Judul:
Masque of the Red Death
Penulis:
Bethany Griffin
Penerjemah:
Yudith Listiandri
Penerbit:
Mizan Fantasi (Bentang Pustaka)
Terbit:
Januari 2013
Tebal:
400 halaman
Harga:
Rp 54.000
ISBN:
978-979-433-757-8
Masque
of the Red Death merupakan karya fiksi yang berusaha
menggabungkan antara dua kekuatan: klasik dan modern. Bethany Griffin berhasil
menyajikan karya langka dengan modal ikhtiarnya dalam merangkai imajinasi serta
capaian intuisi yang asyik dan menghentak. Novel fantasi ini tidak terjebak
pada problematika dan idiom-idiom klise yang ditawarkan oleh karya-karya serupa.
Dia mengajak pembaca untuk bersama-sama mengatasi persoalan yang membelit tokoh
utama tanpa menggurui.
Novel terinspirasi Edgar
Allan Poe dalam The Masque of the Red
Death. Guna mengekalkan kecintaan penulis terhadap kebesaran pengarang
favoritnya itu, maka judul novelnya pun dibuat hampir mirip dengan pendahulunya
dengan menghilangkan the di depannya.
Jadilah Masque of the Red Death.
Kisahnya dibuka dengan
peristiwa mengejutkan. Berawal dari wabah yang menyebabkan banyak kematian,
maka diciptakanlah masker (topeng), untuk menyelamatkan masyarakat. Sayangnya,
penutup muka berbahan keramik ini harganya selangit, sehingga yang dapat
membeli hanya orang kayat. Masyarakat miskin tak mungkin memilikinya.
Dengan kondisi demikian,
lahirlah ketimpangan-ketimpangan sosial. Para pemakai masker bisa menjalankan
aktifitas sesuka hati. Mereka yang tidak mengenakannya hanya mampu mengurung
diri di rumah, demi menghindari wabah.
Mahalnya harga masker
menimbulkan banyak protes dari orang-orang miskin. Mereka menginginkan agar
nilai nominal pelindung lubang hidung dan mulut tersebut diturunkan. Dr. Worth,
perancangnya, terkena imbas. Dia dianggap telah melakukan konspirasi, sehingga hanya
orang-orang kayalah yang leluasa berkeliaran ke sana kemari tanpa ada
kekhawatiran sedikit pun.
Padahal, dengan
merancang alat penyaring virus berbahaya tersebut, Woth ingin mengabdikan diri
untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Tingginya harga masker di luar
tanggung jawabnya. Pemilik pabrik pembuat maskerlah penentunya.
Novel dibagi ke dalam
27 babak dengan tokoh utama Araby. Gadis yang setiap hari bermukim di katedral
dengan pengawalan ketat tersebut berduka dan kerap bertanya dalam hati, mengapa
ayahnya, Worth, menanggung beban berat dalam hidupnya. Padahal, seharusnya atas
jasa-jasanya, dia memetik penghargaan dan sanjungan. Bukannya malah dicacimaki.
Problem-problem
psikologis menghinggapi Araby. Dia begitu tertekan karena ingatan tentang
kematian Finn, kakaknya. Tambah lagi dengan bayangan penderitaan anak-anak
kecil yang sangat rentan tertular penyakit mematikan. Kepedulian terhadap
mereka yang didera musibah, di antaranya dibuktikan dengan memberikan masker
kepada Henry, bocah yatim piatu yang tidak bersekolah hanya gara-gara tak punya
masker. Dengan rela hati, Araby berkata kepada kakak bocah kecil tersebut, “aku
punya sebuah masker untuk Henry, aku membawakannya untukmu.” (hal. 245)
Berlawanan dengan suara
nurani Araby, tokoh kaya raya Prince Prospero malah memanfaatkan situasi. Bermodal
kekuatan dan kekayaan, dia berupaya menguasai keadaan dengan mengumpulkan massa
sebanyak-banyaknya untuk diperalat. Dia ingin Woth bergabung dengannya. Tetapi,
Woth memilih selalu menjauhkan diri dari jangkauan Prospero. Woth lalu tinggal
di sebuah tempat dan melakukan berbagai eksperimen.
Guna mengurangi beban
penderitaan orang-orang kurang beruntung, suatu hari Araby nekat mencuri
rancangan dan sketsa yang dibuat oleh ayahnya lalu menyerahkannya kepada
Elliot, yang menabung hasrat mendirikan pabrik pembuatan masker, tapi tak berhasil.
Novel yang lahir setelah
penulisnya merampungkan karya Handcuffs
ini kian menarik dengan persoalan cinta yang dihadapi Araby. Dia sangat terpesona
dengan William, tapi juga tertarik pada Elliot. Sialnya, bukannya memetik balasan
terhadap kebaikan-kebaikan yang ditunaikan, dia malah mendapat pengkhianatan.
Tanpa rasa menyesal, William menyerahkan Araby kepada mereka yang membenci Dr.
Woth, dengan berkata, “aku membawanya ke sini, seperti yang pernah kujanjikan.”
(hal. 337)
Di akhir kisah, Araby
mampu melepaskan diri dari bermacam-macam jeratan. Menaiki kapal bersama
Elliot, dia meninggalkan kota yang penuh virus, demi menemui kehidupan baru
yang lebih menjanjikan. Dia tahu, dengan pilihan tersebut, kesempatan untuk bersua
kembali dengan ibu dan ayahnya sangatlah kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar