Dalam disipilin sastra dan sejarah, perselisihan antara anak dengan sang ayah selalu menarik dan menggelitik untuk dijelmakan sebagai bahan kajian. Anak—dalam budaya Jawa—dituntut untuk berperilaku nurut dan manut serta menyesuaikan dengan hal-hal yang berada di lingkungan sekitar. Adapun ayah adalah seseorang yang bertugas melindungi buah hati dari hal-hal yang dapat mengganggu kondisi fisik sekaligus jiwanya. Namun, dalam beberapa kisah, tersebutlah pertentangan antara anak dengan ayah, baik dalam urusan remeh-temeh sekalipun, hingga yang berskala ‘besar’, semisal ideologi dan kepercayaan. Tak ayal, hal tersebut mengantar para pembaca untuk mengernyitkan dahi sambil menelurkan beragam pertanyaan di kepala.
Berdasarkan catatan Tia Meutiawati (2007), nyanyian-nyanyian Hildebrand (Hildebrandslied) merupakan satu-satunya warisan sastra rakyat Jerman dari abad ke-8. Ia mengisahkan sebagian dari Saga Dietrich. Hildebrand berasal dari nama Hildebrand, kepala persenjataan Dietrich von Bern (Raja Rakyat dari Verona).
Menurut saga ini, kepala persenjataan tersebut melarikan diri dari Odoaker ke Raja Bangsa Hunnen (Etzel). Beberapa tahun kemudian, Hildebrand yang meninggalkan seorang anak, datang kembali ke Italia.
Di perbatasan, ia dihampiri oleh seorang pahlawan yang melarangnya masuk ke negara itu. Sebelum timbul perkelahian, Hildebrand menanyakan nama lawannya. Katup mulut lawannya melempar jawaban, bahwa ia adalah Hadubrand, anak Hildebrand. Ketika Hildebrand mengaku ayahnya, Hadubrand enggan percaya; ia telah mengantongi kabar tentang kematian sang ayah. Lantas ia menuduh Hildebrand penipu dan pengecut.
Dalam benak Hildebrand timbullah pertentangan yang menggoyahkan perasaan. Di satu sisi, ia gembira karena bersua kembali dengan buah hati, namun di sisi lain harga dirinya merasa terancam akibat pernyataan anaknya tersebut. Dengan pedih hati ia pun bertarung melawan anaknya sendiri, hingga akhirnya dapat mengalahkan dan memaksanya untuk membenarkan, bahwa Hildebrand merupakan ayah kandungnya.
Pada usia kedua puluh sembilan, Siddharta meninggalkan istana ayahnya, Suddhodana. Padahal, sebentar lagi ia akan menggantikan kedudukan sang ayah sebagai penguasa. Kepergian Siddharta dari istana merupakan suatu hal yang aneh. Ia meninggalkan kekuasaan, justru tatkala kekuasaan itu sudah siap diraih.
Memang mula-mula, Siddharta meniti hidup sebagaimana layaknya putra raja; memperoleh kesenangan yang ia idamkan. Ayahnya senantiasa berusaha agar Siddharta tersingkir dari pemandangan kondisi masyarakat yang bergumul erat dengan penderitaan. Akan tetapi, tatkala tiga hari berturut-turut keluar dari istana, Siddharta menemukan tiga hal: seorang renta, orang sakit, dan jenazah yang ditangisi. Dan, pada hari keempat ia melihat seorang samana (pengembara) dengan jubah jingga dan kepala licin. Wajah samana tersebut menampilkan ketenangan yang mendalam. Semua penampakan ini meneguhkan keprihatinannya dan menghibahkan keteguhan untuk meninggalkan cara hidupnya yang serba mewah.
Kegelisahan Siddharta berlawanan dengan kegelisahan Suddodhana. Kegelisahan Siddharta merupakan kegelisahan karena gugatan sanubari yang tak puas memeriksa penderitaan dalam kehidupan serta berhasrat memburu jawaban. Kegelisahan Suddhodana merupakan kegelisahan guna melestarikan kekuasaan. Kegelisahan Siddharta adalah kegelisahan untuk bebas mencari kenyataan sejati, sedangkan kegelisahan Suddhodana adalah kegelisahan untuk mempertahankan mimpi, kalau perlu dengan menudungi penderitaan dengan merekayasa penghiburan. (A. Sudiarja, 2003: 9).
Penguasa negeri Pajajaran, Prabu Cilihawan, dirundung gelisah. Ia begitu khawatir terhadap pengaruh Ki Anjarwilis, yang kian hari kian membuntang. Atas dasar itulah, ia melempar titah kepada Patih Mangku Praja untuk mengajak Dewi Sumekar bertembung dengan Ki Anjarwilis. Berbekal bokor kencana—yang diletakkan di perutnya—Sang Dewi diminta berpura-pura hamil.
Celaka! Setiba di loka pertapaan, Dewi Sumekar menelan sabda Ki Anjar Wilis; ia benar-benar mengandung. Kemurkaan merayap di sekujur tubuh Prabu Cilihawan. Ia muntab, merasa terhina dengan ulah pendeta digdaya tersebut. Kembali ia memerintahkan Patih Mangku Praja. Ini kali, patih tersebut menerima tugas untuk mengakhiri hayat Ki Anjarwilis.
Kala Ki Ajar Wilis meregang nyawa, jasadnya raib, diiringi suara kutukan menggelegar, “kelak Dewi Sumekar melahirkan bayi laki-laki. Lewat tangannyalah akan terbalas kematiannya.”
Jangkap sembilan bulan, Dewi Sumekar menetaskan janin dari rahimnya. Malangnya, bayi tak berdosa itu dibuang ke sungai Kerawang. Saat berburu ikan, sepasang suami istri menemukannya. Karena keduanya bertemu dengan burung Ciung (semacam menco) dan Wanara (kera), maka bayi itu diberi nama ‘Ciung Wanara’.
Ciung Wanara ditumbuhbesarkan oleh seorang pandai besi. Inilah yang kemudian mengantarnya mahir membuat senjata tajam. Bahkan, ia sanggup membuatnya hanya dengan tangan.
Pada suatu hari, ia pergi ke kerajaan Pajajaran. Dengan kesaktiannya, ia memasukkan Prabu Cilihawan ke dalam tirai besi, menguncinya dari luar, lalu membakar ayah kandungnya tersebut. Dalam serejang, Ciung Wanara berhasil merebut tahta di Pajajaran dengan julukan Harya Banyak Wide. (Suwardi Endraswara, 2009: 193).
Saat bermain di tepi Sungai Nil, perempuan cantik bernetra cahaya menemukan sebuah peti tengah terapung-apung. Alangkah terkejutnya ia, kala mendapati peti tersebut berisi bayi yang masih merah dan lucu. Seketika, hati perempuan itu—yang merupakan permaisuri—terenyuh dan ingin sekali merawatnya. Apalagi, ia sudah sangat lama mendambakan seorang anak. Tanpa bertafakur panjang, jabang bayi digendong dan dibawa pulang. Setiba di istana, suaminya, sang raja, enggan menampung bayi itu dalam istana. Namun sebab desakan istrinya, dengan berat hati ia bersedia.
Sejak balita, si kecil sudah memperlihatkan perlawanan. Sering kali ia menarik jenggot tebal yang tumbuh riang di janggut sang raja. Merasa direndahkan, sang raja hendak melenyapkan nafas si kecil. Mengetahui hal itu, istrinya melarang seliat tenaga dan membujuknya.
Si kecil selamat dan hidup hingga dewasa. Ia paham bahwa apa yang dilakukan raja sudah kelewatan. Guna menundukkan kepongahan raja, ia menadah tantangan raja untuk beradu kekuatan. Di loka yang ditentukan, raja mengerahkan beberapa ahli sihir terkemuka. Para ahli sihir tersebut melempar potongan tali yang lantas beralih wujud menjadi ular-ular kecil. Raja pun terkesima. Namun, hanya sementara. Pandangannya tercekat ketika beberapa ular itu dilahap habis oleh seekor ular raksasa. Ular yang tak lain pun tak bukan merupakan persulihan rupa dari tongkat anaknya.
Bayi yang kemudian menjadi pemuda gagah perkasa itu adalah Musa, sedangkan raja—si lalim, congkak, bahkan mengaku sebagai Tuhan—adalah Fir’aun, yang khatamnya mati di tengah samudra kala mengejar Musa.
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar