Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menyoroti kondisi pertanian Indonesia. Katanya, petani harus
memperoleh nilai tukar hasil pertanian sebesar-besarnya. Hal ini tak mungkin
terwujud bila pola kerja dan pengolahan panen masih konvensional. Para petani
juga tidak akan mengantongi keuntungan maksimal andai mengandalkan lahan kecil
dan mengurusnya hingga masa panen tiba. Padahal, nilai tambah yang melimpah
justru berada pada proses agrobisnis. Maka, perlu diciptakan banyak badan usaha
atau korporasi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ungkapan Presiden
Jokowi menunjukkan, gairah mengangkat harkat dan martabat petani yang mayoritas
bermukim di perdesaan. Pasokan beras kaum urban tergantung pada hasil kerja
mereka. Gagal panen membuat beras di perkotaan semakin terbatas. Bisa
dipastikan, tanpa kebijakan impor, cadangan beras menipis.
Sayangnya, kebijakan
pemerintah dari masa ke masa seringkali kurang berpihak pada bidang agraris.
Para petani mengaku, terutama setelah reformasi, hasil sawah tidak pernah
memuaskan. Dari tahun ke tahun, hasil panen selalu menurun. Lantaran menerima
berbagai jenis padi dan pupuk kimia, tanah jenuh. Imbasnya, kualitas dan
kuantitas beras kurang baik. Hal ini berbeda dengan tahun 1980-an karena hasil
panen amat memuaskan. Keringat petani benar-benar dihargai. Mereka cukup
menggantungkan hidup dari sawah. Kini, mereka mesti mencari sumber keuangan
lain.
Ledakan kapitalisme
beberapa dasawarsa terakhir yang begitu dahsyat turut meroketkan angka
kemiskinan dan penderitaan petani. Dengan alasan keuntungan serta berbagai
kepentingan, para pemodal sengaja mengusung model ekonomi barat ke perdesaan.
Tapi tidak dalam rangka mengakrabkan desa dengan perkembangan zaman dan
modernitas, melainkan cenderung menjadikan desa terperosok.
Boeke mempermasalahkan
kapitalisme dengan ekonomi barat modern yang mengantar kemiskinan dan
keterbelakangan di desa. Pakar sosial Belanda tersebut menyalahkan ekonomi
modern yang memaksakan dampaknya terhadap masyarakat desa dengan tatanan
ekonomi dan sosial yang sangat berbeda dengan barat. Perbedaan inilah yang
akhirnya mendesak kehidupan perdesaan. Boeke menyimpulkan, hukum dan dalih
ekonomi barat tidak berlaku di perdesaan. Di desa berjalan dengan “ekonomi
timur” (Sarbini Sumawinata, 2004: 144).
Desa tidak mungkin dijauhkan
dari arus globalisasi dan modernisasi dengan segala risikonya. Namun demikian,
beragam ekses seyogianya tidak membiarkan orang desa terusir dari tanah
kelahirannya. Kehadiran hotel, restoran, kafe, mal, butik, serta galeri yang
sebagian besar milik oleh orang luar, telah mengabaikan sektor industri
perdesaan.
Guna mempertahankan
hidup, masyarakat desa terpaksa mengikuti pola perekonomian urban. Kearifan
lokal warisan nenek moyang dikorbankan demi menyesuaikan diri dengan realitas.
Upaya pemenuhan kebutuhan tidak lagi berlandaskan moralitas, tapi nilai-nilai
material semata. Pragmatisme dan hedonisme yang menyusup dalam diri orang desa
secara perlahan menggantikan prinsip hidup yang mengutamakan kebersamaan,
keguyuban, serta gotong-royong.
Industrialisasi
bercorak urban terbukti genap menggerogoti basis sosial masyarakat serta
mengubah tata kuasa, guna, produksi, dan konsumi lokal. Dampaknya cukup serius.
Orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan diri memilih meninggalkan desa.
Realitas membimbing mereka berpisah dengan keluarga demi mencukupi kebutuhan.
Industrialisasi perkotaan telah menghisap tenaga kerja perdesaan ke
pabrik-pabrik besar dengan pendapatan lebih menjanjikan. Mobilitas tenaga kerja
ke kantong-kantong urban melahirkan ketimpangan ekonomi, sosial, serta
melumpuhkan industri-industri lokal.
Di perdesaan, kaum tani
termasuk masyarakat tangguh. Dalam menggarap sawah, mereka senantiasa dibekali
harapan besar. Mereka selalu memupuk asa agar semangat bertani tetap menyala.
Mengeluarkan banyak biaya sebelum mengetahui hasil panen, tak masalah. Petani
bahkan berani utang kepada tengkulak demi menghasilkan beras terbaik. Padahal,
di balik perjuangan tersimpan keluh kesah. Ketika panen tiba, mereka belum
tentu merasakan manisnya bertani. Mereka sering rugi karena hama dan bencana
alam.
Orang tua cenderung
membatasi diri pada kebiasaan bertahun-tahun, bahkan lintas generasi dan enggan
mencoba cara baru. Ini berarti, tujuan kerja bukan memperoleh keuntungan, namun
sekadar menyalurkan “kemampuan bertahan” dan mewarisi sikap leluhur menjalani
kehidupan.
Meski demikian,
kecenderungan ini tidak lantas membuat citra bahwa orang desa antiperubahan.
Dalam situasi tertentu, pertimbangan-pertimbangan logis mampu mengubah cara
pandang. Mereka bersedia menempuh langkah baru jika benar masuk akal. Bila
muncul ambisi mengubah nasib, biasanya ditularkan kepada keturunan. Selama ini
tersebar asumsi, ketika orang tua belum mampu mewujudkan harapan, buah hati
menanggung beban merealisasikannya.
Dana
Desa
Salah satu upaya
meminimalkan kesenjangan antara masyarakat rural dan kaum kota dan menekan
tingkat kemiskinan petani di perdesaan memaksimalkan dana desa. Dana dari APBN
tersebut harus memampukan desa berdaya bersaing dengan kota. Desa dapat
menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di dalamnya.
Dengan demikian, para
sarjana akan bertahan di desa dan para pemuda sebagai aktor penggerak desa pun
tidak tergiur berbondong-bondong hijrah ke kota, pinggiran kota, dan sentra
pengembangan industri lainnya. Selama ini, desa tidak lagi produktif
menyebabkan banyak warga bekerja sebagai buruh di kota-kota besar.
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan pencairan dana desa. Di samping
memperbaiki infrastruktur perdesaan, dana desa juga dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan agroindustri lokal yang menyediakan lahan pekerjaan setempat.
Dengan memanfaatkan dana desa, lapangan pekerjaan yang berhubungan dengan
bidang agraris bisa terbuka. Melalui langkah ini, karakter ekonomi perdesaan semakin
kuat. Namun, jangan sampai dana desa didominasi elite lokal. Di beberapa
daerah, para kepala desa dijebloskan ke bui gara-gara menggunakannya untuk
kepentingan individu.
Selain itu, semangat
bertani semestinya diwariskan kepada generasi muda. Ikhtiar mempertahankan luas
lahan pertanian tidak cukup sekadar dituangkan dalam regulasi, harus dengan
mengokohkan pondasi kultur agraris. Di samping mengajarkan kearifan lokal nenek
moyang dalam menggarap sawah, kurikulum pendidikan selayaknya juga menampung
materi-materi keuntungan bertani.
Terlibatnya kawula muda
dalam jagat pertanian tidak selalu diwujudkan dengan mencangkul atau memanen.
Demi menghasilkan panen bermutu, mereka bisa diikutsertakan dalam penyuluhan
dan pendampingan petani. Seiring dengan kian kencangnya laju modernisasi, yang
terpenting menanamkan pada diri anak muda bahwa profesi kaum tani tak kalah
bergengsi. Di dalamnya tersimpan harga diri, bukan sekadar subsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar