Bertahun-tahun lamanya
aku dipanggil Bejo. Ya, Bejo. Nama yang cukup sederhana dan merakyat bukan?
Jauh dari kesan pejabat ataupun konglomerat, hehehe…. Entah bagaimana awalnya
nama yang kerap juga disandang penjual baju bekas, pawang ular, atau jagal
kerbau itu tiba-tiba menempel pada tubuhku. Orang-orang memanggilku demikian
barangkali bertujuan supaya aku terhindar dari kesialan serta senantiasa
dilimpahi keberuntungan. Tanpa bermaksud mengelak, aku pun menerima saja
panggilan tersebut dengan suka rela. Bahkan, merasa lebih nyaman daripada seumpama
dipanggil dengan nama asliku, yang hingga sekarang tiada lagi aku mengingatnya.
Sesuai sebutanku,
nasibku juga lumayan beruntung. Pokoknya, lebih beruntung ketimbang koruptor
yang dirundung bingung sebab diincar KPK. Atau pedagang kaki lima, pengamen, anak
jalanan, serta pengemis yang sering diburu Satpol PP yang dikenal bengis dan
gemar menendang bokong sesiapa yang melawan. Sedangkan aku memilih diam di
tempat, sambil pura-pura menangis sesenggukan, sehingga mereka kasihan dan
membiarkanku kembali melakukan kegiatan meminta-minta seperti sediakala.
Aku bersyukur terlahir
ke dunia dalam keadaan tidak sempurna. Aku patut berterima kasih kepada
almarhum ibu, yang meski menghasilkanku dari hubungan gelap dengan tukang ojek
di perempatan, nyatanya ia kurang tega menggugurkanku ketika hamil. Atau
membuangku saja di selokan setelah satu jam melahirkan. Atau menceburkanku ke
sumur berkedalaman lima puluh meter yang dihuni gerombolan jin dan para
lelembut lain. Aku dirawat sebagaimana layaknya bayi yang terlahir dari
keluarga baik-baik. Walaupun dengan sisa kasih sayang, yang bila ditakar
sekadar pas-pasan.
Berkali-kali
teman-teman mengutarakan kedengkian. Mengapa, mengapa tidak mereka saja yang
dianugerahi kekurangan sepertiku. Ya, kekurangan yang ringan membuat setiap
orang melanting kasihan, menerogoh rupiah di dompet, serta melemparkannya ke
kaleng di depanku. Kekurangan yang menjadi pemicu kenapa jumlah penghasilanku
dalam sebulan bisa berpuluh kali lipat dibanding gaji PNS golongan 4 A
sekalipun.
Sebenarnya ketika
berada dalam kandungan, sama sekali aku tidak meminta kepada Tuhan agar diberi
kondisi fisik seperti ini: berhidung serupa colokan listrik, berlengan
melengkung dengan jari-jari keriting, serta memiliki satu kaki kecil yang
hampir-hampir tak berfungsi karena tak mampu digunakan berjalan atau sekadar
menyangga badan. Atau merengek agar dihujani rizki melimpah; tiga rumah megah
dilengkapi lima mobil mewah. Atau dua istri cantik yang masih muda sekaligus
mengundang selera. Atau anak-anak yang imut, sehat, juga jauh dari cacat. Akan
tetapi, kenikmatan-kenikmatan itu mendatangi diriku dengan senang hati. Dan,
kalian tahu? Inilah yang membuatku dihormati dan disegani oleh para pengemis
lain. Sampai-sampai hingga beberapa periode aku dikukuhkan menjadi ketua
paguyuban pengemis. Jabatan paling strategis dalam jagat kepengemisan.
Dalam jangka waktu
lumayan lama aku menganggap bahwa jabatan bergengsi tersebut merupakan faktor
utama mengapa martabatku bisa meningkat, kewibawaanku berlipat-lipat. Benar.
Tidak hanya para pengemis yang mengelu-elukan namaku. Komplotan preman beserta
penjahat jalanan juga menghidangkan penghormatan luar biasa. Mereka suka
mengundangku dalam acara-acara besar. Bahkan, tidak sekali dua aku dipercaya
untuk memberikan sambutan. Aku pun menikmati ketenaranku yang kian hari kian
menanjak. Atas dasar itulah, selaku hamba beriman, tak jarang aku mengadakan
syukuran dan menggelar hajatan dengan mengundang para tetangga serta
teman-teman, layaknya petani tebu yang sebentar lagi naik haji.
Namun, akhir-akhir ini
pikiranku sering terganggu. Aku merasakan ada persekongkolan busuk yang ingin
membabat habis kebahagiaanku. Begitulah. Di setiap kekuasaan rentan timbul
rongrongan.
Firasatku teruji.
Pertama-tama, upaya keji untuk menghabisiku nyatanya bukan berasal dari luar.
Kemplung, lelaki yang setiap hari bertugas menjaga rumahku, berkhianat.
Tega-teganya ia menaruh racun kadal dalam secangkir kopi yang sedianya kuminum
sebelum berangkat ke alun-alun (meskipun sudah kaya raya, aku tetap bersikeras
menggeluti pekerjaan sebagai pengemis. Sadar, kalau namaku menjadi besar karena
mengemis. Aku berteguh hati, bahwa sampai mati, aku pasti tetap mengharap
recehan dari kaum dermawan. Moto hidup yang selalu kupegang yaitu: aku terlahir sebagai pengemis, harus mati
sebagai pengemis).
Aku mati? Tidak!
Keberuntungan memang
masih berpihak. Belum sempat aku menyeruput, Sumi, pembantuku yang dulu juga
pengemis, merasa ragu kalau kopi buatannya genap bercampur gula. Akhirnya, ia
minta ijin untuk mencicipi sesendok saja. Sepenggalah kemudian, dengan tubuh
gemetaran ia ambruk lalu kejang-kejang. Dari mulutnya keluar buih menjijikkan.
Setelah kematian Sumi,
aku makin waspada. Jagrak, lelaki yang setia menjadi suruhanku dan mustahil
berkhianat, mengantongi perintah untuk mengendus setiap gerak-gerik
mencurigakan. Orang-orang yang dikira berbahaya segera dilenyapkan. Termasuk
Supri, Gaplek, Margo; mereka yang lebih suka menjilat ketimbang menjadi
sahabat. Tidak hanya itu. Guna memperketat keamanan diri, aku menyewa lusinan bodyguard paling kuat. Puluhan kaki
tangan juga kutempatkan di beberapa lokasi. Aku menaksir bahwa masih banyak
lagi berbagai usaha lain untuk membunuhku.
Dan, benar. Ateng,
sekretaris paguyuban pengemis, terbukti menyewa jasa tiga pembunuh bayaran untuk
mengirimku ke neraka. Pemuda tampan yang cukup lihai dalam mengurus
administrasi paguyuban serta aktif merekrut anggota itulah yang sebenarnya
kugadang-gadang menggantikan posisiku kelak ketika aku sudah lengser.
Untungnya, lagi-lagi Jagrak mencium gelagatnya. Tiga pembunuh bayaran tersebut
mampu diatasi dengan mudah. Lebih dari itu, ia bertindak tepat dengan balik
mengirim belasan anak buahnya untuk melibas Ateng dengan terlebih dahulu
menyiksanya perlahan-lahan. Bagaimana pun juga, pembelot haruslah menerima
ganjaran setimpal. Ditambah lagi pengkhianatan-pengkhianatan yang melibatkan
Bodong, Klewer, dan Gino; teman-teman seperjuangan yang menapaki karir mengemis
dari nol. Juga upaya-upaya serupa lainnya yang tak mungkin kusebutkan satu per
satu.
Melihat kondisi
sedemikian akut, aku mengambil tindakan. Di segelintir petang, aku sengaja
mengumpulkan semua pengemis se-Jakarta. Termasuk mereka yang rutin kudrop ke
luar kota, semisal Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terus terang, itu kali
berang terlanjur memanjat ubun-ubun dan tak sanggup lagi kubendung. Diperparah
dengan jiwa yang begitu tertekan, hingga tak mampu kutahan, mirip Soeharto yang
pusing tujuh keliling menghadapi ulah demonstran pada 1998. Pada pertemuan
singkat tersebut, aku menanyakan adakah sebagian dari mereka menginginkan
tampuk kekuasaan yang sedang kugenggam. Kalau ya, aku bersedia meletakkannya
saat itu juga. Toh, aku mulai bosan dengan intrik serta politik sejumlah anak
buah yang kurang tahu balas budi. Padahal, rasanya aku sudah berbuat amat baik
kepada mereka. Bayangkan! Semenjak didapuk selaku pemimpin, aku langsung
menghapus peraturan paguyuban yang mewajibkan untuk menyetor lima persen dari
hasil keringat mereka. Mereka boleh memperkaya diri, asalkan beroperasi di
kawasan-kawasan masing-masing. Selain itu, aku rajin membuka lowongan pengemis
baru. Aku berani menjanjikan kepada kaum pengangguran berupa penghasilan jutaan
serta garansi kesehatan. Berbondong-bondonglah ribuan pendaftar, guna mengadu
nasib sebagai pengemis. Imbasnya, beberapa jalur yang biasa digunakan untuk
beroperasi penuh. Alternatifnya, mereka kukirim ke Surabaya, Malang, juga
kota-kota besar di luar Jawa; zona-zona yang berpotensi untuk dikeruk
rupiahnya. Barang tentu sebelumnya aku jangkap menjalin kerjasama dengan
dedengkot mafia pengemis di daerah asal. (Asal kalian pahami. Oleh beberapa
peneliti, program ini dinilai lebih manjur dan realistis daripada program
pemerintah yang bernafsu mengentaskan kemiskinan namun ujung-ujungnya cuma
menghabiskan anggaran).
Di luar dugaan, mereka
malah membisu. Jadilah pertanyaanku mengawang di udara. Benar-benar munafik!
Aku mengumpat tiada henti. Padahal, di belakangku mereka beramai-ramai mencoba
menikamku. Janggalnya, di depanku mereka tersenyum dan bermuka lembut. Tanpa pikir
panjang, pertemuan yang lebih mirip monolog itu kubuyarkan. Aku sudah muak
dengan kepura-puraan!
Berminggu-minggu otakku
dilanda stres. Aku lebih tepat dikatakan mayat hidup daripada manusia. Wajahku
pucat pasi, kehilangan semangat. Tapi, aku masih mujur sebab memiliki Leni dan
Rina, dua pendamping hidup yang sangat mengerti tentang keluh kesahku. Keduanya
menyarankanku istirahat total. Adapun semua urusan paguyuban alangkah baiknya
diserahkan kepada Jagrak. Berbekal beragam pertimbangan, aku menurut. Mirip
karyawan mengambil cuti, sementara aku berhenti memikirkan masalah-masalah yang
ada. Australia kupilih sebagai loka di mana aku menghibur diri.
Goblok! Aku tertipu.
Sungguh. Sepulang dari luar negeri, aku sadar bahwa kedudukanku telah
dimanfaatkan. Jagrak, Leni, dan Rina—orang-orang yang lebih kupercaya daripada
diriku sendiri—ternyata lebih licik. Merekalah yang kini leluasa mengendalikan
ke mana paguyuban akan diarahkan. Orang-orang yang selama ini kubayar mahal
untuk melindungiku juga disetir. Dan, entah kalian percaya atau tidak, jika di
sini, di rumahku sendiri, aku dibantai habis-habisan. Aku dikuliti seperti
seekor sapi sehabis disembelih. Dua mataku dicungkil. Sepasang telinga dan
hidungku diiris. Tubuhku dipisahkan menjadi beberapa bagian kecil-kecil.
Setelah itu ditusuk layaknya sate kambing yang dijual keliling oleh Pak Diran.
Lantas mereka mengadakan pesta dengan menjadikan daging dan tulangku sebagai
menu utama. Bumbu dan kecap dicampur ke dalam tubuhku untuk dibakar. Semua yang
hadir memakanku dengan lahap, hingga tiada bersisa.
Tapi, tak mengapa.
Meskipun pada akhirnya aku harus mati mengenaskan, namun aku boleh berbangga.
Ingat! Sejak peristiwa tragis itu, hari kematianku diabadikan sebagai hari
pengemis se-Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar