Kembali aku disergap
gamang, akankah aku memakai bokong yang baru saja dibelikan suami atau
membiarkannya di atas ranjang. Ah,
suamiku memang tipe orang yang up to date,
tak mau ketinggalan zaman, sehingga aku diajaknya untuk selalu mengikuti trend
yang sedang booming.
Terus terang, bokong
yang sedang kupakai ini tidak jelek-jelek amat. Justru para tetangga dan
ibu-ibu yang rutin kuajak merumpi terkagum-kagum dengan penampilanku beberapa
hari lalu. Saking kagumnya, mereka menanyakan di mana aku mengecer bokong yang
aduhai, berisi, dan ringan memancing para kaum adam untuk berlama-lama
memelototi. Aku pun menanggapi sekenanya, “wah, cuma di pasar loak kok.” Mereka
semua tertawa saat memungut jawabanku.
Hening. Kulihat bokong semok
itu teronggok seperti sampah. Usai menyambarnya dari supermarket, suamiku
langsung melemparkannya begitu saja di atas ranjang dan menyuruhku untuk segera
mengenakan.
Aku memandanginya
begitu lama. “Keren juga”, batinku. Anehnya, tiap kali tanganku akan meraihnya,
timbul pemberontakan kuat dalam hati. Jadilah aku hanya mengamati bokong itu
dengan tatapan gemas tanpa berani menyentuhnya.
Aku pun berpikir,
kenapa, kenapa aku harus selalu merawat penampilan dengan memanfaatkan sebongkah
bokong? Padahal, bokong asliku masih dalam keadaan baik-baik saja; padat, segar
dan energik. Perempuan berumur dua puluh tiga tahun sepertiku mana mungkin tampak
membosankan hanya gara-gara bokong yang usang. Kalian tahu? Akulah primadona
yang dulu menjadi bahan perbincangan sekaligus obyek rebutan lelaki-lelaki di
kampus. Juga bunga desa, hingga tak bosan-bosannya pak lurah berupaya melantikku
sebagai bini keempat.
Pertanyaanku
mengembang, masakah ukuran keindahan tubuh perempuan telah bergeser? Ya, dari
wajah ke bokong? Siapa pula yang berhak menentukan pergeseran itu? Adakah organisasi
internasional yang memiliki kewenangan menetapkan standar estetika perempuan? Dan,
apakah pergeseran yang dimaksud sebagai tanggapan atas sikap orang-orang lelaki
yang mulai muak dengan wajah perempuan? Wajah yang rajin dipoles, ditutupi
bedak tebal, dipermak dengan kosmetik yang luar biasa mahal, hingga dioperasi di
luar negeri, demi mendapatkan bentuk paling mutakhir serta meyakinkan?
Kalau ditelisik lebih
dalam, kemuakan para lelaki sebenarnya bukan pada perombakan wajah perempuan, melainkan
lebih karena menganggap kepercayaan diri selaku makhluk Tuhan sedikit demi
sedikit mulai tumbang. Parahnya lagi, mereka menilai bahwa mayoritas perempuan sudah
terjangkit virus kemunafikan. Benar. Perempuan yang ingin terlihat cantik,
nekat merendahkan harga diri dengan merubah penampilan. Padahal, itu sama saja
membohongi diri sendiri, membohongi keluarga, membohongi lingkungan. Pokoknya,
membohongi sesiapa yang mengira bahwa dirinya adalah cantik.
Dan, apakah aku juga
termasuk orang yang berbohong? Tapi, kalau boleh membela diri, aku berbohong demi
kepentingan suami. Berdosakah berbohong yang demikian ini? Ehmm….
Ya, sebagaimana yang
kalian pahami, selama ini aku hanya menurut apabila diperintahkan untuk
mengganti bokong yang melekat pada tubuhku.
“Cepat pakai! Ini
bokong terbaru yang belum beredar di pasaran.”
Begitulah suatu ketika
suamiku memberi instruksi.
Dan, sambil
menyunggingkan senyum aku pun menanggalkan bokong lama dan lekas menyalin
dengan bokong pemberian sang suami tercinta.
Awalnya, aku merasa,
mantan pacarku itu benar-benar menaruh perhatian padaku, sampai-sampai rela
menyisihkan gaji untuk sekadar membeli bokong. Bahkan, pernah ia menguras
dompetnya untuk memborong sepuluh bokong sekaligus, sebagai hadiah ulang
tahunku. Akan tetapi, kini, aku merasa bahwa aku ini istri yang diperlakukan
sedemikian buruk, karena acap dipaksa meluluskan hasrat suami. Kecurigaan
menghinggapi pikiran. Jangan-jangan, baginya, aku sudah tidak begitu menarik,
sehingga setiap kali akan keluar bersama ia menatap bokongku dengan sinis dan mendesis,
“bokongmu sudah waktunya diganti!”
***
Srintil, pembantuku,
adalah perempuan tujuh belas tahun yang merasa beruntung karena tanpa menghunus
biaya, ia bisa berganti-ganti bokong sesukanya. Begitulah. Setiap aku memakai
bokong baru, bokong lama kutinggalkan lalu kusimpan di gudang. Srintil
kuperbolehkan menggunakannya dengan syarat ia bersedia merawatnya.
Hitung-hitung itu pekerjaan tambahan, selepas ia menuntaskan kewajiban pokoknya
membersihkan seisi rumah, halaman, mencuci dan menyetrika baju, juga belanja
keperluan dapur.
Semangat Srintil selalu
meluap-luap tatkala tiba waktu belanja. Itu artinya, dua jam sebelumnya ia
sudah menentukan bokong mana yang hendak dibawa. Sebelum melanting catatan apa
saja yang perlu dibeli, terlebih dulu ia mematut-matutkan diri di muka cermin dengan
memegangi bokong yang dikenakan. Pantaskah? Kedodorankah? Terlalu kecilkah? Sanggup
membuat lelaki megap-megapkah? Ratusan bokong koleksiku sudah lebih baginya untuk
mengetam kata ‘puas’. Apalagi, terkadang suamiku diam-diam memotivasinya. Bagaimana
tidak. Anton menyarankan Srintil untuk sering-sering menukar bokong, agar ia
cepat dapat jodoh. Ada-ada saja!
Mendapat lampu hijau,
Srintil memanfaatkan keleluasaan yang dilimpahkan majikan. Bokong-bokong yang
pernah menghiasi tubuhku ia coba satu per satu. Mulanya, ia hanya memanfaatkan
bokong-bokong itu saat pergi ke supermarket. Lama-kelamaan, ia juga memakainya saat
mengepel, menyapu lantai, atau sekadar merendam baju di mesin cuci. Seakan-akan
kepercayaan dirinya bertambah ketika bokong-bokong bekasku lengket di pangkal
pahanya.
***
Masih saja kupandangi
bokong itu. Ya, bokong yang memicuku berpikir macam-macam. Padahal, sebelumnya,
dulu, tiada pikiran apa-apa sewaktu membongkar pasang daging kenyal dan padat
lemak itu. Saat sang suami menghadiahkan bokong, aku cuma perlu memakainya
sesegera mungkin. Titik.
Tapi, ini kali tidak. Aih, aih, aih… Ada rasa bersalah yang
sekonyong-konyong menebar ancaman. Martabatku sebagai perempuan seakan-akan luntur
jikalau aku nekat mengekor kemauan suami. Menyiasati kemolekan dengan aneka
rupa bokong, sama saja dengan mereka yang gemar tampil seronok dengan kosmetik
berlebihan. Dan, seperti halnya perempuan yang menggunakan wajah ‘palsu’, aku
pun sebetulnya telah mendustai diri sendiri. Juga, tentunya, bokong-bokong yang
selama ini menjadi penggenap performa. Bokong-bokong yang disalahgunakan demi
membuncitkan nafsu manusia.
Aku memejam seraya menarik
nafas dalam-dalam. Tak lupa pula memohon maaf kepada bokong-bokong yang genap
kusalahgunakan. Memohon maaf atas segala kesalahan yang nyatanya, memang
sengaja kulakukan.
Dalam rasa penyesalan
yang sangat, enggan aku membuka mata, jika saja tidak berseliweran suara
kencang dari luar, “Sandra! Sandra!”
***
Dalam hati terdalam,
aku agak kesal dengan perilaku Srintil yang kian hari kian mencemaskan.
Bagaimana tidak mencemaskan kalau dalam sehari, pagi dan sore, ia memakai dua
bokongku secara bergantian. “Wah, bisa rusak kalau caranya kayak gini.” Batinku
meraung.
Meskipun demikian, aku
berusaha meredam serta menutupi kekesalanku dengan berbasa-basi memuji bahwa ukuran
tubuhnya selalu pas dengan bokong-bokong yang kupunya. Dan, menyambut pujian
itu, Srintil malah tersenyum bangga.
Hingga kekesalan itu akhirnya
memuncak, pada suatu siang, aku hanya berani memuntahkannya dengan pura-pura
bertanya, “kok makin semangat pakai barang bekas?”
“Iya, Ndoro. Srintil
kan pengen cepet dapat suami. Jadi, pakainya harus lebih rajin.”
Aaarrrghh!
Andaikan emosiku tidak sanggup lagi kubendung, pasti sudah kuratakan hidungnya
dengan tonjokan paling telak.
***
Duduk bersilang kaki di
atas kursi, aku melirik ke arah bokong seksi itu. Bokong yang, sepertinya memiliki
keserupaan dengan bokong Angelina Jolie, Scarlett Johansson, atau Kristen
Stewart. Bukan, bukan. Barangkali ia lebih mirip dengan bokong Kelly Hu atau Song
Hye Kyo. Dalam hati mungilku, sesungguhnya aku terpesona dengan apa yang
dibawakan oleh suami. Ya, ya, berbicara kualitas, pastilah bokong satu ini
berada beberapa tingkat di atas bokong-bokong sebelumnya. Satu lagi, lebih
mahal pula harganya.
Maklumlah. Hari ini
adalah hari di mana suamiku akan bertemu dengan bos-bos yang, dua bulan lalu
menyanggupi untuk memodalinya dalam bisnis besar di Hongkong. Dari dulu, Anton
selalu tahu apa dan bagaimana kebutuhan pasar. Itulah mengapa, ia kerap dipercaya
memegang kendali sejumlah bisnis beromzet milyaran. Mulai dari pergadaian
wajah, persewaan payudara hingga penukaran leher perempuan. Dan, kini, ia bermaksud
mencoba bisnis baru; menjual bokong di negeri orang.
Benar. Dugaan kalian
memang benar. Ia menyuruhku memakai bokong ini adalah dalam rangka meyakinkan
para pemodal. Ah, apa? Berarti aku cuma
dijadikan alat supaya orang-orang menyebalkan itu mau mengulurkan bantuan?
Dasar!
“Ayolah Sandra! Ini
sudah jam Sembilan. Cepatlah sedikit!”
Menangkap seruan suami,
pikiranku buyar.
***
Tiada pembantu paling mujur
selain Srintil. Tepat di hari pengabdiannya kesembilanpuluh di rumahku, ia
memperoleh apa yang dari dulu dibayangkan; suami.
***
Sebab terlalu lama
menunggu di ruang tamu, suamiku memilih mengajak Srintil yang hari itu berparas
cantik, montok, dengan bokong yang benar-benar menggiurkan. Lelaki manapun akan
terpincut melihatnya. Bahkan, dibanding diriku, suamiku yakin bahwa Srintil
lebih cocok menemaninya menemui orang-orang dungu itu. Ya, orang-orang yang
rela mengeluarkan uang demi mengeruk keuntungan dari bokong perempuan itu.
Seusai menimbang agak
panjang, aku memutuskan untuk tidak menjamah bokong yang dari tadi membuatku
gusar. Lebih dari itu, aku pun melepas bokongku sendiri sebagai bentuk
pelampiasan.
Aku keluar dari kamar tanpa
bokong. Mengetahui Srintil yang berjalan, mengapit mesra lengan Anton, aku berteriak
lantang, “hei, ia suamiku!”
Srintil dan suamiku,
keduanya menoleh dan serentak berujar, “haaaa….. hantuuuu!”
Yogyakarta, 2012