Sejumlah murid SDN 4
Randurejo, Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah, terpaksa belajar di dalam kelas
tanpa plafon. Empat ruangan sekolah yang dibangun sejak tahun 1976 tersebut terlihat
rusak parah dengan dinding rapuh dan genting bocor. Semangat anak-anak menuntut
ilmu sedikit terganggu lantaran gedung sekolah kerap dilanda banjir saat turun
hujan. Apa yang dialami oleh siswa dan siswi SDN 4 Randurejo menunjukkan
minimnya kepedulian pemerintah daerah setempat terhadap eksistensi lembaga
pendidikan, terutama di lingkungan akar rumput (grass root).
Fenomena di atas
mengingatkan publik terhadap “sekolah desa” pada masa kolonialisme Belanda yang
bercorak ambivalen dan kontradiktif. Lahirnya sekolah desa sebenarnya turut
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sekaligus menurunkan tingkat kebodohan
mereka. Akan tetapi, kehadirannya juga seolah menunjukkan bahwa kaum kolonial memiliki
pamrih dan sekadar ingin menampilkan citra positif di hadapan rakyat jajahan.
Pendidikan
Rakyat
Dahulu kala, usaha
mewujudkan pendidikan bagi rakyat jelata kerap mengalami hambatan. Tak heran
jika akses pengetahuan dan keilmuan bagi orang-orang kecil sangat sulit. Logika
kolonialisme menggariskan bahwa pihak yang kalah dalam perang mesti mengalami
penjajahan, termasuk dalam bidang pendidikan. Itulah mengapa, selain mengalami
penindasan fisik, orang-orang berstrata sosial rendah juga mengalami penindasan
moril dan psikologis. Dalam rangka mempertahankan status quo, penguasa kolonial gencar melakukan pembodohan sistemik.
Bermacam siasat
ditempuh supaya fasilitas pendidikan tidak dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Hanya mereka yang dekat dengan penguasa serta orang-orang kaya yang
bisa menikmati sarana pendidikan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan Belanda
yang mengagendakan “pembodohan massal” tampaknya mendapat tantangan dari
berbagai pihak. Itulah mengapa, wacana pendirian “sekolah kelas dua” bagi
golongan bawah sempat bergulir.
Pada tahun 1907, van
Heutsz berhasil memperoleh solusi atas permasalahan terdahulu. Sekolah-sekolah
desa (desascholen atau volksscholen) bakal dibuka. Meski
menerima suntikan berupa bantuan pemerintah seperlunya, sebagian besar biaya
lembaga pendidikan ini ditanggung oleh penduduk desa. Sebagaimana berbagai
perbaikan Etis lainnya, pemerintah menggariskan apa yang baik bagi rakyat
Indonesia sekaligus memutuskan jumlah yang harus mereka bayar. Di samping masa
studi tiga tahun, mata pelajarannya juga ditetapkan.
Sekolah-sekolah
tersebut membekali siswa dengan keterampilan dasar membaca, berhitung, serta
keterampilan praktis yang disampaikan melalui bahasa daerah. Ditentukan pula
pungutan uang sekolah. Wacana tentang sekolah desa ternyata kurang direspons
oleh desa-desa. Hal ini membuat pemerintah kolonial mulai menempuh perintah
halus, semacam “desakan lembut” dari atas sebagai ciri pendekatan pihak Belanda
dalam upaya mencapai kesejahteraan desa.
Buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008:
344) menyebutkan bahwa pada tahun 1912, ada 2.500 lebih sekolah desa yang telah
berdiri. Pada tahun 1930-an, terdapat kira-kira 9.600 sekolah dan lebih dari
40% anak-anak Indonesia berumur 6 hingga 9 tahun belajar di dalamnya selama
beberapa waktu. Mayoritas tergabung dalam sekolah-sekolah desa milik
pemerintah, meski dengan kondisi terpaksa.
Dalam rangka
meningkatkan jenjang pendidikan para murid, pada tahun 1915 didirikan Inlandsche Vervolgscholen, “sekolah
lanjutan pribumi”. Pada tahun 1908, Sekolah Kelas Dua bermetamorfosa menjadi Standaardscholen, “sekolah standar” yang
kemudian dikhususkan bagi mereka yang menggeluti perdagangan atau meninggalkan
kehidupan desa. Adapun sekolah desa diperuntukkan bagi orang-orang yang
bertahan dalam lingkungan desa.
Problematika
Sosial
Realitas historis di
atas menggambarkan bahwa diselenggarakannya sekolah desa bukan tanpa biaya.
Pada masa kekuasaan Belanda, tampaknya kebijakan pendidikan gratis cukup sulit
direalisasikan. Artinya, implementasi pendidikan bagi rakyat kecil senantiasa mengandalkan
uluran penduduk desa. Logika “balas budi” bagi pihak yang terjajah ternyata
masih menyisakan anomali.
Di satu sisi, lantaran
ingin membuka akses pendidikan bagi bangsa Indonesia secara merata, apa yang
diupayakan oleh pemerintah Belanda bernilai positif. Bagaimanapun, pendidikan
bukan hanya milik orang berstrata sosial tinggi, melainkan juga orang-orang
kecil dengan penderitaan luar biasa. Namun, di sisi lain, dampak negatif lebih
menonjol. Dalam praktiknya, kebaikan tersebut rupanya meniscayakan paksaan dan
intimidasi.
Lahirnya
sekolah-sekolah yang mengambil orang-orang kecil sebagai anak didiknya ternyata
tidak lantas mengatasi masalah-masalah sosial. Muncul ketimpangan antara orang
miskin yang berpendidikan ala kadarnya dengan orang kaya yang mampu mengakses
sekolah berkualitas lebih baik. Kesenjangan semakin terasa ketika ada pemilahan
antara sekolah golongan bawah, sekolah golongan menengah, dan sekolah golongan
elite.
Kebijakan pemerintah
kolonial tentang pendirian sekolah desa genap mengokohkan pondasi ditetapkannya
lapisan sosial yang kerap menimbulkan kecurigaan dan kebencian. Salah satunya, kaum
Tionghoa memiliki akses lebih mudah dalam bidang pendidikan. Orang-orang Cina
bisa tergabung dalam sekolah standar, yang secara teoritis dianggap sebagai
sekolah ‘golongan menengah’, yaitu lembaga pendidikan yang terletak antara
sekolah desa golongan bawah dan sekolah Kelas Satu golongan elite.
Namun demikian, ditinjau
dari sistem pendidikannya, sekolah-sekolah tersebut terbukti melenceng. Saat
muncul berbagai dampak depresi setelah tahun 1930, sekolah-sekolah tersebut akhirnya
bertransformasi menjadi sekolah-sekolah desa bersama dengan Vervolgscolen. (M.C. Ricklefs, 2008:
344-345).
Bojonegoro, 2018