Pemerintah Kota
(Pemkot) Makassar mengaku prihatin atas keberadaan seorang anak sekolah dasar
(SD) yang menjadi bandar narkoba. Keprihatinan ini muncul setelah tertangkapnya
anak berusia 14 tahun yang mengedarkan narkoba di Jalan Panampu, Lorong II,
kampung Gotong, Kecamatan Tallo.
Ia diamankan oleh
aparat kepolisian dengan barang bukti 1 sachet sabu siap pakai. Saat
diintrogasi, pelaku mengaku memperoleh barang haram tersebut dari rekannya yang
masih duduk di bangku SD. Atas kejadian ini, Pemkot Makassar meminta pihak sekolah
mengawasi anak didiknya secara lebih intens.
Adanya tuntutan
terhadap sekolah untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam menekan angka
kriminalitas memang beralasan. Selain menggali potensi, membuka cakrawala
pemikiran, meningkatkan kreativitas, serta menambah wawasan pengetahuan, sekolah
selama ini juga dipercaya menjadi sarana pembentuk kepribadian dan karakter siswa.
Sekolah dianggap sebagai tempat berkecambahnya nilai-nilai yang baik dan mulia.
Usai menerima pelajaran
dari bapak dan ibu guru, siswa diharapkan menunjukkan sopan santun, berperilaku
lembut, berakhlak terpuji, serta senantiasa menjunjung tinggi norma dan etika. Persepsi
ini pula yang dibentuk oleh publik terhadap sekolah-sekolah di wilayah
pedalaman. Bagaimanapun, tidak ada yang boleh menghalangi setiap generasi bangsa,
termasuk anak desa, untuk belajar, berprestasi, serta menggapai kemajuan.
Semangat
Anak Desa
Tingginya kepercayaan terhadap
anak desa pernah didengungkan oleh Yusuf Ismail puluhan tahun silam. Melalui
artikelnya bertajuk “Desa Menunggukan Tenaga dan Pimpinan”, ia berpandangan
bahwa meskipun pada waktu itu anak desa dihadapkan dengan minimnya tenaga
pengajar dan terbatasnya fasilitas sekolah, tetapi kemauan mereka untuk
menuntut ilmu sangatlah kuat.
Dalam tulisan yang
terbit pada majalah Pesat edisi
06-02-1952, ia mengatakan, “apakah tidak mungkin, bahwa kelak di belakang hari,
dari anak2 desa jang kini sedang beladjar atau sedang mendjadi gembala kerbau
atau kambing, dan anak2 desa jang sesudah lepas dari beladjar lalu pergi
kesawah ladang membantu orang tuanja bekerdja, akan mendjadi orang2 dan anggota
masjarakat jang berguna bagi masjarakat dan negara ? ? ?”.
Besarnya harapan bangsa
juga digantungkan pada pundak anak desa. Ia berkeyakinan bahwa mereka dapat mewujudkan
semua mimpinya. Dengan penuh keyakinan, Yusuf Ismail melontarkan pertanyaan
menohok, “apakah tidak mungkin dari kalangan anak2 desa jang sekian banjaknja
itu akan dapat djuga mendjadi menteri, mendjadi panglima besar, laksamana,
diplomat jang ulung, ahli fikir dsb ? ? ?”
Lubang
Kesengsaraan
Sayangnya, optimisme
terhadap anak desa seakan meluap ketika orang-orang di sekitar mereka kurang
memiliki perhatian dan kepedulian. Bahkan, dalam taraf tertentu, orang tua
justru turut membenamkan buah hati dalam lubang kesengsaraan. Dalam banyak
kasus, ulah orang tua menyebabkan anaknya menderita dan mengalami depresi akut.
Di negeri ini, rentetan
cerita muram tentang kekejaman orang tua terhadap anak seolah tiada habisnya. Kisah
pahit anak akibat ulah orang tua terbentang sejak dahulu kala. Sebagai misal, apa
yang telah diwartakan oleh Pesat. Edisi
14-03-1952 majalah ini mencatat bahwa kasus penjualan anak pernah ditemukan di
sejumlah daerah di Jawa Barat. Bayi baru beberapa bulan lahir dan gadis kecil berumur
12-13 tahun genap diperjualbelikan oleh ayah atau ibunya. Ironisnya, hasil
penjualan tersebut sekadar untuk memenuhi kebutuhan dapur. Bahkan, di kawasan Karawang
dan Bandung, sebagian anak ditukar dengan beras dua gantang (16 liter).
Sumber yang sama
menyebutkan, banyak gadis desa yang diselundupkan ke Singapura untuk dilepas
kepada tengkulak. Mayoritas dari mereka menjadi korban human trafficking lantaran seringkali dihantui dengan kelaparan, sehingga
terpaksa mengorbankan kehormatan dan keperawanannya untuk dilacurkan.
Dalam kondisi demikian,
penjatuhan sanksi pidana kerap merupakan siasat pemadam kebakaran yang kurang
menyentuh akar persoalan. Imbasnya, efektivitas pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama dalam kehidupan masyarakat, sangat
rendah. Denda, jeruji besi, serta diversi (bagi pelaku kriminal di bawah umur) boleh
jadi hanya menjadi solusi dan jawaban sementara atas menjamurnya kasus jual
beli narkoba, human trafficking, atau bermacam tindak pidana
lainnya dengan anak sebagai pelaku atau korbannya.
Pendidikan
Keluarga
Penilaian dan pemahaman
terhadap berbagai pelanggaran hukum tidak hanya ditinjau dengan “kaca mata
kuda”, melainkan juga mempertimbangkan realitas. Penghakiman atas setiap tindak
pidana bukan sekadar ditempuh dengan membaca teks peraturan perundang-undangan atau
tata aturan legal (legal authority)
lainnya, akan tetapi juga melihat konteks yang ada. Di sinilah pendekatan
sosiologi hukum menemukan urgensi dan relevansinya.
Menurut sosiologi hukum,
aksi kriminal yang menjadikan anak selaku subjek atau objeknya berkorelasi erat
dengan pendidikan keluarga. Orang tua harus selalu membimbing dan mengarahkan anak
dalam keseharian mereka. Orang tua dituntut meluangkan waktunya untuk mendampingi
buah hati, baik dalam merespons tuntutan zaman maupun menghindarkannya dari
jeratan kriminalitas.
Dalam konteks
perdesaan, ikhtiar mewujudkan cita-cita anak desa mesti diimbangi dengan
dorongan orang tua. Sehingga, hasrat dan semangat para guru untuk mendidik
siswa didukung penuh dengan peran keluarga. Kesibukan seseorang dalam bekerja
atau memenuhi kebutuhan hidup tidak lantas melupakan tanggung jawabnya selaku
orang tua. Keikutsertaan, keterlibatan, serta keaktifan pihak keluarga dalam
mendidik merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan anak pada masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar