Judul:
Kisah
Seekor Kupu-kupu
Penulis: Thoni Mukarrom I.A.
Terbit: Oktober 2012
Penerbit: Shell — Jagat
Tempurung, Padang
Tebal:
xii + 94 halaman
Harga:
Rp. 43.000,-
“Tuhan,
ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lain mengertikannya. Karena, kata orang,
dia adalah sumber segala-galanya”
(Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak
Langkah)
Pada awal-awal kepenulisan, cinta menjadi tema menarik bagi mereka yang ingin meluapkan imajinasi dalam karya fiksi. Cinta
menjadi pilihan utama guna menyumpal gairah beraksara dalam capaian estetika.
Bukan hanya karena setiap orang dibekali rasa cinta, namun juga terdapat khasiat
serta faedah bagi sesiapa yang berusaha mengabadikan cinta. Bagaimana tidak?
Dengan menuangkan cinta dalam bentuk karya, niscaya seseorang dapat memungut
remah-remah hakikat kehidupan. Pun, berbekal cinta, seseorang dapat
mendayagunakannya dalam membangunkan jiwa yang sedang terkantuk. Maka tak
heran, jika beberapa dasawarsa terakhir bertebaran buku puisi maupun prosa yang
memanfaatkan cinta sebagai kekuatannya. Dalam kapasitasnya, cinta dipercaya sebagai
nutrisi yang sanggup memupuk rasa kemanusiaan dalam diri manusia.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak mudah menggarap
tulisan dengan tema cinta. Tak jarang, penulis merasa kesulitan membabibuta manakala ingin merampungkan
karya beralur cinta. Seringkali ketika menambal-sulam anak ruhaninya—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—, seorang penulis harus berjibaku meredefinisikan cinta, supaya
tidak terjebak dalam idiom klise, jangkat, dan serba banal. Selain itu,
potongan-potongan metafora yang dihidangkan juga patut diperhatikan. Dalam hal
cerita khususnya, ungkapan-ungkapan yang berbaur-berkelindan dalam balutan kisah
tragis maupun melankolis, menjadi daya pemantik tersendiri dalam menggait
pembaca. Kekurangwaspadaan terhadap hal ini mudah mengakibatkan seseorang tersingkir
dari ‘arena persaingan’ karena mendapat stempel sebagai penulis abal-abal
dengan kulitas yang dangkal.
Akan tetapi, hal di atas mampu ditepis oleh Thoni Mukarrom (TM). Sebab menguasai
bahasa sebagai media ungkap, TM leluasa
menyajikan beberapa cerita syarat “pengalaman cinta” yang mengesankan sekaligus
menggetarkan, baik berasal dari diri sendiri, orang lain, atau bahkan
lingkungan—benda mati
ataupun hewan. Juga yang dipetik dari pohon imajinasi belaka. Bagaimanapun
ganjil dan absurd-nya, pengalaman cinta yang dibuhulkan dalam cerita tersebut
merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat. Tidak salah apabila Ignas Kleden
(dalam An Ismanto, 2012) menyatakan bahwa karya sastra bisa mencerminkan realitas sosial di sekelilingnya. Meskipun
demikian, karya sastra yang bisa dinikmati, tidak
harus mencerminkan realitas sosial di sekitarnya, baik secara langsung
maupun tidak.
Sebuah Ulasan Ringkas
Di
bawah ini disajikan ulasan ringkas atas buku kumpulan cerpen TM:
Cerpen “Yang Datang Malam Itu” menampakkan
gejolak cinta terlarang. Seorang lelaki
cukup umur berhasrat untuk kembali merajut ikatan dengan kekasihnya. Ingin sekali
ia mengulangi kenangan indah pada saat remaja. Padahal, ia genap memiliki anak
dan istri. Lelaki yang ditampilkan dengan sosok “aku” tersebut sangat
menderita, sebab tidak mampu menghapus rasa cinta kepada sang pujaan hati.
Cerpen ini menarik, karena dibuka dengan ungkapan yang tidak biasa, “malam itu ada malaikat maut datang bertamu,
lalu menuangkan minuman, kau meminumnya.” (halaman 19)
Adapun
cerpen “Kisah Seekor Kupu-kupu”—yang dijadikan judul buku ini—, menampilkan kisah memukau dengan tokoh utama seorang pengamen. Ia
mencintai seorang gadis dan berhasil menjalin hubungan asmara dengannya.
Celakanya, ayah sang pacar terbelit utang, sehingga rela memberikan anaknya
untuk diperistri orang lain. Gadis itu dijodohkan dengan pegawai pabrik. Akan
tetapi, si gadis menolak, karena lebih memilih seseorang yang meskipun
berkantong kering, namun mampu mengisi hatinya. Pasangan remaja yang memadu kasih
tersebut nekat mempertahankan ikatan yang telah mereka bina. Suatu waktu, si
gadis tiba-tiba menjelma kupu-kupu. Adapun pemetik gitar yang selalu
direndahkan dan dihina orang itu berniat merubah dirinya menjadi kupu-kupu,
agar cintanya selalu dapat bersatu dengan kekasihnya.
Cerpen
di atas merupakan dua di antara cerpen-cerpen yang disatukan dalam buku persembahan
TM untuk Kostra (Komunitas Sanggar Sastra). Dari ke-17 cerpen TM, semuanya
mengangkat cinta sebagai tema, kecuali cerpen bertajuk “Selamat Datang di Kota Kami” dan “Memanggil Bapak”. Akan tetapi, jika lebih teliti, cerpen-cerpen ini
juga boleh dikategorikan sebagai cerita bertema cinta.
Barang tentu dalam hal ini, yang dimaksud adalah cinta dalam
pengertian yang luas.
Cerpen
“Selamat Datang di Kota Kami”
menceritakan tentang tersesatnya backpacker
di kota antah berantah, yang tak pernah sekalipun disentuh hujan. Kota yang
ditinggalkan oleh para pemuda untuk melancong ke kota lain demi berburu
kehidupan yang lebih menjanjikan. Kota yang hanya dihuni oleh mereka yang ingin
bertahan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Cerpen ini
mengajarkan bagaimana cara merawat cinta pada tempat tumbuh-berkembangnya seseorang.
Dari sinilah, rasa cinta kepada tanah kelahiran ditularkan, semangat nasionalisme
diperjuangkan.
Begitu
juga dengan cerpen “Memanggil Bapak”.
Cerpen ini mengisahkan gadis kecil yang setengah mati merindukan sosok bapak
dalam kehidupannya. Malangnya, ia merasa kebingungan karena hampir setiap hari
ibunya menerima tamu laki-laki. Ia bingung, mana di antara mereka yang
benar-benar bapaknya. Sebagaimana ibunya yang tunasusila, sering ia mengalami
penderitaan batin karena menerima pelecehan seksual oleh teman-temannya sendiri.
Suatu hari, ia mencuri foto lelaki tampan dari dompet sang ibu. Mengira foto
itu adalah bapaknya, suka sekali ia memeluk dan berbicara dengannya. Anak
perempuan itu nekat mempertahankan haknya, meskipun dicap durhaka oleh ibunya.
Cerpen ini menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu, seorang anak memiliki
kecenderungan untuk mengungkapkan rasa cintanya dengan hal lain. Kedurhakaan
terhadap perempuan yang melahirkan merupakan keteguhan pendiriannya dalam
mempertahankan rasa cinta kepada bapak.
Tiga Ciri Penting
Setelah
mengamati karya TM, sedikitnya terdapat tiga ciri yang bisa digeneralisasikan sebagai
berikut:
Pertama, obsesi penulisan
cerita TM tidak terlalu peduli pada lokasi cerita dan kapan terjadinya. Dari sini
timbul kecurigaan bahwa cerita-cerita TM menunjuk lokasi antara ada dan tiada. Sebagai
misal, cerpen-cerpen “Ketika Cinta
Memilih”, “Makan Malam”, dan “SMS”
dikerjakan dengan menggunakan Tuban sebagai setting-nya,
walaupun tidak merujuk secara tersurat warna kongkrit Tuban sebagai ‘daerah
bidikan’. TM mencoba menyiasati pembaca dengan cara mengganti pantai Boom
dengan pantai Kenjeran di Surabaya atau Teleng Ria di Pacitan, dan jalur jalan
raya Pantura diganti dengan jalur tengah Surabaya-Bojonegoro-Blora atau jalur selatan
Surabaya-Madiun-Solo. (halaman vii)
Kedua, Proses
kreatif TM turut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai penyair. Apa pasal?
Cerita-cerita yang terlahir dari tangannya menghadirkan suasana puitik yang
pekat. Hal ini ditandai dengan kerapnya TM menggunakan diksi ‘puisi’ dalam
rangka menggenapi jalinan peristiwa dalam cerita. Misalnya pada cerpen “Kata yang Hilang” dan “Tiga Lelaki di Suatu Malam”.
Ketiga,
dalam merangkai cerita, TM gemar menggunakan sudut
pandang
orang pertama. Sosok ‘aku’,
‘saya’, atau ‘kami’ begitu kerap muncul dalam sejumlah ceritanya. Sebagai
contoh, ‘aku’ menjadi tokoh utama dalam cerpen “Tarian Naga”, “Lagu untuk Ibu”, serta “Cerita
untuk Cinta”. Sosok ‘saya’
ditemukan dalam cerpen “Darah”.
Sedangkan sosok ‘kami’ terdapat dalam cerpen “Nglindur Sandur”. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
usaha yang sungguh-sungguh dari TM untuk sebisanya mengakrabkan diri dengan cerita-ceritanya. Dengan
menempatkan orang pertama selaku tokoh sentral dalam pengisahan, diharapkan
timbul eratnya hubungan psikologis antara diri penulis dengan cerita yang
dilahirkan.
Buku
kumpulan cerpen yang dihasilkan oleh TM dalam kurun waktu dua tahun (2009-2011)
ini mengantongi dua kelemahan, yaitu: pertama,
merujuk Beni Setia dalam kata pengantarnya, pilihan TM pada rujukan karakter
guna menghidupkan tokoh cerita masih bersifat terbatas. Hal ini mengakibatkan
proses pengayaan wacana tersendat-sendat. Mengingat, keterbatasan ragam
karakter yang ditonjolkan dalam cerita menjadikan ‘proses bargaining’ antara penulis-pembaca semakin melemah. Kedua, kekurangtepatan dalam pemilihan font (bentuk huruf) dan ukuran, sehingga
mengakibatkan kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Seyogyanya, sebelum
diluncurkan ke khalayak, penerbit berunding secara intens dengan penulis. Meskipun
bersifat teknis, hal ini menjadi salah satu di antara penentu sukses tidaknya
peluncuran karya ke publik. Alangkah baiknya bagi penulis memeriksa terlebih
dahulu apakah karyanya sudah benar-benar siap diterbitkan. Karena bagaimana pun
juga, penyebarluasan buku selalu berhubungan dengan konsep marketing.