Seorang basir sedang
merapal mantra. Ia mengangkat seekor babi dalam kondisi terikat. Pemuka agama
Kaharingan tersebut segera mengambil tombak lantas menancapkannya ke tubuh
babi. Ia membaca lagi doa dalam bahasa Sangiang (roh) setelah menampung darah
babi dalam gelas plastik berisi beras. Di hadapannya berdiri banyak orang
dengan wajah cemas. Mereka seolah menunggu apakah hinting pali yang digelar menuai hasil atau nihil.
Diselenggarakannya ritual adat tersebut berlatar belakang bahwa para petani
kerap menjadi pihak yang dirugikan karena tanah mereka “disulap” menjadi lubang
tambang atau perkebunan sawit.
Fenomena di atas
menggambarkan bahwa kasus alih fungsi lahan di Kalimantan Tengah genap
menyisakan beragam konflik agraria. Pemanfaatan tanah dengan tujuan komersial
tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat rentan melahirkan problematika
sosial. Tak heran apabila sebagian suku Dayak meradang lantaran PT Agrindo
Green Lestari (AGL) dianggap telah mencaplok tanah mereka. Betapa kesewenangan
perusahaan swasta tersebut dinilai mengesampingkan eksistensi kaum tani.
Padahal, selama
bertahun-tahun, mereka benar-benar menggantungkan hidup dari lahan pertanian.
Tanah menjadi sumber penghidupan yang di samping menjanjikan kesejahteraan juga
menyajikan kebajikan. Terciptanya beraneka bentuk kearifan lokal lintas
generasi antara lain disebabkan kentalnya kultur agraris yang secara
turun-temurun dipraktikkan terutama oleh orang desa. Bidang agraris sejak lama
menjadi sokoguru perekonomian Nusantara yang menyajikan nilai, prinsip, dan
etos kebersamaan. Tradisi gotong royong turut dikukuhkan oleh para petani yang
senantiasa mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan individu.
Komunalisme membimbing mereka untuk hidup guyub dan rukun, termasuk dalam
bekerja dan mengelola sumber-sumber ekonomi.
Konsensus
Tradisional
Didera penderitaan,
kecemasan, serta kebimbangan, suku Dayak menggelar hinting pali. Hinting
berarti tanda batas, sedangkan pali
bermakna larangan atau pantangan. Tali-tali yang sengaja dipasang oleh warga di
tengah-tengah perkebunan sawit menunjukkan batas kawasan yang diklaim berada
dalam wilayah kepemilikan mereka. Merujuk konsensus tradisional, barang siapa
yang nekat melanggar atau bahkan merusak batas tersebut, ia bakal terkena
sanksi adat dari roh nenek moyang.
Mengutip Kompas edisi 31 Maret 2018, Linggua
Sanjaya Usop berpendapat bahwa hinting
pali ibarat “garis polisi” yang dipasang dengan maksud memohon nenek moyang
untuk menjaga kawasan berbatas. Pelaksanaan ritual adat tersebut pada masa
silam bersamaan dengan dibukanya lahan atau kebun petani Dayak supaya tidak
diserobot oleh petani lain. Bahkan, ritual ini juga berperan mengusir hama
tumbuhan. Berdasarkan penjelasan budayawan Kalimantan Tengah tersebut, seiring
berjalannya waktu, hinting pali
menjadi “gerakan kontra-hegemoni” masyarakat adat Dayak terhadap perusahaan dan
pemerintah.
Surat kabar yang sama
menyebutkan, hinting pali sudah
dilakukan sejak dahulu kala. Berdasarkan catatan historis, belakangan ini
ritual adat tersebut juga diadakan di sejumlah lokasi. Pada 2012, warga
Kabupaten Murung Raya memasang hinting
pali guna mengusir perusahaan tambang yang menghancurkan area keramat di
Kecamatan Tanah Siang Selatan. Adapun pada 2016, warga Tumbang Mantuhe,
Kabupaten Gunung Mas, juga memasang hinting
pali di kawasan perkebunan sawit. Selain area yang diserobot pada akhirnya
dikembalikan kepada pemiliknya, warga juga menerima kompensasi atas pohon karet
yang mengalami kerusakan.
Ketidakhadiran
Negara
Terselenggaranya hinting pali merupakan respons sebagian
kalangan atas ketidakhadiran negara dalam urusan rakyat. Dalam ritual adat
tersebut tersaji ekspresi kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap negara. Menurut
pandangan masyarakat adat Dayak, negara telah abai terhadap hajat hidup rakyat.
Betapa kepentingan bersama rentan dikorbankan demi tercapainya hasrat pemodal
yang cenderung berorientasi pada keuntungan material bercorak individualistis.
Padahal, suku Dayak
semestinya memperoleh lebih banyak manfaat dan akses dari apa yang ada di
sekitarnya ketimbang pihak perusahaan. Apalagi, keberlangsungan hidup suku
Dayak telah dijamin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Eksistensi
masyarakat adat genap memperoleh pengakuan konstitusi (Undang-Undang Dasar
1945), di mana pengaturannya ditetapkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Ritual adat antara lain
digelar ketika jalur formal tidak bisa lagi ditempuh. Saat efektivitas hukum
sulit dijangkau, rakyat kecil menginisiasi upaya-upaya irasional dengan
kekuatan adi kodrati sebagai penopang utama. Dalam taraf tertentu,
penyelenggaraan hinting pali
mengindikasikan bahwa mitos mengalahkan rasio. Selain besarnya kepercayaan
terhadap ajaran para leluhur yang genap menelusup pada jiwa mereka, dipegangnya
aspek-aspek yang bernuansa spiritual-transendental juga lantaran keterbatasan
pikiran manusia. Tak berlebihan apabila beberapa orang meyakini perkara mistis
melebihi hal-hal yang mudah dicerna logika.
Antropologi
Hukum
Pelaksanaan hinting pali di Kalimantan Tengah
merupakan ikhtiar memancing atensi pemerintah yang terkesan lebih memihak ‘kaum
berduit’ daripada rakyat kecil. Di dalamnya tersimpan inisiatif lokal dalam
menghadapi kebijakan nasional. Apa yang dilakukan oleh suku Dayak memuat
gugatan bahwa hukum seakan hanya berpihak pada mereka yang kuat sekaligus
menihilkan siapa saja yang lemah. Dalam banyak kasus, pembagian masyarakat
dalam kelas atas dan kelas bawah menciptakan hubungan antarkelas yang bersifat
eksploitatif atau menindas.
Atas dasar inilah,
pengarusutamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sebaiknya tidak sekadar dipahami melalui “kaca mata kuda”. Fenomena penggunaan
ritual adat, terutama ketika hukum belum berfungsi secara maksimal,
meniscayakan digunakannya pendekatan antropologi hukum. Bagaimanapun, tidak
semua peristiwa hukum bisa didekati dengan kaca mata yuridis-positivistis. Ada
aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia yang harus dilihat melalui lensa
sosial-budaya.
Pada dasarnya hukum
memuat keberagaman dan pluralitas. Hukum tidak selamanya identik dengan kondisi
masyarakat urban, melainkan juga orang-orang yang bermukim di wilayah
pedalaman. Dalam konteks inilah, dikemukakannya antropologi hukum menemukan
relevansinya. I Gede A. B. Wiranata (2011: 19) menyebutkan bahwa antropologi
hukum membahas gejala pluralisme hukum dengan meneropong sejauh mana berlakunya
hukum adat sebagai hukum yang hidup di satu sisi dan berjalannya hukum nasional
di sisi lain dalam suatu negara.