Kronik
Puisi, Kronik Polisi
Dalam beberapa
dasawarsa terakhir, sindrom kegalauan berhasil menyerang tubuh para penyair,
sehingga mereka menulis puisi dengan nada kegelisahan yang tinggi. Sebaliknya,
ulah oknum polisi yang kurang bertanggungjawab membuahkan
kegelisahan-kegelisahan masyarakat. Oleh dasar itulah, jika dicermati, terdapat
hubungan erat antara kronik riwayat puisi dengan kronik perjalanan polisi.
Pertama,
kronik penulisan puisi di Indonesia menunjukkan bahwa tema sosial menduduki rating tinggi dan menjadi pilihan logis
bagi kalangan penyair dalam mengelola imajinasi. Dengan menganggit puisi,
mereka dengan lantang ingin meneriakkan bahwa di negeri ini masih banyak
ketimpangan. Bermodal puisi, masyarakat diajak untuk mengkritisi
disekuilibrium-disekuilibrium yang menyelinap dalam alur kehidupan. Dan,
rupanya, pembicaraan latah mengenai polisi merupakan salah satunya.
Kedua,
kronik perjalanan polisi tidak bisa terlepas dari gejolak antara aparat dan
rakyat kecil. Gejolak tersebut muncul di antaranya karena ketidakberdayaan rakyat
kecil menghadapi kesewenang-wenangan polisi. Sistem yang berjalan di negeri ini
sepertinya menempatkan rakyat kecil pada pihak ‘yang dikuasai’, sedangkan
polisi selaku ‘yang menguasai’. Akibatnya, rakyat kecil mau tidak mau harus
bersedia menjadi obyek kezaliman aparat. Terkait hal ini, ada tiga contoh kasus
menarik.
Kasus pertama, pada
tahun 1970-an Sengkon dan Karta terpaksa menjalani pidana penjara
bertahun-tahun atas kejahatan pembunuhan yang tidak mereka kerjakan. Ternyata
keduanya mendekam satu sel dengan pembunuh yang asli. Singkat cerita, saat
Sengkon sekarat, seorang narapidana bernama Gunel menaruh kasihan. Merasa
berdosa, Gunel meminta maaf kepada Sengkon lalu mengakui bahwa dirinya bersama
teman-temannyalah yang telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Hal ini terjadi
lantaran ulah polisi yang salah tangkap.
Kasus kedua,
penangkapan polisi atas Mbok Minah (55) asal Banyumas, hanya karena mencuri
tiga buah kakao dengan harga tidak lebih dari Rp 10.000. Nenek tersebut
akhirnya terkena vonis pada 2009.
Kasus ketiga, di akhir
tahun 2011 kasus AAL mencuat karena dituduh oknum polisi mencuri sandal. Sesuai
pasal 362 KUHP tentang pencurian, ia terancam kurungan maksimal lima tahun
penjara. Lantas putusan hakim menyatakan AAL bersalah namun tidak dijatuhi
hukuman. Akhirnya ia dikembalikan kepada orang tua. Putusan pengadilan ini
dinilai Komnas Perlindungan Anak menciderai rasa keadilan.
Sebab keberingasan
tersebutlah, tak ayal, jika rakyat kecil menganggap bahwa aparat tak ubahnya
hantu bertampang seram sekaligus menakutkan.
Mencecar
Polisi Melalui Puisi
Adanya hubungan antara
dua kronik (kronik puisi-kronik polisi) di atas, ternyata memantik para penyair
untuk mengambil jalan tengah. Kegelisahan-kegelisahan masyarakat atas tindakan
polisi sebisanya ditampung dalam puisi.
Dengan semangat
berlipat-lipat, para penyair menyuarakan kegelisahan tersebut ke ruang publik.
Mereka menggunakan puisi dalam ikhtiar ‘mengingatkan’ polisi. Bagaimana pun
juga, polisi membutuhkan entitas dari luar yang peduli terhadap masa depan
polisi. Dalam peran inilah puisi memosisikan diri. Puisi menjadi alternatif
terbaik dalam melancarkan kritik terhadap kinerja polisi.
Dengan tabiatnya yang
lembut, diharapkan puisi mampu menyelipkan saran demi perbaikan kiprah penegak
hukum di masa mendatang. Tak jarang, kritik yang disampaikan dengan cara lembut
santun akan lebih mudah diterima dengan lapang dada.
Kegelisahan-kegelisahan
dalam puisi biasanya dibungkus dengan ungkapan yang tersirat. Akan tetapi, tak
jarang juga ditampilkan secara terang-terangan. Misalnya puisi Sahlul Fuad
berjudul Umrah dalam 33 Puisi Dusta (Miring, 2011): Tuhan, kami menang tender usaha/ Ke rumah-Mu kami bersilaturahmi/ Kami bawakan Engkau sekeranjang dosa/ Agar kami tak terendus polisi.
Dalam puisi di atas,
penyair menempatkan polisi selaku pihak yang ditakuti. Saking takutnya, uang
yang dihasilkan dari tender (diduga tender gelap) justru dipakai pergi ke rumah
Tuhan—dalam bentuk ibadah Umrah—, demi menghindari kejaran polisi.
Meskipun bersifat
parodi, pesan yang coba disampaikan puisi tersebut bisa ditangkap. Penyair
ingin menegaskan bahwa terdapat ketakutan luar biasa yang menimpa rakyat kecil
ketika menghadapi polisi, sehingga apabila bertemu dengan polisi, sama saja
memergoki drakula dengan taring yang menyeringai.
Selain itu, polisi juga
pernah digambarkan sebagai sosok yang lemah. Potongan puisi Jante Arkidam buah pena Ajip Rosidi (Tjari Muatan, 1959) menunjukkan hal
tersebut: Mantri Polisi lihat kemari!/
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku//. Kata Jante berapi-api. Seorang
jagoan, buronan polisi, penjudi, peminum kelas berat, yang diangkat dari
khasanah critera rakyat tersebut seenak perutnya menyuruh polisi untuk membakar
meja judi. Padahal, umumnya seseorang yang tertangkap basah oleh polisi ketika
berjudi, ia akan memilih lari terbirit-birit.
Tak berhenti di situ. Jante
menantang, berkata lantang: ‘Aku, akulah
Jante Arkidam/ Siapa berani melangkah
kutigas tubuhnya batang pisang/ Tajam tanganku lelancip gobang/ Telah kulipat ruji besi.
Sama sekali Jante tak gentar
menghadapi polisi. Sambil bermaksud menghina, ia menenggak tuak, lalu
mendengkur di depan polisi. Hal ini diungkapkan dalam tiga baris: Jante masih menari berselempang selendang/
Diteguknya sloki kesembilan likur/ Waktu mentari bangun, Jante tertidur.
Nyali Jante enggan
surut ketika diancam bakal dijebloskan ke penjara Nusa Kambangan: ‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’//
Bahkan ketika mendengar
gertakan, Jante malah menjawab sekenanya, dan kembali ia meluncurkan cemoohan: ‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!//
Akan tetapi, kenekatan
Jante diimbangi dengan kemampuannya menundukkan polisi. Ketika jagoan dari
daerah Sunda itu dibui, ternyata ia dapat dengan mudah merusak jeruji besi,
kabur dan menghabisi polisi serta memebenamkan mayatnya ke dalam sungai: Sebelum habis hari pertama/ Jante pilin ruji penjara/ Dia minggat meniti
cahya// Sebelum tiba malam pertama/
Terbenam tubuh mantra polisi di dasar kali//.
Melalui puisi, penyair
menunjukkan ketidakberdayaan polisi dalam meringkus penjahat.
Namun demikian, ada
juga puisi yang justru melekatkan image
positif pada diri polisi. Bagaimana pun juga, polisi layak memperoleh apresiasi
setinggi-tingginya atas segala usaha yang telah dilakukan. Dalam buku puisi Anak Mencari Tuhan, yang dikemas satu
paket dengan Pertempuran Rahasia karangan
Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto menaruh
harapan besar kepada polisi. Hal itu dituturkannya dalam puisi bertajuk Pak Polisi:
Pak
Polisi,/ Kaulah
pahlawanku/ Mengatur lalu lintas di
persimpangan/ Menuntun kawan-kawan
menyeberang jalan/ Menangkap pencuri,
menumpas perampokan/ Mengungkap
pembunuhan, mengejar pelaku pengeboman/ Menjebak
pengedar narkoba, membongkar penyelundupan//.
Bahkan, sampai dalam
tataran tertentu, polisi tetap berhak memperoleh kepercayaan dari segenap
masyarakat. Kepada polisi informasi mengenai profil penjahat bisa dilacak,
sehingga seseorang bisa selalu mawas diri. Yudhistira ANM Massardi, dengan
langgamnya yang mbeling dan ‘bermain-main’, menulisnya dalam puisi Biarin! (1974): Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu aku rampok hati kamu./ Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia ini/ Iya nggak? Kalau nggak percaya, tanya saja
sama polisi//.
Demikianlah. Dengan
adanya kritik serta ‘pekik penyemangat’ yang digencarkan puisi, diharapkan
polisi lekas berbenah diri, sehingga tiga tugas utama polisi: melayani
masyarakat, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum, bisa terlaksana
dengan baik. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar