Vera adalah gadis
cantik jelita. Pipinya yang merah, bibirnya yang ranum, alisnya yang lentik,
seakan tiada pernah habis dijadikan bahan pembicaraan. Keindahan wajahnya
dielu-elukan hampir oleh semua orang. Tak terkecuali Bernados, Verhu, dan Pyett—para
ksatria gagah perkasa dari daratan Yomuh. Namun sayang, di balik keelokannya,
terbaring sebongkah keganjalan yang mengantar beberapa orang mengelus dada. Betapa
tidak. Di kawasan Tireh, satu-satunya perempuan yang gandrung berperang hanyalah
Vera. Ya, cuma ia seorang.
Bukan tanpa sebab, jika
Vera bersikap demikian. Dan pastilah mustamik lekas paham mengapa hal itu
terjadi. Tentu, tentu jika mustamik senantiasa mengekor warita ini dengan seksama.
***
Tatkala berusia lima
bulan, sang ayah tega menghanyutkan tubuh Vera di sungai Mer. Siang itu.. siang
bertudung mendung itu, Figon tengah disergap gamang. Sungguh, ia tak bisa lagi menunggui
Vera seharian. Tak mungkin pula ia menghibur anaknya dengan ulah lucu atau
berlagak bodoh, guna menyumpal air mata si bayi yang terus merembes. Ia butuh
kerja, demi sekadar mengganjal perutnya juga lambung anaknya. Sedang,
persediaan gandum di rumahnya genap amblas. Usai menimbang matang-matang,
akhirnya Figon mengetam keputusan. Ia ambil kain lusuh kepunyaan istrinya—yang tunai
meraib. Secarik kain itulah yang digunakan membalut orok Vera, sebelum
dimasukkan ke kotak mungil. Membekalinya dengan uang hasil mengutil dari
pedagang sayuran, ia berharap supaya buah hatinya ditemukan seseorang dan uang
itu dimanfaatkan guna meruncit makanan si bayi.
Kerepotan mengurus jabang
bayi menjadi dalih sang ayah untuk membuangnya. Maklum, sepinya harta mengantar
istrinya, ibu Vera, kabur dari rumah. Meninggalkan titisan di tapang. Meninggalkan
kewajiban sebagai induk sekaligus pedusi. Juga meninggalkan kenangan pahit bagi
suami.
Tatkala mandi bersama
dayang-dayang kerajaan, netra Birofa melihat sebuah bungkusan terapung di dekatnya.
Bukan hanya bungkusan, namun tergeletak sesuatu bergerak-gerak di dalamnya.
Benar. Ia bernyawa!
“Herbe, tolong bantu
aku mengambil benda itu.”
Bermodal sepotong kayu,
seorang dayang berselendang hijau mengarahkan bungkusan itu ke pinggir sungai. Birofa
terkejut bukan kepalang, Dan, tanpa tafakur panjang, ia memungut bayi montok yang
teronggok dalam bungkusan tersebut.
“Bayi yang hebat. Sama
sekali ia tak menangis.”
Gumam Birofa disertai
senyumnya yang menyeringai.
***
“Tapi, Sayang. Kau tahu
sendiri. Aku telah menitahkan semua prajurit untuk membunuh bayi perempuan yang
terlahir di negeri ini. Bagaimana jadinya bila mereka mengerti kalau kita
menyimpan bayi ini.”
“Kita sudah 9 tahun
belum dikaruniai keturunan.”
“Baiklah. Bila itu yang
kau mau. Kau harus berpikir bagaimana cara bayi itu tetap selamat hingga
dewasa. Atau aku sendiri yang akan melenyapkan nyawanya.”
Sejak itulah, Vera
tinggal di lingkungan kerajaan. Betul-betul ia diperlakukan Birofa layaknya
putri kandung sendiri. Begitu pun dengan Lorre, suaminya sekaligus penguasa
negeri Borh itu. Terpaksa ia membuntuti buah kalam istrinya. Meski sesungguhnya,
dalam hati kecilnya, ia sendiri lama merindukan momongan lucu nan cantik
semisal Vera.
Vera berkecambah
menjadi anak periang. Gelak tawanya gemar memecah udara istana, membuat raja
dan permaisuri turut bergembira. Dayang-dayang beserta keluarga istana lainnya
turut menghirup aroma kebahagiaan yang tengah berseliweran. Kesedihan mereka
pun terbang jika memandangi kegirangan yang hinggap di wajah Vera.
Patut disayangkan,
kegembiraan yang sibuk memenuhi ruang kerajaan dicampuri dengan sebiji
keheranan. Keheranan yang mengantar beberapa orang ingin menyelidik lebih
dalam. Benar. Wajah Vera yang cantik dan segar bak bunga mour yang baru mekar, menandakan
ia bukanlah makhluk Adam. Akan tetapi, mereka fakir keberanian untuk sekadar
memeriksa adakah pangeran sebenar-benar lelaki, ataukah berpura-pura menjelma
lelaki. Mereka hanya diam. Ah, persisnya, diam dengan seribu pertanyaan
bergelantungan di kepala. Seribu pertanyaan yang jika disembulkan bakal
mengancam keberadaan mereka di istana.
Serupa dengan anak
laki-laki lain seusia, Vera juga dilatih berperang kala tubuhnya memeluk usia keenam.
Ia dididik bagaimana cara menghembuskan biji panah ke sasaran dengan tepat. Dibimbing
kiat menunggang kuda dengan cepat. Diulurkan pelajaran tentang teknik melesatkan
pedang secara cermat, hingga musuh bakal memilih antara lari lintang-pukang
atau menggelepar dengan sekali tebas. Semua tanggung jawab itu dilimpahkan pada
Nineve.
Dengan langgam hidup serta
ragam didik semacam itulah, akhirnya Vera dibesarkan sebagai lelaki. Walau ia
sendiri rajin memautkan persamaan antara dirinya dengan ibunya, Birofa, atau
Herbe: pinggul lebar, dada membukit, dan butir jakun seukuran ibu jari. Saat
malam bertandang, ia rajin mematut-matutkan diri di depan cermin. “Tubuhku
perempuan. Tapi kenapa aku hidup seperti laki-laki.” Desisnya.
***
Kekhawatiran yang terbujur
di benak Lorre dan Birofa ternyata berburai juga. Tunai 12 tahun memeram
rahasia, pungkasnya mereka dedah. Keduanya tiada lagi bertahan dari serangan
bertubi-tubi yang meluncur dari katup mulut Vera.
“Anakku, Sayang.” Lorre
membuka percakapan. “Inilah waktunya kami memberitahukan keadaan sesungguhnya.”
“Maaf, jika selama ini
kami menutupi hal ini.” Imbuh Birofa dengan nada lirih.
Lorre menyambung, “Kau
tak salah jika selalu melempar pertanyaan kepada kami. Pertanyaan yang kami
tanggapi hanya dengan senyum. Atau, pada kali lain, coba kami alihkan begitu
saja. Pertanyaan yang kau lontarkan juga kepada semua orang yang ada di istana.
Namun, apa yang kau peroleh dari mereka? Tak ada, kan?”
Lorre menghela napas
dalam-dalam. Lalu melanjutkan kaulnya, “Vera, sayang. Mereka juga sama
denganmu. Sama dalam arti kerap mempertanyakan hal ini. Bedanya, kau bertanya
kepada kami. Sedang mereka takut melakukannya dan terpaksa bertanya kepada diri
sendiri. Barangkali kau bingung, kenapa bentuk fisikmu perempuan, namun bercitra
lelaki; bercelana panjang dengan sabuk hitam, bersepatu kermuri, memakai kemeja
dijalin rompi, serta bertopi lancip. Dan, jika kau tengok ke luar istana, kau
lebih tercengang lagi. Ya, Vera. Kau akan terheran-heran, mengapa anak-anak
seusiamu semuanya lelaki. Sama sekali tak kau dapati anak perempuan.”
“Maafkan kami, sayang.
Sebenarnya… sebenarnya.. hmmm….”
“Sebenarnya apa, Ayah?
Katakan!” Vera ingin segera memecah misteri.
“Sebenarnya kau
perempuan. Kau adalah keturunan Hawa, semisal ibumu, juga Herbe, yang sering
kau ajak bermain itu.”
Dengan tangis
membuncah, lidah Vera memekik, “Dan ayah… ayah… ayah baru mengatakannya
sekarang?”
“Dengarlah, Putriku
yang cantik. Ini semua demi kebaikanmu. Kebaikan ayah ibumu. Juga kebaikan
istana ini.”
“Dalam kitab ini..” Lorre
berkata seraya menampakkan kitab tebal bersampul usang, “disebutkan, jika berhasrat
mendaulat kerajaan ini sebagai istana terkuat, maka segenap anak laki-laki 6
tahun harus kulatih bertempur, agar tercipta pasukan militer yang handal,
tangguh, dan disegani. Selain itu…..”
“Selain itu apa, Ayah?”
“Selain itu, ayah patut
memusnahkan semua bayi perempuan selama 20 tahun.”
“Dan ayah melaksanakannya?”
“Ya, Sayang.”
Karena tergagap, Birofa
mengambil alih peran suaminya. “Kau ibu temukan di sungai Mer, Putriku. Sungai
yang sering kau kunjungi bersama Herbe dan dayang-dayang lainnya itu.”
“Kau sangat jahat,
Ayah.”
***
Setelah mengasah
senjata dan mencawiskan segala perlengkapan, pasukan Borh menuju padang Ximme. Di
sanalah mereka akan menghadapi kebengisan pasukan Reho dari utara. Vera didapuk
selaku panglima. Nineve percaya, anak didiknya mampu menjalankan tugas dengan
baik, meski ia harus terlebih dahulu berulang darab memohon baginda dan
permaisuri mengikhlaskan kepergian Vera turun ke mandala yuda. Sepuh berambut
uban itu menganggap bahwa inilah saatnya Vera menahbiskan diri sebagai bujang kebanggaan
raja.
Kini, di hadapan Vera, berdiri
ribuan prajurit Reho yang bernafsu menikam leher, memporakporandakan usus, atau
mencincang jantung pasukannya dengan pedang. Vera enggan gentar. Toh, anak
buahnya merupakan pasukan pilihan yang siap meluluhlantakkan musuh. Kalau
perlu, mereka hendak menghisap darah yang berhasil disemburkan dari tubuh-tubuh
lawan. Pikirnya.
Berdengking keras, Vera
meluncurkan aba-aba guna melancarkan penyerangan. Segenap pasukan Borh bergerak.
Mereka bersama-sama bergerak ke arah Vera. Bukan ke arah lawan. Vera tercekat,
dan melenguh: “Ada apa, ini?”.
Alangkah liarnya. Mereka
saling berebut untuk menjagal kepala Vera, mengupas kulitnya, memamah hatinya,
melumat daging dan tulangnya, merajang serata badannya. Ya. Mereka ingin memuntahkan
geram yang terlanjur beku dalam pikiran. Mereka berselera membayar dendam pada
raja, yang jangkap menumpas nyawa saudara-saudara mereka. Mereka berminat menuai
kesumat pada baginda, yang gigih memusnahkan perempuan; makhluk yang selayaknya
menjadi pendamping hidup dan penawar keluh kesah. Dan, semua itu hanya sanggup
terlunasi dengan cara menghabisi Vera. Seseorang yang tiada lain dan tiada
bukan adalah perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar