Dewi menghisap rokok
dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian dari lubang mulutnya mengepul asap bulat.
Hari itu ia merayakan keberhasilannya sehabis membuat orang yang paling dekat
di hatinya menaruh bangga atas apa yang dikerjakan.
Ayahnya, Lasdi, tukang
becak yang sakit-sakitan itu, tidak perlu capai-capai mencari uang. Ya, ia
menggelesot santai di kolong pohon nangka, setelah diberi tujuh lembar rupiah
berwarna merah menyala oleh Dewi. Seharusnya pada saat seperti itu, ia duduk berselonjor
sambil menikmati kretek murah yang disambar dari toko Mbok Ijah. Tapi, tidak. Beberapa
bulan lalu, Dewi menyuruhnya berhenti dari kebiasaan itu ketika berhari-hari
batuknya membabibuta dan dikhawatirkan mengidap penyakit paru-paru.
Ketika menerima uang,
ia tak mengucapkan apa-apa, kecuali terima kasih karena Dewi telah
memperhatikan dirinya yang semakin uzur.
Cuma terima kasih?
Benar. Sama sekali ia
tak pernah mempermasalahkan Dewi yang kerap pulang larut malam dan gemar
menyulut rokok untuk dijepit di bibirnya. Dan, waktu itu, Lasdi tahu bahwa asap
bulat yang menyembul dari jendela itu berasal dari bibir anaknya. Ia juga
paham, jika menyemburkan asap, itu berarti hati Dewi tengah mengayuh gembira.
***
Tengah malam, Lasdi
memandangi Dewi yang terlelap di depan televisi. Mengamati wajahnya, otaknya
memutar potret Wardah seketika. Saat itulah dua matanya berkaca-kaca. Selalu saja
ia meratap, kenapa sepuluh tahun silam, ia mengizinkan istrinya merantau ke
Malaysia, guna berburu uang.
Tak bosan-bosannya ia
berpesan pada Dewi untuk tetap tinggal di desa, separah apa pun kondisi ekonominya.
Anak satu-satunya itu boleh bekerja apa saja, asal tidak merantau ke kota, atau
malah ke luar negeri. Lasdi tidak ingin kehilangan untuk kedua kali setelah istrinya
raib. Menyikapi penderitaan ini, ia hanya melanting senyum ketika teman-teman
atau tetangganya bersoal mengenai Wardah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa
pada istrinya itu. Ia selalu menutupi agar berita hilangnya Wardah tidak diendus
oleh orang lain selain Dewi, juga beberapa kerabat dekatnya. Itulah mengapa,
ketika didesak menggelar hajatan, mengirim doa bersama supaya Wardah kembali
pulang, ia menolak. Yakin, kalau menelan kabar itu, pastilah teman-temannya mengimbuhi
dengan omongan miring yang mudah membikin panas telinga.
Genap sebulan ia tidak lagi
bekerja. Genap sebulan pula, Dewilah yang menggantikan posisinya dalam mencari
nafkah. Lasdi membayangkan, alangkah payahnya anaknya itu, yang telah memeras peluh
seharian; berangkat pagi buta dan pulang ketika langit berganti muka. Sebenarnya
ingin sekali ia memijit punggung Dewi; hal serupa yang dulu diperbuat Wardah kepadanya
ketika ia pulang dari bekerja. Namun, terpaksa ia tahan. Ia tak mau lantaran sentuhan
jari-jarinya, Dewi lantas terbangun dari dengkurnya.
Di hadapan Dewi yang
tidur, Lasdi berjanji akan menggunakan uang pemberian itu dengan sebaik-baiknya.
Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarkan diri dari judi buntut, yang rutin
diikuti oleh teman-temannya sesama tukang becak. Juga tuak, minuman favorit
para kuli bangunan yang baru mendapat bayaran.
***
Dewi dan Lasdi,
keduanya, keluar rumah bersama. Sengaja Lasdi mengantar anaknya dengan becak. Lasdi
mengotot agar anaknya bersedia diantar. Dewi menyanggupi dengan syarat ayahnya
lain kali tidak melakukan hal yang sama. Ia lebih suka memanfaatkan jasa tukang
ojek, agar ayahnya bisa istirahat saja di rumah.
Pagi dengan matahari
yang malu-malu, masih bersembunyi itu, selain menemani anaknya sampai stasiun, Lasdi
juga bermaksud menyambangi teman-temannya yang mangkal tidak jauh dari sana. Terus
terang, ia kangen berat dengan mereka. Ingin sekali mendengarkan ocehan dan bahan
tertawaan khas tukang becak, yang langka diperoleh di mana pun dan kapan pun.
Ketika lewat di depan kerumunan
tukang becak, Lasdi menyapa mereka sambil menyunggingkan senyum. Mendapati Lasdi
bersama gadis cantik, mereka langsung memanggil-manggil Dewi, tanpa
menghiraukan sedikit pun sapaan Lasdi. Juga ada yang bersiul-siul dan bertepuk
tangan. Sebagian lainnya memilih memandangi anaknya dengan pandangan penuh nafsu.
Wajah Lasdi mengerut. Sebetulnya
ia agak tersinggung melihat ulah mereka. Apakah seperti halnya dirinya, segerombolan
orang itu juga tidak pernah mengenyam pendidikan, hingga tingkah laku mereka
jauh dari sopan. Apalagi, Dimo, salah satu temannya, sempat berkata jorok pada
Dewi.
Lasdi juga geram, kenapa
perhatian teman-temannya hanya tertuju pada anaknya. Adakah bini-bini mereka sudah
beberapa bulan malas memberikan belaian, hingga perilaku mereka seperti cacing
kepanasan. Tidak hanya itu. Ia bingung bercampur heran, ketika anaknya
dipanggil dengan sebutan Lisa.
Seusai punggung
tangannya dikecup oleh Dewi, sebagai tanda pamit anak kepada ayahnya, Lasdi buru-buru
menggenjot becaknya, kembali menuju tempat di mana ia dulu menunggu penumpang. Dari
tadi kepalanya digedor-gedor sebongkah pertanyaan yang terus-terusan mengganggu,
“kenapa anakku dipanggil Lisa?”. Meski ada perasaan jengkel setengah mati sebab
kekurangajaran teman-temannya, pikirannya lebih terbebani dengan satu nama yang
begitu asing didengarnya itu.
“Hai Lasdi, lama kau
tidak ke sini. Ke mana saja?”
Jupri menyapanya lebih
dulu, sebelum Lasdi mencongkel pertanyaan yang mengendap di batok kepalanya.
“Di rumah. Tadi……”
Belum sempat Lasdi menggenapi
kalimatnya, tiba-tiba dipotong seenaknya oleh Yanto, tanpa menunjukkan rasa salah
sedikit pun, “kau dapat pekerjaan baru? Hei, ngomong-ngomong, kok bisa-bisanya
kau merayu Lisa naik becakmu?”
Sepasang alis Lasdi
mengait. Berang, sehabis ia menangkap ucapan lelaki paruh baya yang di matanya
berubah menjadi kera itu. Tapi, ia masih punya cukup kekuatan guna mengontrol
dirinya yang terlihat limbung. Dan, pertanyaan di otaknya kian berganda.
“Maksudmu?” Lasdi balik
menginterogasi.
“Ya, Lisa. Kau belum
mengenalnya? O, ya aku lupa. Kau sudah tidak di sini ketika pertama kali Lisa bekerja.
Ia primadona para pejabat, lho. Makanya, kita tak pernah bisa membujuknya naik
becak. Ia lebih suka pulang pakai ojek atau taksi. Katanya gengsi naik becak.”
Lasdi semakin karut
dengan ucapan Yanto. Ketika lipatan di keningnya bertambah, Hari menimbrung, “Lisa
memang jadi pilihan orang-orang yang punya uang. Mustahil, ia mau melayani
tukang becak kayak kita, kecuali kita mampu membayarnya.”
“Jadi Lisa itu……”
“Pelacur! Ibunya dulu
pergi ke Malaysia, tapi tak pulang-pulang. Ia sekarang jadi begitu, mungkin lantaran
tak ada uang buat makan. Kalau ayahnya, e… ke mana ya? Kasihan gadis cantik sepertinya
harus jadi….”
“Sudah, sudah!” Lasdi enggan
memperpanjang pembicaraan. Menggenjot becaknya, ia ngacir pulang.
Teman-temannya
menatapnya keheranan.
***
Dua minggu Lasdi
memendam gelisah. Terlanjur ia mempersilakan anaknya mengais rezeki dengan cara
apa saja, asalkan tetap bertahan di desa. Ia menyesal. Sungguh menyesal. Barang
tentu ini bukan kabar baik yang jika Wardah mengetahui, orang pertama kali yang
berhak disalahkan yaitu Lasdi; ayah yang kurang mengerti bagaimana cara
mendidik anak. Meskipun demikian, ia tetap menunjukkan perangai seperti sedia
kala.
Dua minggu pula Dewi menjauhi
rokok. Itu artinya, Dewi tidak sedang gembira. Atau lebih tepatnya, ia tengah
bersedih. Rupanya, ia mampu membaca kegelisahan yang hinggap di hati sang ayah.
Akan tetapi, perihal mengapa perasaan ayahnya bisa demikian, ia tidak pernah
tahu, dan enggan menanyakan langsung.
Setelah beberapa lama
menahan gejolak jiwanya, akhirnya pendirian Lasdi goyah. Ini kali ia melanggar
janjinya kepada Dewi; uang simpanan yang sudah mencapai empat juta lebih
digunakannya berjudi dan membeli empat botol tuak. Malam itu, ia teler bersama
Gimin, Karjo dan Diran. Tak lupa pula ia mampir ke losmen mungil dekat stasiun.
Di sanalah tempat para lelaki membunuh sepi.
Menanti antrian hampir satu
jam, tibalah kini giliran Lasdi. Dibukanya pintu kamar perlahan-lahan. Dan, di
atas ranjang tergolek gadis berambut sebahu dengan sehelai kain menempel di
dada dan pangkal pahanya tengah siap mengalirkan sentuhan hangat kepadanya.
Gadis itu tertegun
hingga tiada sepatah kata pun merembes dari katup mulutnya. Adapun Lasdi, lelaki
dengan beberapa uban di atas kupingnya itu, membisikkan kalimat sok mesra, “Lisa,
temani aku semalam saja…..”
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar