Apa yang diberitakan
oleh media cetak maupun online
memunculkan kesan bahwa melimpahnya dana desa yang digelontorkan oleh
pemerintah pusat memunculkan anomali. Di satu sisi, dana tersebut menjadi
berkah apabila pemanfaatannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Imbasnya, selain taraf hidup masyarakat meningkat, implementasi good governance di aras lokal juga kian
terlihat. Di sisi lain, dana tersebut merupakan musibah manakala kurang mampu
dikelola dengan baik. Dengan demikian, nasib warga dikorbankan lantaran
keberadaan dana desa yang sesungguhnya dapat mengatrol kesejahteraan, ternyata
justru menjadi sumber penderitaan. Lebih jauh, kepala desa juga akan menjadi
tumbal jika kurang berhati-hati dalam membelanjakannya.
Kebimbangan
Dalam kondisi seperti
inilah, kepala desa seringkali disergap kebimbangan antara menggunakan dana
desa secara maksimal dan menahannya supaya terhindar dari segala bentuk
pelanggaran. Namun demikian, keduanya tetap memiliki dampak masing-masing.
Penggunaan serampangan dapat mengakibatkan dipenuhinya unsur korupsi. Adapun
penolakan terhadap dana desa mengakibatkan merosotnya kepercayaan warga kepada
pemimpin yang enggan menerima risiko jabatan.
Dalam realitasnya,
memang tak jarang kepala desa yang menggunakan dana desa untuk kepentingan
individu. Berbagai modus ditempuh demi mengeruk banyak keuntungan dan
menjadikan kantong pribadi semakin tebal. Mereka terbukti melakukan korupsi
dengan sengaja menggelapkan uang. Besarnya dana yang diterima dari negara
ternyata tidak difungsikan untuk mengadakan atau memperbaiki sarana, fasilitas,
dan infrastruktur desa, melainkan malah dinikmati bersama oknum tak bertanggung
jawab lainnya. Mereka genap dibutakan oleh keadaan. Keserakahan membuat
berkecambahnya mentalitas korupsi dalam diri mereka.
Akan tetapi, banyak
pula yang terjebak oleh mekanisme dari atas (top-down).
Dalam kasus demikian, selain tak beritikad buruk, orang-orang yang tersandung
kasus korupsi juga kurang memahami pembelanjaan dana desa. Fenomena ini
menunjukkan bahwa kepala desa belum siap menerima, memanfaatkan, sekaligus
mengoptimalkan dana yang bersumber dari APBN tersebut.
Dalam diri mereka
selalu muncul kekhawatiran apabila terjadi penyalahgunaan yang berujung pada
jeruji besi. Akhirnya, mereka dimanfaatkan oleh berbagai oknum. Atas nama LSM
gadungan, sejumlah orang mengaku berniat membantu kepala desa. Namun, kepala
desa justru menjadi kambing hitam saat dana desa tidak dialirkan sesuai
pos-posnya, lantaran merekalah yang dianggap selaku pengambil kebijakan.
Tolok
Ukur
Di Indonesia, 40 persen
kepala desa berpendidikan terakhir sekolah dasar dan menengah pertama. Oleh
beberapa kalangan, faktor inilah yang dinilai sebagai salah satu penyebab belum
maksimalnya pengelolaan dana desa dan terjerumusnya kepala desa ke dalam
penjara sebab kasus korupsi. Mengenai pendidikan sebagai salah satu tolok ukur
terpenuhinya syarat kepemimpinan di tingkat lokal, sejak lama peraturan
perundang-undangan genap menggariskannya.
UU No. 19/1965
menetapkan bahwa kepala desa sekurang-kurangnya berpendidikan tamat sekolah dasar
atau sederajat. Baik UU No. 5/1979, peraturan pelaksana UU No. 22/1999
(Kepmendagri No. 64/1999 dan PP No. 76/2001), peraturan pelaksana UU No.
32/2004 (PP No.75/2005) ataupun UU No. 6/2014 menetapkan bahwa tingkat
pendidikan kepala desa sekurang-kurangnya sekolah menengah pertama atau
sederajat.
Dengan demikian,
dibanding undang-undang sebelumnya (UU No. 19/1965), standarisasi tingkat
pendidikan bagi kepala desa dalam No. 5/1979 menunjukkan peningkatan dari
sekolah dasar menjadi sekolah menengah pertama. Adapun mulai tahun 1979 hingga
sekarang, persyaratan kepala desa, terutama berkaitan dengan tingkat
pendidikan, bersifat stagnan. Berpendidikan tamat sekolah menengah pertama
menjadi persyaratan siapa saja yang ingin mencalonkan diri selaku kepala desa.
Boleh jadi, penetapan
tingkat pendidikan sebagai salah satu syarat seseorang menjadi kepala desa
bernuansa politis. Dengan menjadikan tingkat pendidikan kepala desa minimal
sekolah menengah umum, misalnya, banyak orang yang tidak mampu memenuhinya. Padahal,
dari tahun ke tahun, tingkat pendidikan orang desa selalu menujukkan
perkembangan yang menggembirakan. Bahkan, banyak remaja yang berasal dari
pedalaman menyandang gelar sarjana.
Mereka mampu
menyelesaikan studi di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Sebagian di
antaranya mengikuti kelas di kampus ternama dan menorehkan prestasi gemilang.
Prosentase orang-orang yang hanya lulus sekolah dasar juga merosot drastis.
Bahkan, rasanya tidak ada warga desa yang sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah.
Bilapun ada, prosentasenya sangat kecil. Orang desa menyadari bahwa pendidikan
sangat penting dalam upaya memperbaiki taraf hidup.
Perkembangan zaman
menutut kepala desa memiliki background
pendidikan yang memadai demi terwujudnya prinsip-prinsip good governance di desa. Latar belakang pendidikan menjadi salah
satu unsur legitimasi kekuasaan. Pendidikan merupakan sebagian sumber pengaruh
dan wibawa pemimpin desa. Bagaimanapun, saat memimpin warga, kepala desa
membutuhkan keduanya.
Seorang pemimpin desa
dengan pendidikan terakhir sekolah menengah pertama akan menemukan hambatan
ketika warganya adalah para lulusan perguruan tinggi, misalnya. Ia juga akan
kesulitan menjalin komunikasi dan mengeluarkan instruksi jika para pamong desa
terdiri dari orang-orang berpendidikan lebih tinggi darinya. Bagaimana mungkin
tamatan sekolah menengah pertama membawahi orang-orang dengan pendidikan
terakhir sekolah menengah umum atau perguruan tinggi.
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar