Akhir-akhir ini, muncul
kecenderungan bahwa penulis ingin mengantongi pengabsahan publik literasi
dengan menyelipkan International Standard Book Number (ISBN), prolog, epilog,
serta endorsement pada bukunya, sehingga membuat visualitas karya lebih
prestisius.
Atribut-atribut di atas dipercaya
mampu merefleksikan testimoni dan justifikasi mengenai kualitas buku ataupun kapasitas
penulis. Legalitas pakar dan pendapat public figure turut mengukuhkan
kecemerlangan tulisan. Untuk disebut “baik”, sebuah karya harus mengantongi
stempel otoritas literal. Padahal, dilekatkannya sebuah atribut adalah dalam
rangka mengemas karya serta mendongkrak “daya jual” penulisnya.
Otonomi Pembaca
Penerbit Bilik Literasi mendasarkan
pemikiran bahwa penghakiman, penilaian, dan penentuan kualitas karya tidak
berangkat dari “omong kosong” pakar dan public figure, melainkan para
pembaca. Di sini, para pembaca diposisikan sebagai pribadi otonom dengan otoritas
penuh. Mereka dibekali hak untuk mengamini apa yang termuat dalam buku atau
bahkan menolaknya. Dengan demikian, hadirnya Buku Seri Sejinah (Cuilan
[Bandung Mawardi], Guru dan Berguru [M. Fauzi Sukri], Melulu Buku
[Setyaningsih], dan Sembarang di Persimpangan [Mutimmatun Nadhifah])
seolah menyebarkan pemeo, “Buku yang baik hanya bisa diraba oleh pembaca yang
baik.”
Terbitnya buku ini menyimpan
ikhtiar menjauhi mainstream. Tanpa ISBN, prolog, epilog, serta endorsement,
ia hadir menyapa pembaca. Jika sejumlah buku berlomba memajang tulisan dengan
riwayat pemuatan di beberapa media, sebagian besar esai dalam buku ini justru
belum pernah “nangkring” di majalah, surat kabar, dan media cetak lainnya.
Mitos, efek formalitas, serta konvensi dalam jagat literasi sengaja ditabrak.
Ia sebagai antitesis “standar baku” karya cetak, terutama buku. Boleh dibilang,
dalam batas tertentu, ia menawarkan konsensus baru bagi publik literasi.
Berbeda dengan para penulis
lainnya, baik Bandung, Fauzi, Setyaningsih maupun Mutimmatun sungguh telaten memungut
sejumlah arsip “tempo doeloe”. Di antaranya Medan Prijaji edisi 5
Februari 1910, Aneka Olahraga No.21 edisi 15 Agustus 1964, Pemberita
Makassar edisi 16 Desember 1935, Kadjawen No. 29-30 edisi 15 April
1941, Baoesastra Melajoe-Djawa (1916), Pandji Poestaka (1940),
dan Sedjarah Pendidikan Indonesia (1956).
Demi menjaga orisinalitas tulisan,
kalimat-kalimat dalam ejaan lama sengaja dihindarkan dari pembakuan. Barang
tentu di samping memperkuat data, hal ini dilakukan dengan maksud mendatangkan kembali
situasi dan kondisi masa silam. Berbekal kliping koran, majalah, serta buku
usang, mereka berupaya menghidangkan nostalgia bagi pembaca.
Melawan Arus
Sebagaimana bidang industri lainnya,
logika pasar juga berlaku dalam jagat perbukuan. Para pelakunya dituntut
memahami hasrat dan selera konsumen. Anehnya, Penerbit Bilik Literasi justru
melawan arus dengan meluncurkan Buku Seri Sejinah dengan desain dan cover
yang “norak”. Meskipun demikian, buku ini sanggup menyajikan sejumlah tulisan
yang bernas dan berkualitas. Orisinalitas gagasan di dalamnya barang tentu
“mengenyangkan” pembaca. Itulah mengapa, kehadirannya yang bercorak anti-mainstream
tak layak dicurigai, melainkan justru diapresiasi.
Emosionalitas dalam esai-esai buku
ini menguraikan kekuatan individu para penulis. Kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual berandil besar membentuk bangunan tulisan mereka.
Kapasitas Bandung, Fauzi, Setyaningsih dan Mutimmatun dalam berkarya terutama
didukung kekhasan esai mereka. Kuatnya karakter buah pena para penulis ini
barangkali diperoleh dari kekayaan pengalaman hidup, bacaan yang luas, dan
lingkungan pergaulan yang beragam.
Apa yang dituangkan
dalam karya para penulis Bilik Literasi merupakan bayangan kepribadian mereka.
Hal ini tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu
cara pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu
sendiri. Arthur Christoper Benson (dalam Arief Budiman, 2006: 233) menyebutkan,
tak perlu motivasi filosofis, intelektual, religius, ataupun humoristis dalam
menulis esai. Seorang esais berkarya sesuai apa yang hidup dalam diri,
perasaan, serta pikirannya.
Sastra merupakan titik singgung
yang mempertemukan karakter tulisan mereka. Meskipun menitikberatkan pada
bidang kajian yang berbeda, sastra tetap mereka baca dengan seksama. Itulah
mengapa, esai-esai yang mereka tulis terasa halus. Ini sebagai pembelajaran
bagi esais-esais lainnya, betapa untuk menulis esai yang estetis, mereka tidak
boleh mengabaikan sastra. Di samping itu, tulisan-tulisan para penulis Bilik
Literasi begitu antusias memperjuangkan eksistensi dan kontinuitas literasi. Dalam
esai-esai mereka tersimpan etos literasi yang mengandung ruh perlawanan
terhadap menjamurnya budaya pop (popular culture) berciri
simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial.
Karya yang bernas mampu meneguhkan
eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition), penghormatan (tribute),
dan perayaan (celebration). Di sinilah letak Buku Seri Sejinah dalam
kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena sanggup menumbuhkan
motivasi dan impuls bagi diri sendiri. Sayangnya, kenikmatan
pembaca harus terkontaminasi saat menemukan beberapa halaman “cacat”, antara
lain 12, 16, 17, 19, 21, 30, 31, 38, dan 55 (Cuilan); 14, 18, 23, 25,
27, 39, 40, dan 41 (Melulu Buku); 13, 27, 36, 39, 54, 56, dan 63 (Guru
dan Berguru). Ditambah lagi, daftar isi yang kurang sesuai dengan halaman
buku (Sembarang di Persimpangan).
Bojonegoro, 2015