Dalam rangka mencegah
kaum muda bekerja ke luar negeri, warga Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo
Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT),
menginisiasi kelompok tani. Inisiatif ini juga muncul lantaran tingginya angka
kematian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal TTS yang mengais rezeki di Malaysia.
Data Balai Pelayanan
Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang menunjukkan,
selama Januari-Oktober 2017 terdapat 45 TKI asal NTT meninggal di Negeri Jiran
tersebut. Mereka berasal dari 14 kabupaten di NTT, di mana Kabupaten TTS
“menyumbang” korban paling besar, 10 orang. Kondisi inilah yang membuat mereka membentuk
kelompok tani dengan fokus menanam berbagai jenis sayuran.
Desa sejak lama identik
dengan pertanian. Maka, ketika belum muncul berbagai alternatif pekerjaan,
mayoritas orang desa memilih bertani. Berbekal keyakinan dan keteguhan, mereka
memantapkan diri terjun dalam bidang agraris, termasuk orang-orang
yang tidak memiliki sawah yang menawarkan diri sebagai petani
penggarap. Akhirnya, terjadilah hubungan saling menguntungkan antara pemilik
sawah dan penggarap.
Kini, pertanian semakin
kurang menarik bagi kaum muda. Mereka lebih tergiur bekerja kantoran. Minat
bertani juga dikalahkan hasrat ke kota untuk mengundi nasib di perantauan. Mereka
menjadi buruh pabrik dengan upah di bawah standar atau bekerja serabutan tanpa
jaminan perlindungan kerja.
Selain kurang
menguntungkan atau bahkan berimbas kerugian, mata pencaharian petani juga kerap
dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Bacaan, tontonan, serta semangat zaman
mengarahkan para remaja lebih mengutamakan style,
gengsi, image, serta pola hidup.
Mereka tak tertarik dengan filosofi bertani yang penuh kebijaksanaan dan
kearifan nenek moyang. Globalisasi dan modernisasi genap melahirkan generasi
instan yang selalu ingin mencapai hasil maksimal, tanpa melewati proses
melelahkan. Akibatnya, orangtua gagal melakukan regenerasi petani.
Pertanian sebagai basis
ekonomi perdesaan selalu berhubungan dengan pembangunan. Selama ini pembangunan
desa lebih diorientasikan pada upaya mendorong produktivitas kerja penduduk
desa. Kaum tani senantiasa dimotivasi dan dirangsang berproduksi. Sayang, masih
banyak kendala serius. Di sana-sini ditemukan ketimpangan antara biaya produksi
dan hasil penjualan hasil panen.
Kehilangan
Berbagai upaya tata
niaga justru mengakibatkan para petani kehilangan peluang menyisir beragam
informasi pasar. Sementara itu, masuknya modal ke desa kerap diikuti budaya
urban bercorak konsumtif, sehingga memarginalkan kaum tani dan mengasingkan mereka
dari tanah kelahiran (A Nunuk P Murniati, 2004: 200).
Kapitalisme sebagai
ideologi dunia yang begitu mencengkeram negara-negara berkembang ternyata
rentan mematikan pola pertanian tradisional dan komunal. Nilai-nilai modernitas
yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan memaksa aktor-aktor bidang
agraris menyesuaikan diri. Di tengah pusaran perdagangan bebas, cukup tampak
bahwa industri pertanian berbasis kapitalistik semakin kokoh. Hal ini
meningkatkan risiko kerusakan genetik, lingkungan, budaya, serta kesehatan.
Liberalisasi pertanian
juga kian menghancurkan usaha pertanian lokal milik ratusan juta penduduk desa.
Di samping menjadikan petani seringkali terancam bahaya kelaparan, hal ini juga
mendorong mereka hijrah ke kota atau luar negeri guna berburu rupiah. Akhirnya,
yang tersisa di pedalaman hanyalah kemiskinan dan busung lapar (Benget M
Silitonga [ed], 2012: 105).
Padahal, menurut
Bustanul Arifin (2005: 5), wujud keberhasilan revitalisasi pertanian antara
lain ditandai kemampuan pembangunan dalam mengentaskan masyarakat petani dan
warga perdesaan lainnya dari jeratan serta belenggu kemiskinan. Selama ini,
pemahaman ekonomi pembangunan modern, bahkan mazhab neoliberal sekalipun, genap
meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sektor pertanian semata
tidak akan mampu memberantas kemiskinan.
Atas dasar inilah, para
perumus kebijakan mesti menunjukkan keberpihakan penuh dan memberikan perhatian
serius terhadap nasib petani dan kelompok miskin lainnya. Langkah paling
mendasar yaitu meluncurkan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang
menyentuh kelompok miskin secara langsung. Caranya, investasi besar-besaran
pada hak-hak dasar masyarakat dalam sektor kesehatan, kecukupan gizi, serta
pendidikan dasar dan menengah.
Keberadaan kelompok
tani sebagai salah satu bentuk revitalisasi bidang agraris selayaknya didukung.
Pembentukan kelompok tani tidak hanya mendorong kaum muda untuk menggeluti bidang
agraris, tetapi juga memupuk ikatan persaudaraan dan kekerabatan antarwarga
sesuai dengan nilai sila ketiga Pancasila. Dalam setiap kesempatan, mereka bisa
saling berinteraksi dan memotivasi. Kebersamaan dan kekompakan menjadi bekal
berharga menghasilkan panen terbaik. Dengan demikian, aktivitas ekonomi tidak
hanya berdasarkan hasrat individu, tapi juga kehendak kelompok.
Berbagai target tidak
sekadar ditujukan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi pemenuhan
kepentingan bersama. Dengan memakai prinsip kolektivitas sebagai tolok ukur
bekerja, keuntungan tidak hanya bersifat sementara. Berbagai program dalam
jaringan kelompok tani diupayakan berjangka panjang agar menjanjikan surplus
lebih besar. Hasilnya mengacu pada semua anggota kelompok tani agar
kesejahteraan yang tercipta senantiasa berbasis komunitas.
Dalam konteks inilah,
keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menemukan urgensinya. Apa yang
dihasilkan oleh kelompok tani berupa bahan pangan dapat dipasarkan melalui
BUMDes. Lembaga ini memuat kehendak kelompok dengan mengutamakan prinsip,
nilai, dan dasar kehidupan bersama dalam mencapai cita-cita komunal. Nuansa
gotong-royong melandasi setiap anggota BUMDes dalam aktivitas perekonomian dan
peningkatan kesejahteraan.
Mengantongi legitimasi
melalui Peraturan Mendagri Nomor 39 Tahun 2010, BUMDes dinilai cukup fleksibel
dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. BUMDes merupakan aset desa yang bermaksud
memajukan usaha-usaha ekonomi di tingkat akar rumput, sekaligus mewujudkan
keinginan masyarakat perdesaan dalam memperbaiki taraf hidup. BUMDes juga
berfungsi sebagai lembaga pembiyaan warga yang ingin meningkatkan usaha
setempat. Lebih dari itu, BUMDes mampu mengelola potensi, keragaman, kearifan
lokal serta memberdayakan warga yang berada di garis kemiskinan.
Yogyakarta, 2017