Minggu, 08 Oktober 2017

Memutus Mata Rantai Kekerasan TKW (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Jumat, 22 September 2017)


Maraknya tindak kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) belakangan ini membuktikan kuatnya dominasi budaya patriarki. Wanita dianggap warga kelas dua yang boleh direndahkan, dihina, bahkan dilecehkan. Kelemahan (fisik) wanita dimanfaatkan selaku sarana penambah pundi-pundi finansial. Sejumlah oknum nekat menjadikan wanita sebagai “tumbal” dalam arus bisnis global, meski dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menerbitkan kebijakan moratorium pekerja migran.
Ketika keuntungan material menjadi prioritas utama, maka jaminan keselamatan pekerja rentan dikesampingkan. Itulah mengapa, majikan kerap memperlakukan pekerja secara keji dan brutal. Perbedaan gaji dengan jumlah uang yang dijanjikan, jam kerja yang terlalu memberatkan, serta perlakuan tidak senonoh merupakan di antara permasalahan TKW yang selalu menguap ketika dibawa ke jalur hukum.
Wanita juga menjadi korban tata kelola dan rekrutmen pekerja yang amburadul. Dalam taraf tertentu, mereka terbelit dalam hubungan patron-client yang telah merasuk dalam dunia ketenagakerjaan. Ketergantungan pekerja migran terhadap uluran tangan para calo mengakibatkan mereka mengalami tekanan mental. Dalam sejumlah kasus, penyalur kerja yang telah mencarikan lowongan serta menyediakan tiket pesawat sebenarnya tidak berniat menolong orang-orang yang sedang bergulat menyumpal kebutuhan perut, melainkan justru menjerumuskan mereka dalam “lubang kehancuran”. Selain dikompensasi sebagai utang puluhan juta rupiah, bantuan juga mesti dikembalikan lebih besar bahkan berlipat ganda. Utang dan bunga ini biasanya baru dapat terlunasi selama bertahun-tahun setelah mereka menyisihkan gaji.

Restrukturisasi Agraris
Salah satu alasan mengapa wanita bekerja di luar negeri adalah keterbatasan ruang kerja. Ketika kota-kota besar (dalam negeri) enggan menampung mereka, maka beberapa negara semisal Arab Saudi, Thailand, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan menawarkan alternatif. Selama ini, tersebar asumsi bahwa negara-negara pengimpor tenaga kerja tersebut menyediakan banyak peluang kerja bagi kaum Hawa.
Di desa, persoalannya lebih kompleks. Saluran tenaga kerja di wilayah perdesaan yang awalnya menyempit, kini semakin tertutup. Restrukturisasi pertanian tradisional tengah beradaptasi dengan proses komersialisasi, industrialisasi, serta proletarisasi. Diperparah dengan minimnya solidaritas sosial akibat merangseknya nilai-nilai urban ke wilayah pedalaman, kondisi ini menyisihkan para wanita, terutama dengan skill rendah, dari ajang persaingan.
Catatan historis menunjukkan, tersingkirnya wanita dari dunia kerja antara lain dikarenakan berubahnya teknik panen yang sempat menggoncang psikologi masyarakat desa tradisional. Dahulu kala, petani-petani desa tidak pernah membawa sabit saat pergi ke sawah. Dengan melibatkan hampir semua wanita desa, mereka memanen padi dengan pisau kecil (ani-ani). Sebagai imbalannya, para wanita tersebut berhak atas sebagian hasil panen (bawon). Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris), Denys Lombard (1996: 57) melihat bahwa sejak dua dasawarsa silam pemilik tanah dan teknokrat revolusi hijau menilai kolotnya teknik ani-ani. Atas dasar inilah, sabit diperkenalkan kepada kaum tani dan regu buruh upahan dikerahkan untuk memanen padi.
Sistem panen tradisional secara perlahan genap tergantikan oleh sistem tebasan yang dianggap lebih modern, namun juga mengancam kohesi sosial masyarakat perdesaan. Guna menghasilkan pendapatan lebih besar, sebelum masa panen tiba, petani melepas hasil panen kepada perantara yang disebut penebas. Lantaran tidak dibebani dengan kewajiban tradisional kepada komunitas masyarakat desa sekitar, perantara ini leluasa mengajak sejumlah kecil pekerja dan menolak pemungutan panen oleh mayoritas penduduk desa. Pekerja dituntut menggunakan sabit untuk memanen padi dan dibayar dengan uang kontan (Budi Winarno, 2003: 156). Sistem ini cukup ekonomis dan efektif, sebab mampu memangkas jumlah tenaga kerja yang berasal dari desa setempat, sementara penebas tetap menguasai bagian terbesar hasil panen.

Peran Aparatur Desa
Mata rantai kekerasan terhadap para wanita yang menjadi pekerja migran harus segera diputus dengan melibatkan aparatur desa. Sayangnya, pemerintah kerap menihilkan fungsi pamong desa. Padahal, para pemegang jabatan pemerintahan desa inilah yang menjadi aktor pertama dalam upaya mencegah menjamurnya kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW.
Proses rekrutmen wanita yang dipekerjakan di luar negeri seringkali dilakukan oleh para calo di desa asal para calon TKW. Pada umumnya, keadaan ini membuat rekrutmen berlangsung di luar jangkauan birokrasi meskipun semestinya kepala desa beserta jajarannya melakukan “filter” terlebih dahulu mengenai syarat minimal berupa batas usia calon TKW.
Dalam praktiknya, kerap terjadi pelanggaran terhadap batas usia yang menjadi syarat pertama para wanita yang akan diberangkatkan selaku pekerja migran. Mayoritas calon TKW berumur di bawah batas terendah persyaratan TKW. Usia yang tercantum dalam surat pengantar kepala desa bahwa calon TKW genap memenuhi persyaratan merupakan pemalsuan keterangan oleh calon TKW yang seringkali “diijon” oleh para calo atau agen TKW (Riwanto Tirtosudarmo, 2007: 284-285).

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar