Materi kontroversial
dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA
perlu dikaji ulang. Pasalnya, pada halaman 78, buku terbitan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut menyatakan bahwa pembunuhan
terhadap orang yang menyembah selain Allah, atau musyrik, boleh dilakukan.
Fakta di atas
mengindikasikan bahwa kampanye anti radikalisme agama yang tengah
didengung-dengungkan oleh pemerintah dan sebagian besar masyarakat mengalami
anti-klimaks. Hal ini dikarenakan upaya serius dalam membendung ideologi
berbasis kekerasan sedang mengalami penggembosan.
Ditinjau dari sisi
historisnya, radikalisme agama merupakan kelanjutan dari menguatnya
fundamentalisme. Dalam konteks ini, gerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia
merupakan realisasi dari sikap fanatisme, yang mencerminkan rasa kebersamaan
dan solidaritas kelompok sebagai pemeluk suatu agama. Pada akhirnya, ketika
berhadapan dengan kelompok lain, sikap ini bergeser ke dalam bentuk radikalisme
dan militanisme (LIPI, 2005).
Di Indonesia,
radikalisme dan militanisme diwujudkan dengan beragam tindakan. Di antaranya
dengan merobohkan rumah-rumah peribadatan agama lain; membubarkan sejumlah
kegiatan yang terindikasi maksiat; serta merampas brendi, cognac, wiski, vodka,
liquer, wine, sampanye, bir, atau miras oplosan di kafe-kafe dan warung
remang-remang.
Sebab mengalami
kejenuhan dengan cara-cara yang dianggap ‘mainstream’
inilah, kelompok fundamentalis-radikal mulai menempuh cara baru, yaitu dengan
menyisipkan teks-teks dalam buku. Bagi mereka, buku menjadi sarana efektif
dalam meluapkan beragam ekspresi.
Pertama,
buku menjadi ekspresi ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi yang bersifat
sekuler, di mana dalam penyelenggaraan negara, agama tidak mendapatkan ruang.
Mengutip Rumadi (2006), demokrasi yang menempatkan suara rakyat adalah suara
Tuhan (vox populi vox dei) dianggap
telah mensubsordinasi Tuhan. Ketidakpuasan inilah yang menyebabkan kelompok
fundamentalis-radikal memanfaatkan buku sebagai sarana memperjuangkan aspirasi
politik mereka.
Kedua,
buku merupakan ekspresi dari kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial
akibat ketidakmampuan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat secara
religius. Fakta ini menginisiasi kelompok fundamentalis-radikal untuk melakukan
upaya islamisasi buku, baik yang dikonsumsi oleh siswa, mahasiswa, mapun
masyarakat umum. Jika sementara ini, upaya radikalisme agama baru ditemukan
dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti kelas XI tingkat SMA,
maka bisa jadi upaya tersebut juga ditemukan di buku-buku lainnya.
Ketiga,
buku mewakili ekspresi atas ketidakadilan politik. Di Indonesia, perbedaan
sering kali dipolitisir, sehingga suatu kelompok merasakan adanya perlakuan
tidak adil oleh kelompok lain. Perlakuan diskriminatif seperti ini memunculkan
primordialisme yang ditampilkan secara vulgar menjadi suatu identitas. Dalam
konteks inilah, kelompok fundamentalis-radikal menghalalkan gerakan
pemberontakan dan perlawanan atas nama agama, salah satunya dengan buku.
Fenomena buku sebagai
bagian dari strategi para fundamentalis-radikal harus mendapat perhatian, sebab
ancaman pendangkalan agama berada di depan mata. Apalagi, mengutip Jawa Pos (22/03), Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendeteksi adanya sembilan ribu situs yang
mengandung paham radikal. Oleh dasar itulah, sudah semestinya penangkalan
terhadap bahaya radikalisme menjadi materi yang diajarkan kepada para siswa.
Para siswa harus paham bahwa radikalisme tidak menjadikan agama semakin
digandrungi, melainkan justru ditakuti. Dengan radikalisme, orang-orang tidak
akan berduyun-duyun memeluk agama Islam, bahkan menjauhinya. Bagaimana pun
juga, kekerasan atas nama agama tidak akan memunculkan simpati, melainkan
fobia.
Sebagai pihak yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan, guru harus memosisikan diri sebagai tameng
terhadap ‘tombak radikalisme’ yang tengah dilesatkan oleh kelompok tertentu.
Para siswa harus diberitahu bahwa gerakan terorisme yang akhir-akhir ini kian
meresahkan merupakan aksi orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya tentang
hakikat agama Islam. Siswa harus dipahamkan bahwa ulah ISIS yang memenggal
leher manusia tanpa rasa penyesalan sedikit pun adalah penyimpangan yang tentu
saja tidak boleh dibenarkan.
Kepada para siswa, guru
harus menyampaikan bahwa konsep rahmatan
lil ‘alamin tidak mungkin terwujud jika kasus-kasus kekerasan atas nama
agama masih menjamur. Dengan demikian, radikalisme hanya akan menjadi bumerang
bagi agama Islam yang senantiasa memerintahkan umatnya untuk menyebarkan
‘virus’ kasih sayang.
Di samping itu, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga dituntut lebih selektif terhadap
naskah dan materi yang diajarkan kepada para siswa. Jangan sampai buku menjadi
senjata mematikan bagi para militan, sehingga sekolah sebagai tempat penyemaian
benih-benih pendidikan berkarakter berubah menjadi sarang radikalisme agama.
Bojonegoro, 2015