Maraknya tindak kekerasan
terhadap tenaga kerja wanita (TKW) belakangan ini membuktikan kuatnya dominasi
budaya patriarki. Wanita dianggap warga kelas dua yang boleh direndahkan,
dihina, bahkan dilecehkan. Kelemahan (fisik) wanita dimanfaatkan selaku sarana penambah
pundi-pundi finansial. Sejumlah oknum nekat menjadikan wanita sebagai “tumbal”
dalam arus bisnis global, meski dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah
menerbitkan kebijakan moratorium pekerja migran.
Ketika keuntungan
material menjadi prioritas utama, maka jaminan keselamatan pekerja rentan
dikesampingkan. Itulah mengapa, majikan kerap memperlakukan pekerja secara keji
dan brutal. Perbedaan gaji dengan jumlah uang yang dijanjikan, jam kerja yang terlalu
memberatkan, serta perlakuan tidak senonoh merupakan di antara permasalahan TKW
yang selalu menguap ketika dibawa ke jalur hukum.
Wanita juga menjadi
korban tata kelola dan rekrutmen pekerja yang amburadul. Dalam taraf tertentu, mereka
terbelit dalam hubungan patron-client
yang telah merasuk dalam dunia ketenagakerjaan. Ketergantungan pekerja migran
terhadap uluran tangan para calo mengakibatkan mereka mengalami tekanan mental.
Dalam sejumlah kasus, penyalur kerja yang telah mencarikan lowongan serta menyediakan
tiket pesawat sebenarnya tidak berniat menolong orang-orang yang sedang
bergulat menyumpal kebutuhan perut, melainkan justru menjerumuskan mereka dalam
“lubang kehancuran”. Selain dikompensasi sebagai utang puluhan juta rupiah, bantuan
juga mesti dikembalikan lebih besar bahkan berlipat ganda. Utang dan bunga ini
biasanya baru dapat terlunasi selama bertahun-tahun setelah mereka menyisihkan
gaji.
Restrukturisasi
Agraris
Salah satu alasan
mengapa wanita bekerja di luar negeri adalah keterbatasan ruang kerja. Ketika
kota-kota besar (dalam negeri) enggan menampung mereka, maka beberapa negara semisal
Arab Saudi, Thailand, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan menawarkan alternatif. Selama
ini, tersebar asumsi bahwa negara-negara pengimpor tenaga kerja tersebut menyediakan
banyak peluang kerja bagi kaum Hawa.
Di desa, persoalannya
lebih kompleks. Saluran tenaga kerja di wilayah perdesaan yang awalnya menyempit,
kini semakin tertutup. Restrukturisasi pertanian tradisional tengah beradaptasi
dengan proses komersialisasi, industrialisasi, serta proletarisasi. Diperparah
dengan minimnya solidaritas sosial akibat merangseknya nilai-nilai urban ke
wilayah pedalaman, kondisi ini menyisihkan para wanita, terutama dengan skill rendah, dari ajang persaingan.
Catatan historis
menunjukkan, tersingkirnya wanita dari dunia kerja antara lain dikarenakan
berubahnya teknik panen yang sempat menggoncang psikologi masyarakat desa
tradisional. Dahulu kala, petani-petani desa tidak pernah membawa sabit saat pergi
ke sawah. Dengan melibatkan hampir semua wanita desa, mereka memanen padi
dengan pisau kecil (ani-ani). Sebagai
imbalannya, para wanita tersebut berhak atas sebagian hasil panen (bawon). Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris), Denys
Lombard (1996: 57)
melihat bahwa sejak dua dasawarsa silam pemilik tanah dan
teknokrat revolusi hijau menilai kolotnya teknik ani-ani. Atas dasar inilah, sabit diperkenalkan kepada kaum tani
dan regu buruh upahan dikerahkan untuk memanen padi.
Sistem panen
tradisional secara perlahan genap tergantikan oleh sistem tebasan yang dianggap lebih modern, namun juga mengancam kohesi
sosial masyarakat perdesaan. Guna menghasilkan pendapatan lebih besar, sebelum
masa panen tiba, petani melepas hasil panen kepada perantara yang disebut penebas. Lantaran tidak dibebani dengan
kewajiban tradisional kepada komunitas masyarakat desa sekitar, perantara ini leluasa
mengajak sejumlah kecil pekerja dan menolak pemungutan panen oleh mayoritas
penduduk desa. Pekerja dituntut menggunakan sabit untuk memanen padi dan
dibayar dengan uang kontan (Budi Winarno, 2003: 156). Sistem ini cukup ekonomis
dan efektif, sebab mampu memangkas jumlah tenaga kerja yang berasal dari desa
setempat, sementara penebas tetap menguasai
bagian terbesar hasil panen.
Peran
Aparatur Desa
Mata rantai kekerasan
terhadap para wanita yang menjadi pekerja migran harus segera diputus dengan
melibatkan aparatur desa. Sayangnya, pemerintah kerap menihilkan fungsi pamong desa.
Padahal, para pemegang jabatan pemerintahan desa inilah yang menjadi aktor
pertama dalam upaya mencegah menjamurnya kasus-kasus kekerasan yang menimpa
TKW.
Proses rekrutmen wanita
yang dipekerjakan di luar negeri seringkali dilakukan oleh para calo di desa
asal para calon TKW. Pada umumnya, keadaan ini membuat rekrutmen berlangsung di
luar jangkauan birokrasi meskipun semestinya kepala desa beserta jajarannya melakukan
“filter” terlebih dahulu mengenai syarat minimal berupa batas usia calon TKW.
Dalam
praktiknya, kerap terjadi pelanggaran terhadap batas usia yang menjadi syarat
pertama para wanita yang akan diberangkatkan selaku pekerja migran. Mayoritas calon
TKW berumur di bawah batas terendah persyaratan TKW. Usia yang tercantum dalam
surat pengantar kepala desa bahwa calon TKW genap memenuhi persyaratan
merupakan pemalsuan keterangan oleh calon TKW yang seringkali “diijon” oleh
para calo atau agen TKW (Riwanto Tirtosudarmo, 2007: 284-285).
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar