Judul: ADONIS (Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam)
Judul Asli: al-Tsabit wa al-Mutahawwil
Penulis: Ali Ahmad Said (Adonis)
Penerjemah: Khoiron Nahdliyin
Tahun Terbit: 2012 (Edisi Khusus Komunitas)
Penerbit: LKiS
Tebal halaman: lxxxix + 403
Sepak terjang Adonis dalam menelusuri serpihan-serpihan tradisi Arab memang urung disangsikan. Berbekal pisau analisis yang rancap serta kepiawaian meracik kata-kata, ia mampu menghidangkan sebiji karya penuh ambisi: membingkai sejarah-pemikiran Arab-Islam. Guna menghasilkan torehan bernas serta amatan mendalam, tak ayal, semenjak menelaah tradisi Arab, ia secara khusus menanam perhatian terhadap persoalan ittiba’ dan ibtida’ atau yang lama (al-qidam) dan yang baru (al-hadatsah).
Dalam prakatanya terkuak bahwa, Adonis menerbitkan keputusan untuk mengungkung kajiannya pada abad-abad pencetak fase-fase formasi dan pendasaran (marahil at-ta’sis wa at-ta’shil), yaitu tiga abad hijriah pertama. Ia memilih figur-figur atau gerakan-gerakan yang dimufakati selaku patron yang genap menunaikan formatisasi sekaligus peletak fondasi, baik melalui pemikiran ataupun tindakan; teori maupun aksi.
Dalam penyusunan buku ini, bukanlah Adonis jika hendak berhajat menyisir kajian tentang berkecambahnya peradaban Islam, faktor-faktornya dan mekanisme interaksi antar faktor-faktor tersebut dengan basis materilnya. Perlu digarisbawahi bahwa, titik api kajiannya bertolak pada peradaban sebagai gejala yang berdiri sendiri, tanpa harus bersandar pada penyangga. Peradaban yang diterka membentuk, menopang serta meneguhkan diri sendiri dalam payung ruang dan massa. Sesuatu yang agak nekat, meski bukan mustahil jika dikerjakan dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Bidikan yang Komprehensif
Tokoh kontroversial yang rajin mengunyah tuduhan murtad, kafir, dan bahkan oleh Prof. Shalih Judat dijuluki “berhala kejahatan” ini mengupas begitu cermat seluruh aspek sejarah pemikiran Arab-Islam, mulai dari politik, sosial, ekonomi, filsafat, teologi, fiqih, sufi, hingga revolusi. Walaupun bisa dibilang masih lekat dengan pemaparan subyektif, namun apa yang diemban Adonis bukanlah subyektifitas yang asal-asalan. Beragam data dalam genggamannya benar-benar melewati penyortiran yang intens. Penyulaman selembar peristiwa terhadap peristiwa lainnya syarat dengan ketelitian. Dan, hasilnya adalah karya dengan interpretasi yang matang dan bersedia dicecar pertanggungjawaban.
Sebagai misal, penuturannya sekilas mengenai imamah atau kekhilafahan, yang menjelma motif perselisihan di kalangan kaum muslimin semenjak Nabi Muhammad meninggal. Fakta berceloteh bahwa Nabi Muhammad tidak mendaulat seorang pun di antara sahabatnya demi menduduki posisinya. Pun tidak meneguhkan sistem tertentu guna menggelar suksesi. Hal inilah yang pada akhirnya mengantar perselisihan semakin riuh. Beberapa kabilah berebut pengakuan. Masing-masing merasa paling berhak mewarisi otoritas memegang cempurit kepemimpinan. Apalagi, tak satupun ayat al-Qur’an membeberkan perihal sistem (kekuasaan) tertentu. Yang ada hanya sejumlah ayat penegas bahwa persoalan umat Islam semestinya dirampungkan melalui musyawarah, yang mencorakkan tawaran solutif dalam rangka mengkhatami kericuhan yang bergolak.
Khalifah pertama dibaiat dalam iklim silang pendapat yang membabibuta. Kendati demikian, ia sanggup menahkodai umat Islam dengan kewibawaan serta ketegasan yang tangkas. Setelah masa kekuasaan Abu Bakar berakhir, Umar bin Khathab didapuk menjadi khalifah selanjutnya. Naga-naganya, ketetapan tersebut lebih menekankan posisi nalar dalam hal kepemimpinan dan apapun yang terkait dengannya. Disisipkannya wacana bahwa prinsip seorang khalifah harus berpunca dari kelompok Quraisy turut memperlebar lubang perseteruan.
Adonis memindai salah satu praktik politik yang mendermakan keretakan dalam masyarakat Islam, dimana sebagai getahnya, menyembul pemberontakan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan. Keberatan masyarakat terhadap pengukuhannya sebagai khalifah memicu munculnya beberapa perbedaan di kalangan kelas penguasa dan rakyat. Jika ditelisik, keberatan tersebut berwujud dalam tujuh hal. Di antaranya karena pembatalan Utsman bin Affan atas hukuman cambuk kepada al-Walid bin Uqbah. Padahal, gubernurnya di Kufah itu menjalankan shalat bersama masyarakat dalam kondisi mabuk.
Tak luput pula gerakan irja’. Gerakan yang mengatakan bahwa sebenarnya penilaian negatif atau positif terhadap manusia dan dunia merupakan hak Allah, sehingga manusia dilarang melontarkan penilaian. Yang menjadi pijakan adalah keimanan atas keesaan Allah. Tidak diperkenankan menghukumi orang yang beriman akan keesaan-Nya sebagai kafir, betapa pun ia melakukan tindakan-tindakan dosa. Penilaian itu hanya dapat dilakukan oleh Allah semata. (Halaman 271)
Menyikapi hal tersebut, Van Flouten melempar pendapat. Menurutnya, irja’ berperan urgen dalam menghapus perdebatan mandul selingkar pengertian orang kafir dan mukmin. Selain itu juga melanting instruksi kepada masyarakat untuk senantiasa memperhatikan berbagai problematika kehidupan yang berhamburan.
Mencerap Fenomena Puisi dan Bahasa
Sebagai penyair besar Arab yang lahir paska Perang Dunia Kedua, rasanya ada yang kurang jika Adonis mencuaikan sesuatu yang paling diakrabinya, puisi. Oleh dasar itulah, tak ayal, jika dalam buah pena yang mulanya merupakan disertasinya pada program Sastra Timur di St. Yosef University Beirut ini, ia banyak mengulas ihwal puisi. Ini bisa dirunut dalam tiga sub-bab: Kemapanan dalam Puisi dan Kritik, pada Bagian Pertama (Akar Kemapanan), Gerakan Puitika, tercakup dalam Bagian Kedua (Akar Kreativitas atau Perubahan), serta Gerakan Kritik Puisi ash-Shuli dan al-Amidi, yang terkover dalam Bagian Ketiga (Dialektika antara Imitatif dan Kreatif). Bukan itu saja. Selain puisi, Adonis juga mengurai pertanda kebahasaan, yang berhasil terangkum dalam Dialektika Kemampanan dan Kreativitas dalam Gerakan Kebahasaan.
Di antara tinjauannya, Adonis menganggap bahwa puisi membagul fungsi baru. Fungsi yang sesungguhnya sudah disinggung al-Qur’an lalu dijelaskan oleh sabda Nabi Muhammad: “puisi tidak lain hanyalah suatu ujaran yang diciptakan. Oleh karena itu, puisi yang sejalan dengan kebenaran adalah baik, dan yang tidak sejalan dengan kebenaran tidak mengandung kebaikan”. Ini menunjukkan bahwa puisi seperti halnya ujaran; dinilai baik selama dipergunakan untuk memuji Allah dan menghina musuh-musuh-Nya, dan dikategorikan buruk jika berlaku sebaliknya. Dengan demikian, puisi melambangkan sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberikan kabar gembira (madh), atau mengkritik dan menyerang (hija’). (Halaman 178).
Sayangnya, dalam edisi terjemahan yang terpenggal menjadi empat volume ini, kesempurnaan (fisik) buku terpaksa dikorbankan. Pasalnya, mutu kertas yang di kolong standar ternyata kurang mendukung kualitas muatannya.
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar