Dalam taraf tertentu, puisi bisa menjelma semacam sihir yang membuaikan. Ia sanggup membuat manusia terlena dengan kata-kata yang dihidangkan, imajinasi yang memesonakan, ilustrasi yang menghanyutkan, juga dunia baru yang menjanjikan. Akhirnya, puisi menjadi candu bagi mereka yang terbelenggu kehidupan duniawi dan mengkhayalkan keindahan surgawi.
Oleh dasar itulah, pada zaman Arab Jahiliyah, banyak orang terpana ketika seorang penyair mendeklamasikan sebuah puisi. Terlebih lagi, apabila puisi tersebut sengaja diperuntukkan bagi mereka. Sebagaimana halnya saat Zuhair Ibn Abi Sulma menyanjung kebesaran dan keagungan Haram Ibn Sinan. Bermodal kata-kata, Zuhair dengan lihai menggambarkan kehebatan dan kemuliaan pembesar negara tersebut. Saking gembiranya, Haram memberikan hadiah kepada Zuhair atas karya ciptaannya. Hal yang tak mengherankan, mengingat mayoritas ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair Ibn Abi Sulma mengantongi beberapa kelebihan, semisal: singkat, padat, dengan bahasa mudah dicerna; melanting pujian sesuai dengan keadaan sebenarnya; serta tidak bersifat cabul. Selain itu, Kamal Yusuf (2009) mencatat, bahwa Zuhair dikenal sebagai penyair hikmah, yang puisi-puisinya memuat ajakan dan anjuran menuju kebaikan.
Bahkan Labid Ibn Rabiah, yang dianugerahi usia panjang serta suatu saat memeluk Islam, ketika masih kecil mampu membuat tercengang seorang penyair masyhur. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bakat kepenyairannya sudah terendus sebelum memasuki usia dewasa. Sebuah riwayat menyebutkan, Labid pernah berjumpa dengan Nabighah dalam suatu majelis. Nabighah, penyair tersohor waktu itu, memperhatikannya. Ketika Nabighah mengatakan bahwa dalam diri Labid terpendam bakat puisi, spontan anak kecil tersebut berpuisi dengan baik. Nabighah menaruh takjub dan berkata bahwa Labid kelak menjadi penyair besar suku Qias. Prediksi itu terbukti dengan didaulatnya Labid sebagai salah seorang penyair yang sangat disegani.
Begitu pula ketika masyarakat Arab menghayati puisi-puisi gubahan Imru’ul Qais, Nabighah Zibyani, A’sya Ibn Qais, Amr Ibn Kaltsum, Tharfah Ibn ‘Abd, Al-Haris ibn Hilza, Abid al-Abros al-Asadi, juga Khansa’ yang bernama lengkap Tumadir bintu Amrin as-Syarib. Bagi mereka, puisi-puisi yang ditulis penyair-penyair di atas sanggup menyajikan ramuan yang menyebabkan orang mabuk kepayang.
Tidak berhenti pada masyarakat Arab pada umumnya, daya tenung puisi ternyata juga menyerang para sahabat Nabi. Sebut saja Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Adonis, melalui buku Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Itba ‘inda al-Arab yang diterjemahkan dengan Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2012), mengungkapkan bahwa Umar suatu hari mendengar puisi elegi karangan Mutammam bin Nuwairah terhadap saudaranya Malik. Pada waktu itu, Umar langsung terpikat dan memohon kepada Mutammam, “sungguh aku menginginkan engkau membuat puisi elegi untuk saudaraku seperti halnya kamu membuat puisi elegi untuk saudaramu”. Sesaat setelah Mutammam memenuhi permintaan untuk menulis puisi dukacita, Umar berkomentar, “tak seorang pun yang memberikan pelipur lara kepadaku seperti halnya yang ia berikan.”
Umar juga merasa kagum terhadap Zuhair Ibn Abi Sulma yang selalu berhasil memikat pembaca atau pendengar melalui puisi. Dua puisi berikut ini adalah contohnya:
Walau anna hamdan yukhlidu an-nasa akhladu #
Walakin hamdu an-nasi laisa bimukhlidin
(Andai pujian dapat mengabadikan manusia, mereka pasti mengabadikannya #
Akan tetapi, pujian terhadap mereka tidaklah membuat abadi)
Wa inna al-haqqa muqthi’uhu tsalatsun #
Yaminun au nafarun au jalaun
(Sesungguhnya kebenaran itu diputuskan dengan tiga hal #
Sumpah, memperkarakan atau mencari kejelasan)
Untuk puisi terakhir, sampai-sampai Umar menyempatkan diri untuk mengulang-ulang baitnya, sebagai rasa kagum atas pengetahuan Zuhair tentang kebenaran.
Adapun Ali bin Abi Thalib dalam menyikapi puisi, sebuah riwayat menuturkan bahwa suatu hari suami Fatimah tersebut ditanya mengenai siapa orang yang paling pandai dalam membuat ilustrasi. Lantas Ali menjawab bahwa orang tersebut adalah Abu Mihjan dengan ucapannya, “janganlah kamu (perempuan) bertanya kepada orang lain tentang hartaku dan berapa banyaknya”. Kalimat singkat ini begitu membekas dalam diri Ali. Sebab kekagumannya itulah, Ali berpendapat bahwa Abu Mihjan merupakan seseorang yang memiliki kelihaian dalam merangkai ilustrasi yang indah, didukung dengan tepatnya pernyataan.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sahabat Nabi pun merasa teror puisi ternyata dapat ‘menghantui’ jiwa manusia, sehingga menyelundupkan kritik, pencerahan, atau sekadar celoteh yang perlu ditularkan. Namun demikian, yang perlu dicatat yaitu tidak setiap puisi mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Barang tentu puisi para penyair matang yang rajin berpikir, berkontemplasi, merenung di atas riak-riak kehidupan. Pun tidak semua orang bisa tertimpa sihir puisi, kecuali mereka yang bersih pikirannya juga jernih perasaannya. Semoga kita bukan tergolong orang yang terlanjur mengidap “gila”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar