Baiknya, kuperkenalkan
kau kepada seseorang yang sangat penting dalam hidupmu, sebelum ajal
benar-benar hinggap di tengkuk.
Meski uban belum
menghuni kepalamu yang subur, meski garis-garis keriput belum merayapi kulitmu
yang lindap, meski rabun dan pikun belum mengendap di mata dan pikiranmu, meski
batuk disertai darah hitam-kental belum muncrat dari mulutmu yang kerap bersumpah
serapah itu, kusarankan agar kau mengenalnya terlebih dahulu.
Ya, kau tak akan merugi
jika mulai sekarang nama, pekerjaan serta alamat orang ini genap menempel di
otakmu. Syukur-syukur termasuk juga nomor HP-nya. Toh, cuma perlu secuil tempat
untuk menancapkannya di bagian sudut hard
disk kiriman Tuhan itu, jika dibanding dengan jumlah utang perusahaanmu,
atau barang-barang permintaan istrimu ketika ulang tahunnya ketigapuluh dua,
atau berpuluh nama gadis simpanan yang mesti kau hafal satu persatu di luar
kepala—agar tak tertukar di antara mereka, atau bahkan dengan ibu dari
anak-anakmu. Itu artinya, kau melakukan hal yang berarti bagi perjalanan
hidupmu: menyiapkan kematian jauh-jauh hari. Hingga, ketika bosan bertahan di
dunia, kau bisa menghubunginya dengan menelepon atau sekadar mengirim SMS. Dan,
ia akan datang dengan segera; dengan baju compang-camping, rambut awut-awutan,
dan wajah yang boleh dikatakan lebih mirip setan ketimbang manusia. Tapi….
Tapi apa?
Barangkali kau akan
melotot sambil melongo, terheran-heran, saat mengetahui bahwa siapapun
pengundang orang ini, orang yang kusembunyikan namanya dari tadi, malah
bergembira. Bergembira dengan gigi-gigi berjongkok diam, gemetaran, sebab
menahan biji tawa supaya enggan lepas dari sarangnya. Bergembira lantaran salah
satu keluarganya akan mati tenang serta dalam keadaan jauh dari nestapa.
Bergembira karena harta warisan bakal dibagi secara serampangan, tanpa menaruh
khawatir jika arwah si pewaris bakal gentayangan.
Baiklah. Daripada
kelamaan merahasiakannya, buka lebar-lebar dua telingamu! Akan kusingkap
kedoknya. Bukan terlalu capai berbasa-basi denganmu, namun lebih karena aku
melanting kasihan melihat alismu berulang kali berjingkat, sesetel matamu
berkilat-kilat, memendam pertanyaan siapa sebenarnya orang yang kumaksud.
Mudrik. Namanya Mudrik.
Kasim Mudrik lengkapnya. Eit, simpanlah
pertanyaanmu, jika kau berhasrat bertanya asal-usulnya. Sebab, tak seorang pun
mengetahui. Tak seorang pun mengetahui jika ia, entah dilahirkan oleh dan di
batu, oleh dan di air, oleh dan di udara, atau oleh dan di api. Emmm…. Tapi, kupikir ia tidak semisterius
itu. Ah, peduli apa aku, juga kau,
dengan siapa dirinya sebenarnya. Karena yang terpenting darinya bukanlah siapa
ibunya, dari mana ia berasal, atau bahkan namanya sekalipun.
Jadi, maksudmu?
Yang terpenting dari
orang ini adalah track-record-nya. Semua
orang yang ingin bahagia hingga di kehidupan kedua, termasuk kau, maka wajib
mendengar penuturanku tentang dirinya. Agar secepatnya kau mencatatnya sebagai
orang yang teramat istimewa bagimu, melebihi lainnya, bahkan istri atau anakmu.
Juga uang tabungan di luar negeri, di mana tiada seorang pun mengendusnya,
kecuali dirimu sendiri.
Mudrik. Kau tahu? Ia
hanyalah pengantar mayat. Ia datang ke rumah duka untuk menggerung-gerung sambil
mencakar-cakar lantai di samping mayat yang baru saja meninggal. Ia akan
memilih mendekat—sedekat-dekatnya—ke mayat. Lantas dengan suara yang menyayat,
ia menangis sejadi-jadinya. Siapapun mendengar tangisannya, tentu akan turut serta
mengalirkan air mata. Tak jarang, sebagian di antara mereka akan memekik,
menjerit dengan suara pilu membabibuta; mengabarkan kesedihan kepada alam semesta.
Ia akan terus menangis sampai
seluruh keluarga si mayat berkumpul, untuk kemudian bersama-sama mengantarkan
ke rumah abadi. Dan, enggan ia menghapus ratapannya kecuali jika anak pertama si
mayat sudah berada di dekatnya. Jadi, jikalau selama bertahun-tahun, anak
pertama si mayat belum juga muncul, maka lelaki dengan sorot pandang tajam dan
cambang yang lecek itu akan tetap menangis. Menangis dengan suara menggelegar,
mirip petir buncit waktu menyambar pohon beringin di tengah alun-alun kota
hingga tumbang. Kalau itu terjadi, maka pasti ia memerintahkan agar penguburan
mayat ditunda, hingga seorang yang dinanti-nanti betul-betul nampak batang
pantatnya.
Bukan tanpa alasan jika
Mudrik berbuat demikian. Menurutnya, anak pertama merupakan pewaris sekaligus
penerus cita-cita orang tua. Anak pertama memanggul tanggung jawab berat untuk
melanjutkan perjuangan ayah-bunda. Anak pertama dilahirkan guna memimpin dan
mengarahkan adik-adiknya. Anak pertama ditumbuh-besarkan demi mengharumkan nama
keluarga. Itulah mengapa Mudrik berkecek, seorang ayah atau ibu yang meninggal
dan dikubur tanpa diantar oleh anak pertama, maka mustahil keduanya bisa merasa
nyaman dan tenang di alam baka.
O, ya, dari tadi belum
kujelaskan mengapa para pengundang Mudrik bisa begitu gembira dengan kehadiran sosok
mengerikan sekaligus menyenangkan itu. Dan, inilah yang perlu kau camkan! Ia,
Mudrik, lelaki dengan tindik di pusarnya itu, selain meratap dan mengantar mayat
sampai kuburan, di tengah perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir tersebut,
ia juga bertugas menyebarkan guntingan kertas-kertas mungil berwarna hijau
muda. Di kertas itulah terpahat kalimat ringkas, menggambarkan keadaan lahir
atau batin si mayat, yang ia baca keras-keras dengan sesekali mendongak ke atas.
Sebelum membuntuti
mayat menuju loka baru, ia akan menuliskan satu atau dua baris kalimat guna
menerangkan profil mayat yang sedang diiringi. Barang tentu dalam menuliskan
kalimat tersebut, ia mengekor saja kepada pemesan. Apabila pemesan mengharapkan
agar si mayat dikenang mulia dan luhur budi, maka Mudrik, misalnya, akan
mengguratkan pena, menggoreskan kata-kata: “inilah orang yang ketika hidupnya selalu
berbuat kebajikan, menolong yang lemah, giat mendermakan harta kepada para
janda”. Pun sebaliknya, jika mungkin ada seorang anak bernafsu supaya sang ayah
dinilai oleh tetangga dan kolega sebagai dursila, maka Mudrik dengan ringan
tangan akan menulis demikian: “inilah orang yang rajin berbuat nista, doyan
mengelabui manusia, bertindak culas hingga akhir hayatnya.”
Guntingan kertas-kertas
mungil yang ditulisi dan dirapal berulang kali sebelum sampai di kuburan tersebut,
masih kata Mudrik, merupakan kesaksian bagi si mayat. Kesaksian apakah ketika
tinggal di dunia, seseorang berperan selaku pahlawan atau penjahat, berperangai
baik atau gemar maksiat, berkalung martabat atau bosan dihujat. Kesaksian itu
menjadi catatan terakhir bagi malaikat sebelum dilaporkan kepada Sang Pencipta
Kodrat. Entah berdasar kitab apa, pokoknya Mudrik meyakini bahwa dengan kesaksian
itulah, bisa diterka adakah seseorang yang meninggal mengalami kebahagiaan yang
sangat atau mengunyah penderitaan berlarat-larat.
Tergantung pemesan?
Tergantung pemesan.
Kalimat apapun yang diinginkan pemesan pasti akan ditulis oleh Mudrik. Tak
ayal, jika akhir-akhir ini berbondong-bondonglah orang memanfaatkan jasanya. Sebut
saja Lumoto, anggota DPR yang sudah dua kali menjabat dan sedang terbelit kasus
korupsi. Nekat ia menguras kantongnya, demi menghendaki supaya kertasnya kelak
berbunyi: “inilah anggota dewan yang bijak dan suka membela hak-hak rakyat”.
Atau Karidmah, mantan artis yang tersandung kasus pembunuhan terhadap ulama tersohor
di Jakarta. Rela ia menghadiahkan tiga rumah mewahnya sekaligus, dengan syarat
Mudrik mau memberi kesaksian: “inilah wanita salihah, berbakti kepada agama, selalu
sayang kepada sesama.” Atau Pikemboh, penyair gaek yang rajin menenggak bir.
Tiga bulan lalu, naik motor renta, ia berkunjung ke rumah kokoh menghadap
jalan. Di kediaman Mudrik itu, di senja yang agak kusam itu, ia berjanji
menghadiahkan seluruh buku antologinya, puisi-puisi liarnya, termasuk juga
cadangan imajinasinya, apabila sang pengantar mayat tersebut bersedia
mengecapnya: “inilah penyair yang benar-benar penyair. Penyair yang mencintai
kata di atas segalanya.”
Dan, sekali lagi,
baiknya kau mengenal aku, sebelum akhirnya memamah penyesalan. Sebelum akhirnya
kedudukanmu kurongrong dari dalam, kehormatanmu kuhajar habis-habisan,
kewibawaanmu sedikit demi sedikit kurontokkan, ketenaranmu kuhilangkan, nyawamu
kuhabisi pelan-pelan. Dan, ketika nyaris sekarat itulah, jangan lupa tekan
085649773437.
Itulah nomorku, nomor
Mudrik yang cukup sangar dan disegani oleh para psikopat itu!
Yogyakarta, 2012