Goenawan Mohammad
(2005) menaruh sinisme terhadap perkembangan komik Indonesia. Ia menuding
sejarah buku komik tanah air tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana
sosial-ekonomi. Barang tentu hal ini berbeda jauh dibanding Amerika Serikat.
Geliat komik di sana sejak awal memang menunjukkan kabar menggembirakan. Tak
ayal, melalui buku Setelah Revolusi Tak
Ada Lagi, Goenawan mengklaim The
Katzenjammer Kids sebagai ‘garansi’ bahwa tokoh satu seri komik dapat
terus-menerus hadir sebagai bahan bacaan sampai selama 70 tahun di Negeri Paman
Sam.
Bagi saya, tudingan di
atas memantik perenungan mendalam atas capaian para komikus Indonesia yang sering
kali dipandang sebelah mata. Namun demikian, minimnya prasarana sosial-ekonomi
tidak lantas membuat para komikus kita rendah diri. Buktinya, sejumlah karya lahir
di tengah keterbatasan, bahkan termasyhur dan menjadi bahan perbincangan oleh
para akademisi serta seniman dalam negeri. Tak jarang, atensi pun berasal dari
luar. Semisal Marcel Bonnef, seorang berkebangsaan Prancis, yang mengangkat
komik Indonesia sebagai tema penelitiannya. Sedemikian pentingnya, disertasi
yang berhasil dipertahankan pada 1972 tersebut diterbitkan dan beberapa tahun selanjutnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Si
Buta dari Gua Hantu (Ganes TH), Sebuah Noda Hitam (Jan Mintaraga), Si Put On (Kho Wan Gie), Buku
Harian Monita (Sim Kim Toh), Gundala
Putra Petir (Harya Suryaminata), Sri
Asih (RA. Kosasih), dan Setitik Air
Mata buat Peter (Zaldy Armendaris) merepresentasikan fakta bahwa ‘buah
tangan’ para komikus kita sanggup membungkam keraguan. Di tengah gempuran
pesimisme, komik-komik tersebut berhasil menyajikan riwayat kesuksesan.
Sayang dalam
perkembangannya, terdapat indikasi kuat bahwa komik Indonesia sedang mati suri
sebab komikus-komikus generasi baru tidak mewarisi tongkat estafet keberhasilan
para pendahulu mereka. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur,
sehingga industri komik berjalan tersendat-sendat. Atas dasar itulah, demi
membendung gejala yang lebih akut, muncullah gerakan tokoh-tokoh wanita yang
menaruh passion pada komik. Mereka
berusaha sekuat tenaga agar karya komikus-komikus Indonesia tetap berumur
panjang.
Pertama,
Rahayu Surtiati. Wanita yang pernah menjadi dosen Fakultas Sastra Prancis Universitas
Indonesia (UI) ini menggagas berdirinya Kajian Komik Indonesia (KKI) pada awal
1990an. Beberapa kali seminar dan diskusi yang digelar dengan menghadirkan
sejumlah panelis antara lain Rudy Badil, Ishadi SK, Moerti Bunata, dan Arswendo
Atmowiloto telah mencoba melihat sejauh mana nasib komik di masa lalu serta
harapan di masa datang. Rahayu percaya bahwa selain menghibur komik juga berfungsi
sebagai penyampai pesan. Komik memerankan diri selaku agen komunikasi dalam
masyarakat. Boleh dibilang, apa yang dilakukan Rahayu setali tiga uang dengan
pernyataan Marcel Bonnef (2008: 18) bahwa “komik merupakan salah satu karya
sastra yang ampuh dalam menyebarkan gagasan.”
Kedua,
Edi Sedyawati. Atas prakarsa wanita inilah untuk pertama kalinya komik disayembarakan
oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen dan Kebudayaan
(Depdikbud). Ia juga dinilai sebagai tokoh yang berani menelurkan gebrakan
terhadap perkembangan komik tanah air. Dengan beragam upaya, ia bermaksud meningkatkan
harga diri komik dengan cara mempublikasikannya ke masyarakat luas. Ia menganggap
komik sangat layak diperjuangkan dalam Kongres Kesenian Nasional 1995. Langkah
taktis yang dilakukan demi kemajuan komik adalah beraudiensi dengan Presiden
Soeharto di Istana Negara. Setelah itu, ia merangkul Dwi Koendoro untuk
bersama-sama merancang pekan komik nasional. Hasilnya, pekan komik nasional untuk
kali pertama di Indonesia terselenggara pada Februari 1998 (Dwi Koendoro, 2007:
55). Tak salah bila Edi didaulat sebagai pencetus Hari Komik dan Animasi
Indonesia.
Ketiga,
Vivian Wijaya atau Vee, satu-satunya mangaka (pembuat manga) asal Indonesia
yang karyanya tiap bulan menghiasi koran Jepang. Wanita yang didapuk menjadi
asisten Kenjiro Hata yang terkenal dengan karya Hayate The Combat Butler tersebut meresahkan kondisi
tragis-melankolis yang dialami komik-komik Indonesia. Ia pun menaruh perhatian
khusus terhadap kemunduran komik tanah air.
Berbeda dengan Rahayu
Surtiati dan Edi Sedyawati yang berhasrat mengembalikan kejayaan komik Indonesia
masa silam dengan ciri asli dan local
wisdom-nya, Vee gencar mempromosikan ‘produk lokal’ berbalut unsur Jepang
dengan mendirikan sekolah komik di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berdiri
sejak Oktober 2012, sekolah ini genap diikuti oleh banyak siswa baik domestik
maupun mancanegara, seperti Jerman dan Australia. Dengan sekolah ini, alumnus Royal
College Surgeon of Irlandia tersebut berharap agar ke depannya, komik Indonesia
mampu bersaing dengan komik-komik luar. Menurut saya, hal ini bisa dipandang
sebagai solusi (atau alternatif?) merangkul konsumen, sehingga karya komikus Indonesia
mampu bersaing dan beradaptasi dengan pasar. Lebih dari itu, langkah ini merupakan
upaya agar komik-komik dalam negeri memiliki gaung dan citra eksklusif.
Apa yang dilakukan baik
oleh Rahayu Surtiati, Edi Sedyawati maupun Vivian Wijaya termasuk bagian dari agenda
besar mempertahankan identitas kebangsaan. Sebuah identitas yang layak dijaga guna
menjauhi cengkeraman kaum pengusung kapitalisme-materialistis juga oknum oportunis-pragmatis
yang rentan menyelundupkan nilai-nilai perusak jiwa generasi bangsa. Dalam
tataran tertentu, ikhtiar tersebut tergolong dalam strategi kebudayaan di mana
akhir-akhir ini implementasinya pasang surut sebab mengalami pendefinisan ulang.
Gerakan ketiga tokoh
wanita ini patut mendapat apresiasi. Mereka menawarkan semangat nasionalisme melalui
‘komikisasi’, aksi menjadikan komik sebagai ikon antusiasme sekaligus
perlawanan: antusiasme memelihara warisan budaya bangsa sekaligus perlawanan
menyapu bersih isme-isme destruktif yang tengah membanjiri masyarakat kita lewat
beragam media.
Demikianlah secuplik
perjuangan tokoh-tokoh wanita, demi menjaga martabat komik Indonesia. Maka, adakah
di antara kalian, wahai para wanita, yang mendaftarkan diri sebagai pembela komik
tanah air agar memiliki taji dan selalu disegani?
Yogyakarta, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar