. Lucunya, raja sekaligus kakaknya itu justru
menunjuk orang yang tak tahu-menahu tentang urusan kerajaan sebagai raja baru.
***
Rouman memasang siasat.
Ia menyebarkan desas-desus, bahwa dua hari sebelum meninggal, raja terserang
penyakit aneh yang menyeruduk ingatannya. Raja sering berkata-kata tak jelas.
Ngomong sendiri. Bahkan, kerap minta makan, padahal sebelumnya sudah disuapi
makanan. Begitulah selorohnya. Anehnya, dengan kelihaian lidah Rouman, kabar
tersebut meruap dengan cepat.
Saudara-saudara raja,
semisal Bornu, Hazzel, dan Jakiun memercayainya. Bagaimana tidak? Beberapa hari
ini mereka keluar kota dalam sebuah urusan. Adapun Mahrek, tabib raja, dan
Vorgiun, pelayan istana, berada di pihak Rouman. Mereka berdua terdesak, lebih
tepatnya didesak untuk mendukung kebusukan Rouman. Keduanya menadah ancaman:
jika nekat berkoar, batang nyawa akan terbenam. Sedangkan beberapa yang lain,
mereka bersenang hati membantu mewujudkan hasrat Rouman, walaupun sebenarnya
mereka mengetahui bahwa raja tak pernah menghirup penyakit aneh, apalagi sampai
penyakit itu menyentuh otaknya.
Senyum Rouman
mengembang. Sebentar lagi, ia bakal meloloskan ambisi. Berbekal kelicikan, ia mengatakan
apa yang dituturkan raja dalam wasiat terakhirnya merupakan kesalahan. Kesalahan
yang dihembuskan oleh penyakit aneh. Ia juga menyatakan bahwa dirinyalah yang berhak
menjadi raja selanjutnya.
Nafsu Rouman nyatanya
urung berjalan mulus. Ayah Kapuris dan beberapa kerabat raja dengan tegas
menentang apa yang digulirkan Rouman. Mereka menganggap bahwa lelaki jangkung
itu mengada-ada. Mereka juga mafhum, bahwa muslihat Rouman sepenuhnya ditujukan
agar dapat dengan leluasa melumat kekuasaan.
Kelompok inilah yang beroleh
sokongan dari mayoritas keluarga istana. Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan
raja wajib dipatuhi. Petuahnya layak dijunjung tinggi. Apapun yang
merintanginya patut diluluhlantakkan.
Maka, muncullah dinding
permusuhan yang sangat kokoh antara Rouman dan Kapuris. Antara dua orang yang
masih bertalian darah. Dua orang yang selayaknya memilin ikatan kekerabatan. Rouman
membela keinginannya, sedang Kapuris mempertahankan haknya. Mereka berdua mempersiapkan
diri guna menjegal langkah satu dengan yang lain, demi menjaga kebenaran dalam pengertian
masing-masing.
***
Sepasang netra Tanah Rubia
berkaca-kaca, seolah hendak menitihkan air mata. Alangkah gundahnya ia melihat rumputnya
yang hijau tercecah darah. Mau tak mau, ia akan menjelma saksi bagi pertarungan
sengit antara dua lelaki tangguh. Ya. Di atasnya, kini, berdiri ratusan ribu
pasukan. 600 ribu pasukan dalam asuhan Rouman. Dan 300 ribu pasukan berada di
kubu Kapuris. Benar-benar di luar dugaan!
Ini kali, Rouman lebih
beruntung. Beruntung? Benar. Ketika bertindak selaku wakil raja, ia memanfaatkan
kesempatan dengan sebaik-baiknya. Ia berjaya menjalin hubungan dengan sejumlah
kerajaan lain. Dan, itulah yang diidam-idamkan: mengeruk uluran tangan pada
saat yang dihajatkan; lebih dari separuh pasukannya, ia dapatkan dari kiriman
raja-raja negeri seberang.
Wajah Kapuris memandang
ke depan dengan tenang. Rambutnya yang sebahu melambai angin begitu hangat. Beradu
kening dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, tak sedikitpun membuatnya
gentar. Apa pun yang terjadi, segala pesan raja akan tetap diperjuangkan, meski
dengan titik darah penghabisan. Lantas, dengan pekik lantang, ia menghunjamkan
aba-aba untuk menyerang.
Rouman mengerang sambil
menyeringai tajam. Betapa seteru yang ada di hadapannya itu tak ubahnya dengan kijang
dungu, yang akan sia-sia menumbalkan kawanannya. Mengencangkan geraham, ia pun
mengangkat suara, tanda bahwa bendera medan laga telah dibentangkan.
Dua pasukan saling
berhadapan, menunjukkan kelihaian masing-masing. Memperlihatkan seberapa tega
mereka menghabisi musuh. Bermodal pedang, tombak, maupun panah, mereka tumpas
sesiapa yang tergolong lawan. Dan, dalam sekejap, ribuan nyawa telah terlempar
dari tubuhnya. Anyir darah berseliweran ke segala arah. Debu-debu dibuntingi
teriakan kesakitan prajurit-prajurit terluka atau pun yang hendak berputih
tulang. Tanah Rubia hanya mengeluh, kenapa dirinya terpilih sebagai loka
pertumpahan amarah paling dahsyat dalam dasawarsa terakhir tersebut.
***
Akhh… Mungkin jadi
nasib rakyat tidak seperti saat ini. Bisa jadi tubuh mereka jauh dari
kesengsaraan. Kalau saja ketika itu, ketika peperangan hebat itu, Kapuris
sanggup memecundangi Rouman, maka rakyat bakal leluasa bergaul dengan
kesejahteraan. Tiada penindasan. Tiada kekerasan. Tiada upeti selangit yang
kerap membuat mereka mendengus kesal sekaligus menangis tersengal-sengal.
Dalam bayangan mereka,
hanyalah terdapat anda-andai belaka. Dan, memang benar. Andaikan pasukan Rouman
disergap kekalahan, andaikan Rouman enggan mencincang hati dan mengeremus
jantung Kapuris, pastilah pohon kemakmuran kembali berkecambah. Pohon kemakmuran
yang pernah ditanam Raja Heoul ketika berkuasa.
Kebiasaan raja dan anak
buahnya yang suka mengabaikan budaya leluhur, genap mengoyak-moyak hati rakyat.
Acara minum arak kerap digelar hingga fajar. Pesta besar dengan menghidangkan
makanan berlimpah kenikmatan gemar diadakan. Bahkan, penari-penari telanjang
rajin disajikan guna menyambut para tamu yang datang dari kerajaan lain. Ditambah
lagi dengan budaya korupsi yang mulai menjangkiti beberapa menteri. Dalam
kondisi demikian, tiadalah rakyat berharap lebih. Mereka sekadar berdoa agar dalam
waktu dekat, kekuasaan yang dipetik dengan cara tidak sah itu bakal segera
hancur berkeping-keping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar