Di negara kita tercinta, mudah sekali kata-kata asing menyelundup. Entah itu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Latin, Sanskerta, ataupun bahasa lainnya. Dengan kekuatan yang dimiliki, bahasa-bahasa tersebut mencoba sekuat tenaga untuk bertahan dari berbagai macam penyakit, serangan, serta ancaman, agar senantiasa hidup dan terhindar dari bau kematian. Lebih dari itu, dalam perjalanannya, bahasa-bahasa tersebut mengantongi nafsu kolonialisme yang terselip dalam setiap derap langkah dan dengus nafas yang menyertai. Jadilah bahasa kita bahasa yang cukup mengundang selera dan begitu menggoda untuk dijadikan mangsa, karena terlalu lugu, ramah dan cenderung kurang waspada.
Sebagai orang yang saban hari berkecimpung di masjid, saya terpancing untuk menyikapi fenomena menjamurnya bahasa Indonesia yang berawal mula dari bahasa Arab. Saya melihat banyak sekali bahasa Indonesia, terutama yang menyangkut dengan ritual-peribadatan, merupakan jelmaan dari bahasa Arab. Seperti halnya azan, ikamah, salat, rukuk, sujud, saf, imam, makmum, dan masjid. Juga itikaf, mimbar, khatib, dan khotbah, yang lebih sering saya temukan pada hari Jumat.
Awalnya, saya berprasangka baik kepada para pakar bahasa yang bertugas menyortir bahasa dari luar. Tentu terdapat sejumlah alasan mengapa satu bahasa ditampung tanpa perlu dirubah sedikitpun, sedangkan yang lain harus ditelanjangi terlebih dahulu baru kemudian dialihrupakan dengan menerjemahkannya mati-matian. (Alasan lapuk yang kerap menjadi ‘kambing hitam’ dalam masalah ini yaitu sulitnya mencari padanan bahasa asing dalam bahasa Indonesia). Namun, akhir-akhir ini saya semakin ragu dengan asumsi yang telah lama saya pegang. Saya mulai curiga, kok begitu mudahnya mereka dikelabui bahasa Arab, sehingga akhirnya diterima di negara yang menjunjung tinggi keadiluhungan bahasa sendiri. Padahal, sesudah bahasa Arab berhasil menjadi ‘warga baru’—meskipun umpamanya secara ilegal, akan berbondong-bondonglah komplotannya untuk turut serta mengadu nasib. Parahnya, dengan jumlah teman yang cukup banyak, disertai sarana yang memadai, bahasa Arab dapat dengan leluasa mendirikan benteng-benteng pertahanan, merancang strategi, melakukan negosiasi, untuk selanjutnya mengusir bahasa Indonesia dari rumahnya sendiri.
Kecurigaan yang saya maksud—semoga saja tidak benar—yaitu tertularnya para pakar bahasa dengan ‘kesesatan’ yang tengah melanda para muslim Indonesia dalam menempatkan bahasa Indonesia. Hal ini mengakibatkan timbulnya kesalahkaprahan yang bila dibiarkan bisa menjadi kewajaran, kemakluman, bahkan kebenaran semata.
Baiklah. Agar tidak berbelit-belit, di bawah ini saya sebutkan di antara beberapa gejala yang mendorong timbulnya kecurigaan saya di atas.
Pertama, menyebarnya virus arabisasi ke sebagian besar negara berpenduduk muslim. Arabisasi tampaknya tidak hanya berwujud pengadopsian cara berpenampilan atau berbusana orang Arab, melainkan juga berupa peniruan bahasa mereka untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah para muslim, selain jubah dan cadar, mereka juga menggunakan kata ‘ajib guna menunjukkan arti wah atau luar biasa, ataupun khair untuk menunjukkan arti bagus.
Kedua, merebaknya desakralisasi bahasa Arab. Sebagian orang Islam meyakini bahwa bahasa Arab mengandung kesakralan dan kesucian yang harus selalu dijaga. Dalam pandangan mereka, pemeliharaan terhadap bahasa Arab sebagai ‘aset agama’ merupakan kebajikan yang mendermakan pahala berlipat. Sebaliknya, penelantaran terhadapnya merupakan keburukan yang ringan membuahkan dosa. Sampai-sampai pernah suatu ketika seorang muslim menemukan lembaran bertuliskan kalimat Arab. Ia menganggap bahwa apa yang ditemukkannya itu Al-Qur’an. Nyatanya, hanya kertas biasa dengan huruf-huruf Arab di atasnya. Ada juga yang dengan bangga menyimak penyanyi wanita Timur Tengah sedang melantunkan lagu berbahasa Arab, dengan meliuk-liukkan tubuh serta membuka auratnya. Padahal, lagu tersebut bermuatan hal-hal tabu dan porno. Tambahan lagi, cemoohan atau kata-kata keji bisa juga dilampiaskan dengan bahasa Arab!
Ketiga, citra bahasa Arab sebagai bahasa Islam kian menguat. Hal ini tidak terlepas dari sejarah turunnya Nabi Muhammad, pembawa ajaran Islam, di suatu bangsa yang memakai bahasa Arab sebagai alat komunikasinya. Sebagian orang Islam berpendapat bahwa berbicara dengan bahasa Arab dinilai lebih religius ketimbang dengan bahasa lainnya. Sebagai misal, orang lebih percaya diri jika menyebut hari Ahad daripada Minggu. Seakan-akan, dengan menggunakan Ahad, nuansa keislamannya lebih kental. Padahal, tidak sama sekali.
Jika gejala-gejala tersebut tidak segera diatasi, saya khawatir bahasa Arab akan semakin berkuasa dan memperlihatkan kebengisannya. Jangan-jangan kata khotbah yang kini hanya dipakai untuk menyebut khotbah Jum’at, khotbah Idul Fitri, khotbah Idul Adha, maupun khotbah pada saat-saat tertentu, mengalami perluasan makna, sehingga lama kelamaan menggantikan kata ceramah atau pidato.
Itulah kecurigaan-kecurigaan yang tanpa malu juga saya paparkan dengan mencomot sejumlah bahasa asing, terutama bahasa Arab. Soalnya, saya terlanjur sering mendengarnya di masjid.
Meskipun merasa nyaman dan tenteram sebab berada di masjid, rumah Tuhan, hingga sekarang hati saya belum sepenuhnya tenang. Pasalnya, profesi saya sendiri, takmir, ternyata selundupan dari Arab. Astagfirullah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar