Putri mendiang Presiden
Abdurrahman Wahid, Alissa Qotrunnada, menerima penghinaan melalui foto yang
dikirimkan sebuah akun Instagram. Penghinaan terungkap setelah putri sulung
Presiden RI keempat tersebut mengunggah foto yang dimaksud melalui akun Twitter
pribadinya, @Alissawahid. Bukannya menyerang balik, Alisa justru merespons
dengan bijak, “Itulah saya, dan saya bangga dengan itu!”
Beragam reaksi
bermunculan. Para netizen melayangkan pembelaan dan dukungan terhadapnya.
Mereka menilai bahwa Gus Dur adalah figur yang senantiasa dikenang
jasa-jasanya. Itulah mengapa, setiap tahun anggota keluarga, pejabat, sahabat,
simpatisan, serta pengagum Gus Dur (Gusdurian) disibukkan dengan peringatan
haul tokoh besar tersebut.
Selain merenungi dan
meratapi “kehilangan”, memperingati kepergian tokoh besar juga merupakan upaya
membangkitkan semangat, etos, serta cita-citanya. Kala negeri ini terbelit
problematika akut, mereka ingin menghadirkan kembali sosok Gus Dur sebagai
Bapak Bangsa yang selalu dirindukan.
Mengenang riwayat tokoh
besar sekaliber Gus Dur merupakan salah satu ikhtiar menggali lebih jauh tentang
sejarah Indonesia. Ya, mengingat Gus Dur bukan hanya dikukuhkan sebagai ikon
pluralisme negeri ini, melainkan juga “pembela perdamaian” di ranah global.
Mementaskan memoar tokoh yang menerima banyak penghargaan tersebut di ruang
publik sama saja dengan mengokohkan bangunan historiografi nasional. Gambaran
kehidupan tokoh-tokoh besar tiada lain adalah refleksi mengenai kebudayaan
Indonesia.
Gus Dur memandang bahwa
semua manusia adalah sama, tak peduli asal-usul, jenis kelamin, warna kulit,
suku, ras, dan kebangsaan mereka. Yang ia lihat adalah bahwa mereka adalah
manusia sebagaimana dirinya. Yang ia perhatikan adalah niat baik dan perbuatan
mereka. Gus Dur berteriak lantang dalam membela hak-hak mereka, meski banyak
pihak yang malah menghujatnya. Ia teguh menemani orang-orang yang merasa
kehormatannya diinjak-injak oleh negara atau otoritas yang dominan.
Husein Muhammad (2012)
menilai bahwa ekspresi-ekspresi personal dan individual yang dianggap sebagian
orang tak bermoral, menurut Gus Dur, tak boleh melibatkan negara, tak boleh
diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat
dengan cara-cara yang mereka miliki tanpa kekerasan.
Beragam sisi
kehidupannya selalu menarik untuk direkam, dihayati, serta diceritakan ulang.
Salah satunya humor atau guyonan Gus Dur. Tak ayal lahirlah buku-buku yang
memuat celoteh, penuturan, serta kisah lucu Presiden Republik Indonesia keempat
tersebut. Sebut saja Lachen mit Gus Dur:
Islamicher Humor Aus Indonesien (Mizan, 2005), Gus Dur, Asyik Gitu Loh (The Wahid Institute, 2007), Gitu Aja Kok Repot!! Banyolan Gus Dur
(Citra Media, 2010), Humor Nyentrik Ala
Gus Dur (Abdika, 2010), dan Tertawa
Bersama Gus Dur: Humornya Kiai Indonesia (Mizan, 2010).
Ini menandakan warisan
humor Gus Dur menjadi semacam oase bagi mereka yang “miskin inspirasi”
sekaligus “haus imajinasi”. Urat syaraf masyarakat yang mudah tegang
membutuhkan humor sebagai sarana rekreasi yang membebaskan. Kondisi politik,
sosial, dan ekonomi yang carut-marut mengakibatkan orang berbondong-bondong
mencari penyegaran. Humor menjadi medium masyarakat dalam menjalani hidup tanpa
rasa marah, jenuh, dan benci. Dalam humor terselip wacana, kebajikan, serta
kontemplasi.
Humor memang menjadi
bagian tak terpisahkan dari kepribadian Gus Dur. Di berbagai kesempatan, Ketua
Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia pada tahun 1994 tersebut tak lupa
menyelipkan anekdot. Suasana yang formal dan serius tak menghalanginya untuk
melempar beraneka kisah unik, lucu, tapi juga cerdas.
Greg Barton dalam karya
fenomenalnya, The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid (LKiS, 2003) menyebutkan bahwa Gus Dur sering menghiasi
pidatonya dengan anekdot-anekdot jenaka. Dalam suatu pertemuan, misalnya, ia
mengibaratkan NU dengan mobil yang para penumpangnya terus-menerus mencoba untuk
menginjak rem. Jika mobil ingin melaju, maka harus ada orang yang mengendalikan
gas. Gus Dur mengaku bahwa dirinya bertugas menekan rem tersebut. Sontak para
hadiri terkesima dan tak mampu mendebatnya.
Label humoris tak hanya
melekat pada diri Gus Dur ketika beranjak dewasa. Masa mudanya ternyata juga
dipenuhi pengalaman-pengalaman lucu. Setelah menamatkan studi di beberapa
pondok pesantren Jawa dan Madura, pada tahun 1892, ia pergi ke Mekkah. Anehnya,
di sana ia didaulat menjadi seorang ahli hadits dengan spesifikasi kisah jenaka
kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Itulah mengapa Gus Dur
mengidentifikasi dirinya dengan figur Semar, tokoh wayang dengan sifat dan
perilaku yang mengundang tawa orang-orang sekelilingnya. Semar adalah manusia
sakti yang menitis pelawak istana yang gemuk, lucu, namun juga kritis.
Sumber
Inspirasi
Humor Gus Dur menjadi
sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin berkarya. Melalui humor, Gus Dur
mampu menularkan etos literasi kepada anak bangsa. Dari humor, lahir ratusan
buku. Bisa dibayangkan betapa banyak buku yang terbit lantaran terinspirasi
dari sisi kepribadian Gus Dur lainnya. Para penulis, akademisi, dan peneliti
dapat melakukan kajian terhadap biografi Gus Dur serta buah pemikirannya, mulai
agama, sosial, budaya, hingga politik.
Karena itu, rasanya
kurang lengkap jika rangkaian peringatan haul Gus Dur melewatkan diskusi
mengenai etos literasinya. Dalam sosoknya tersimpan imaji literer yang sangat
kuat. Motivasi belajar yang dimiliki Gus Dur memang tak perlu diragukan. Saat
menempuh studi di luar negeri, ia doyan menghabiskan waktu di berbagai forum
diskusi. Bahkan ia nekat meninggalkan kuliah demi menonton film-film
berkualitas serta mengunjungi perpustakaan-perpustakaan “berkelas”. Baginya,
lebih baik membuka wawasan keilmuan dari “ruang non-formal” daripada mengikuti
jam pelajaran yang cenderung membosankan.
Etos literasi Gus Dur
senantiasa diwariskan lintas zaman dan generasi. Itulah mengapa, pada tahun
2010, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X
meresmikan perpustakaan Guru Bangsa. Dalam rangka mengenang jasa Gus Dur,
perpustakaan ini didirikan terutama bagi kelas menengah ke bawah. Sebagaimana
diketahui, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas dan siapa saja yang tertindas.
Di sejumlah tempat,
para Gusdurian juga mencetuskan perpustakaan keliling yang menyediakan bahan
bacaan bagi semua lapisan masyarakat. Keberadaan perpustakaan keliling tidak
hanya melayani kaum urban, melainkan juga masyarakat perdesaan yang jauh dari
akses ilmu pengetahuan.
Belum lama ini
Perpustakaan Gus Dur dibangun di kompleks Taman Budaya Indonesia Tionghoa,
Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini merupakan wujud apresiasi dan dedikasi
atas sumbangsih Gus Dur selama hidup. Di samping menumbuhkan minat dan budaya
membaca, kehadiran perpustakaan juga diharapkan mampu menggelorakan semangat
kerukunan antarumat, toleransi antaretnis, dan harmonisme bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar